Oleh: Muhammad Adib, S.Kom.
Kemerdekaan hakikatnya pembebasan total dari segala bentuk penjajahan dan ancaman. Merdeka secara lahiriyah maupun batiniyah. Merdeka dalam berpikir dan berekspresi melalui tindakan yang sesuai aturan. Sebuah perjuangan panjang yang sulit dan tak sedikit memakan korban. Keringat, darah dan air mata selalu menari di sela-sela pertumpahan. Harga yang sangat mahal untuk memperjuangkan satu kata yang disebut dengan kemerdekaan.
Kini kemerdekaan yang sudah diraih tersebut harus jadi pedoman dalam kehidupan. Panduan penting untuk mengisi semangat perubahan dengan aktualisasi nilai-nilai perjuangan. Namun ternyata tak semua merasakan kemerdekaan secara keseluruhan. Masih banyak kaum yang terpinggirkan akibat kurangnya keadilan dan keberpihakan.
Kaum borjuis paling merasakan nikmatnya arti kemerdekaan, sementara golongan proletar masih berjibaku dengan kerasnya kehidupan. Karl Max dalam teorinya menerangkan status sosial masyarakat menjadi 2 golongan. Borjuis dalam konteks kekinian bisa dikaitkan dengan para pengusaha, pemilik sumber daya dan tentunya sang penguasa. Sedangkan proletar mewakili kelompok buruh, para ‘penjual waktu’ alias pekerja dan tentu saja sang rakyat jelata. Kastaniasi ini menjadi semacam hubungan simbiosis mutualisme dalam realitas keseharian masyarakat kita.
- Iklan -
Namun anehnya kaum proletar lebih dominan menjadi objek eksploitasi dari kelompok borjuis. Proletar merupakan kelompok yang lebih membutuhkan para borjuis daripada sebaliknya. Borjuis lebih berpotensi melakukan kesewenang-wenangan (abuse of power) dengan sumber daya yang ia miliki. Uang yang berlimpah, jabatan yang mewah dan relasi yang wah menjadikan si borju selalu berada di atas puncak keuntungan.
Ketimpangan keadilan pasca kemerdekaan
Dalam konteks kemerdekaan di era banjir informasi saat ini tak bisa lepas kaitannya dengan keadilan. Tanpa keadilan maka tak ada kemerdekaan, tanpa kepastian hukum sulit rasanya melihat kesetaraan dan kedamaian. Kemerdekaan tanpa keadilan hanyalah kemerdekaan samar, antara hidup di bawah bayang-bayang harapan tanpa kompas tujuan.
Keadilan lebih condong dirasakan oleh mereka para pemilik kuasa, sebab mereka menetapkan kebijakan hanya dari perspektif pemegang sumber daya. Sementara itu rakyat jelata masih terus mencari makna keadilan, korupsi hingga ratusan triliunan hanya berbuah vonis beberapa tahun kurungan. Itulah kontradiksi nyata kaum borjuis dan proletar masa kini.
Sampai kapan ketimpangan ini terus berlanjut? Haruskah menunggu Imam Mahdi datang sebagai pemimpin yang seadil-adilnya? Entahlah, semoga saja pemimpin negeri ini masih mau menggunakan hati nuraninya.
Keadilan di negeri ini diibaratkan layaknya harta karun dalam serial animasi one piece. Fenomena super langka yang sulit diraih dalam genggaman. Harvey Moeis sang terpidana kasus korupsi timah yang merugikan negara 300 triliun hanya mendapat kurungan 6,5 tahun penjara. Preseden buruk ini menjadi salah satu dari sekian banyak ketimpangan hukum di tanah air. Belum lagi kasus abolisi Tom Lembong kemarin jadi sedikit bukti konkret proletar vs borjuis. Tak ada niat jahat (mens rea), tak ada bukti kuat, tak memperkaya pribadi atau rekan sejawat, namun dihukum akibat mendukung sistem ekonomi kapitalis yang tak memiliki kaitan erat.
Kemerdekaan parsial vs kemerdekaan esensial
Euforia kemerdekaan hari ini masih berkutat pada acara seremonial. Mengibarkan bendera merah putih di halaman rumah, mengikuti upacara bendera di berbagai tempat mulai dari sekolah, istana negara hingga puncak gunung dan dalam lautan. Lain lagi dengan perlombaan rutin 17-an seperti tarik tambang, panjat pinang hingga menari dan bergoyang. Semua itu hingga kini jadi acara tahunan yang masih jadi andalan.
Namun entah kenapa banyak yang melupakan makna kemerdekaan yang esensial. Kemerdekaan yang seperti apa itu? Merdeka bernalar dan mengkritisi kebijakan yang tidak pro rakyat, merdeka dari diskriminasi keadilan di mata hukum, merdeka dalam berekspresi dan menyatakan pendapat tanpa ancaman dari penguasa dan pengusaha, merdeka dari gaji dan upah murah, merdeka dari perbudakan neokolonial apalagi feodal, merdeka dalam kesetaraan pelayanan publik bagi penyandang disabilitas, merdeka dari tindakan represif yang menggunakan alat negara untuk memenjarakan rakyatnya, merdeka… merdeka… dan merdeka secara paripurna.
Mengibarkan bendera jolly roger one piece dituduh makar, anti pancasila, menodai simbol negara dan lain sebagainya. Namun beda halnya dengan fufufafa yang hingga kini tidak diungkap kebenarannya, ijazah asli yang tak diketahui keberadaannya, kasus rempang meluap entah kemana, PBB yang naik gila-gilaan bahkan hingga 1000 persen pungutannya. Apakah ini masih disebut merdeka? Ah, jangan banyak cerita la kawan…
Kemerdekaan yang esensial hingga hari ini masih belum jadi kenyataan, wabil khusus untuk kelompok proletar. Selama mereka tak memiliki privilege apapun, tak memiliki uang apalagi ordal (orang dalam), sulit rasanya untuk meraihnya. Kesulitan hidup sudah menjadi makanan sehari-harinya, mencari keadilan hukum yang katanya di negara hukum alhamdulillah betapa sulitnya.
Kemerdekaan esensial hanya bisa diperoleh melalui pemimpin yang adil. Pemimpin yang tidak melanggengkan bagi-bagi kue kekuasaan, menegasikan pejabat rangkap jabatan seperti staf khusus, utusan khusus dan komisaris BUMN. Belum lagi penetapan kebijakan serampangan yang langsung dianulir sang pimpinan. Proletar ingin kepemimpinan yang adil untuk semua, kesetaraan di mata hukum dan status sosial. Kaum marjinal ingin pejabat yang pro rakyat, bukan kebijakan ekspres tanpa perencanaan matang.
Kapankah pemimpin ideal yang adil tersebut akan datang? Jawabannya ialah wallahu a’lam.
– Pegawai Swasta dan Guru Ngaji, Yayasan Pendidikan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah



