Oleh Hamidulloh Ibda
Suatu ketika, anak saya Sastra Nadira Iswara mengajak beli bakso. “Pa, yuk beli bakso kumis.” Aku pun menjawab, “Tapi tidak ada kumisnya lo”. Hehehe sambil tertawa. Dia pun menjawab, “Ya iyalah, beli buah naga juga tidak ada naganya”. Dalam hatiku, “asem dibalas”.
Ya, inilah bentuk majas dan mengajarkan anak berpikir kritis. Pikiran kita mungkin sekilas membayangkan penjual bakso dengan kumis lebat atau semangkuk rawon yang benar-benar pedas seperti masakan setan, karena namanya “rawon setan”. Namun, tentu saja, saat bakso itu tersaji, tidak ada sehelai pun kumis di mangkuk kita, dan rawon itu, meski pedas, tidaklah dimasak oleh makhluk astral. Fenomena ini menarik, karena menunjukkan bagaimana bahasa kita bekerja, melampaui makna harfiahnya.
Dalam keseharian, kita akrab dengan ungkapan-ungkapan jenaka seperti “beli bakso kumis, tapi nggak ada kumisnya,” atau “makan rawon setan, tapi setannya nggak kelihatan.” Ungkapan semacam ini memang terdengar lucu, bahkan absurd jika ditafsirkan secara harfiah. Namun, dalam kacamata kebahasaan, fenomena ini justru menarik untuk ditelusuri, karena menunjukkan bagaimana bahasa tidak selalu bekerja secara literal, melainkan sering kali melalui simbol, asosiasi, dan daya cipta linguistik yang disebut majas.
- Iklan -
Nama, Identitas, dan Imajinasi
Kita hidup dalam dunia yang dibanjiri nama. Dari nama manusia, tempat, hingga makanan. Namun, tak semua nama merepresentasikan unsur yang ada secara fisik. Ambillah contoh “Bakso Kumis.” Apakah benar baksonya terbuat dari kumis? Tentu tidak. Kata “kumis” di sini bisa merujuk pada ciri khas penjualnya, mungkin ia memiliki kumis lebat yang menjadi identitas visualnya. Hal yang sama terjadi pada “Rawon Setan” yang tentu saja tidak mengandung unsur dunia gaib, melainkan menyimbolkan rasa yang super pedas atau ekstrem.
Dalam hal ini, bahasa memainkan peran sebagai sistem tanda yang tidak melulu mengikuti relasi langsung antara penanda (kata) dan petanda (makna sebenarnya). Ini sejalan dengan pemikiran Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang tokoh linguistik struktural, yang menyatakan bahwa hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer bergantung pada kesepakatan sosial dan budaya pengguna bahasa.
Kebiasaan menamai makanan atau tempat dengan sebutan yang unik dan tidak harfiah seperti “Bakso Kumis,” “Buah Naga,” atau “Rawon Setan” adalah contoh nyata bagaimana majas meresap dalam percakapan dan budaya kita, bahkan tanpa kita sadari. Ini bukan sekadar nama acak, melainkan ada strategi kebahasaan di baliknya.
Dalam lirik lagu atau puisi, kita terbiasa menemukan majas seperti metafora (“kau adalah rembulan”), personifikasi (“angin berbisik”), atau hiperbola (“seribu duka nestapa”). Namun, dalam konteks “Bakso Kumis,” kita berhadapan dengan majas yang lebih spesifik, yaitu metonimia dan sinekdoke, meskipun kadang juga bisa bergeser ke eufemisme atau sekadar nama panggilan unik yang berfungsi sebagai identitas.
Menariknya, penggunaan nama-nama yang “nyeleneh” dalam dunia kuliner justru menjadi strategi komunikasi yang efektif. Nama seperti “Ayam Geprek Mercon,” “Es Genderuwo,” atau “Mie Setan” mengandung efek retoris dan emosional. Konsumen terpicu rasa penasaran dan sensasi imajinatif terhadap produk tersebut, meskipun secara literal isinya tetaplah ayam, es, dan mie biasa.
Inilah bukti bahwa bahasa tidak sekadar alat komunikasi, melainkan juga wadah kreasi dan permainan makna. Menurut Roland Barthes, makna dalam bahasa bisa terus bertumbuh melalui konotasi yakni makna tambahan yang berkembang di luar arti literal. Maka dari itu, “Bakso Kumis” bisa berarti lebih dari sekadar makanan, tapi juga pengalaman rasa, kesan unik, hingga identitas lokal yang mengikat konsumen secara emosional.
Hidup Kita Butuh Majas!
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui kajian stilistika (ilmu gaya bahasa), khususnya dalam jenis majas pertautan seperti metonimia dan sinekdoke. Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama lain yang memiliki keterkaitan erat, seperti tempat, ciri khas, atau bahan yang merepresentasikan keseluruhan objek (Hidayat, 2022). Misalnya, “Bakso Kumis” memakai unsur ciri fisik penjual (kumis) untuk menamai produk makanannya. Sementara itu, sinekdoke merupakan gaya bahasa yang menyebut bagian untuk menyatakan keseluruhan, atau sebaliknya (Saryono, dkk, 2024). Sinekdoke (pars pro toto atau totum pro parte) adalah majas yang menggunakan sebagian dari sesuatu untuk mewakili keseluruhan (pars pro toto), atau keseluruhan untuk mewakili sebagian (totum pro parte) (Prihantini, 2015).
Contoh “Buah Naga”. Meski namanya “naga,” buah ini tidak memiliki sisik atau kepala naga sungguhan. “Naga” di sini merujuk pada bentuk kulit buahnya yang bersisik menyerupai sisik naga, atau mungkin juga dari warna merah menyala yang diasosiasikan dengan naga. Ini adalah sebagian ciri (bentuk sisik) yang mewakili keseluruhan buah. Sedangkan “Rawon Setan”, maksud “Setan” di sini jelas bukan berarti ada iblis di dalamnya. Julukan ini kemungkinan merujuk pada tingkat kepedasan yang luar biasa atau sensasi “panas membakar” seperti neraka (sering dikaitkan dengan setan). “Sensasi pedas yang ekstrem” (sebagian ciri) mewakili “keseluruhan rasa rawon.”
Terkadang, nama-nama ini juga bisa berfungsi sebagai eufemisme atau sekadar nama panggilan khas yang tidak secara langsung masuk kategori metonimia atau sinekdoke, tetapi lebih pada pembentukan citra atau merek yang unik dan mudah diingat. “Rawon Setan” bisa juga merupakan eufemisme untuk “rawon super pedas” yang ingin memberikan efek dramatis. Sementara “Bakso Kumis” murni nama branding.
Pertanyaannya, mengapa kita menggunakan majas dalam penamaan ini? Pertama, ini soal daya tarik dan kemudahan mengingat. Nama-nama yang unik dan sedikit “aneh” lebih mudah diingat oleh konsumen. “Bakso Kumis” lebih catchy daripada “Bakso Pak Budi yang Berkumis”, atau “Bakso Jambul” lebih menarik daripada “Bakso yang Berjambul”. Bahkan di tempat saya di Dukuhseti, Pati, ada bakso terkenal namanya “Bakso Ribut”. Padahal, orangnya pendiam. Namun sebutan “Bakso Ribut” terkenal sejak saya kecil sampai sekarang diteruskan anak-anaknya dengan nama sama; “Bakso Ribut”.
Kedua, menciptakan identitas. Majas membantu menciptakan identitas atau branding yang kuat untuk sebuah produk atau tempat. “Rawon Setan” langsung memvisualisasikan tingkat kepedasan yang ekstrem. Ketiga, efisiensi komunikasi. Daripada menjelaskan panjang lebar tentang ciri khas penjual atau produk, cukup dengan satu kata majas, pesan sudah tersampaikan. Keempat, kreativitas berbahasa. Penggunan nomenklatur ini menunjukkan kekayaan dan kelenturan bahasa Indonesia yang mampu bermain-main dengan makna dan menciptakan asosiasi baru.
Pertanyaan “Apakah beli Bakso Kumis ada kumisnya?” bisa jadi bahan guyonan, tapi juga pintu masuk untuk memahami bagaimana bahasa bekerja dengan lincah, kreatif, dan tidak selalu masuk akal secara literal. Bahasa dalam ranah kuliner telah menjadi arena eksplorasi simbolik, di mana identitas, rasa, dan citra melebur dalam satu sajian kata yang menggoda.
Meskipun tidak ada kumis di dalam mangkuk bakso Anda, ada “kumis” dalam makna yang tersembunyi kumis yang menandai keunikan, identitas, dan tentu saja, daya tarik bahasa yang tak pernah habis ditafsirkan. Jadi, ketika lain kali kamu mendengar “Bakso Kumis,” ingatlah bahwa ini adalah bukti betapa indahnya bahasa kita. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi harfiah, tetapi juga panggung untuk kreativitas, imajinasi, dan lelucon yang tak terucapkan, di mana kumis di nama bakso jauh lebih menarik daripada kumis di dalam mangkuk.
Apakah Anda pernah membali Bakso Kumis ada kumisnya? Jika pernah, segera hubungi saya!
-Penulis adalah dosen Bahasa dan Sastra MI/SD dan Wakil Rektor I Insitut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung.



