Oleh : Abdul Warits
Pesantren merupakan instusi pendidikan Islam yang tidak boleh diabaikan dalam sejarah kebangkitan bangsa Indonesia. Melalui berbagai peran orang orang pesantren, kebangkitan nasional di masa lalu bisa digerakkan seperti jihad melawan penjajah yang digaungkan oleh KH Hasyim Asy’ari. Tokoh-tokoh pesantren telah banyak membangun peradaban pemuda hingga mencapai kebangkitan nasional bangsa Indonesia.
Kebangkitan nasional bukan sekadar tonggak sejarah yang dikenang setiap tahun, melainkan momentum reflektif untuk membangun kembali semangat persatuan, kemajuan, dan integritas bangsa. Di tengah tantangan globalisasi, krisis moral, dan disorientasi nilai, salah satu fondasi penting dalam membangun kebangkitan nasional adalah jaminan kualitas beragama. Kualitas beragama yang terjamin bukan hanya berarti kebebasan menjalankan agama, melainkan juga menjamin bahwa praktik keagamaan mendorong tumbuhnya masyarakat yang toleran, adil, dan progresif.
Agama, dalam konteks bangsa Indonesia yang plural, memegang peran strategis dalam membentuk karakter bangsa. Namun, kualitas beragama yang rendah dapat menjebak masyarakat dalam fanatisme sempit, konflik horizontal, dan bahkan radikalisme. Oleh karena itu, negara dan masyarakat harus bersama-sama menjamin bahwa praktik keagamaan diwarnai oleh nilai-nilai luhur seperti kasih sayang, perdamaian, keadilan sosial, dan penghargaan terhadap perbedaan. Nilai-nilai ini sudah lama diterapkan di pesantren sebagai lembaga yang menampung beragam etnis, budaya, suku di dalamnya.
- Iklan -
Jaminan kualitas beragama juga mencakup aspek pendidikan. Sistem pendidikan nasional harus mampu menanamkan pemahaman keagamaan yang inklusif, rasional, dan kontekstual. Pendidikan agama seharusnya tidak hanya membahas ritus dan doktrin, tetapi juga membina etika sosial dan tanggung jawab sebagai warga negara. Pemahaman yang matang terhadap ajaran agama akan membentuk generasi muda yang religius sekaligus nasionalis—mereka yang mencintai tanah air sebagai bagian dari pengamalan iman. Di sinilah, pesantren terus mempertahankan karakternya sebagai lumbung gerakan religius dan nasionalisme yang senantiasa disemai pada diri pemuda.
Selain itu, peran tokoh agama sangat krusial. Mereka harus menjadi agen pencerah, bukan pemecah belah. Dengan menyuarakan pesan-pesan moderasi dan perdamaian, para pemuka agama dapat menjembatani berbagai perbedaan dan menguatkan ikatan kebangsaan. Negara pun memiliki tanggung jawab untuk menciptakan regulasi dan ruang publik yang kondusif bagi ekspresi keagamaan yang sehat dan bermartabat.
Kebangkitan nasional akan memiliki makna yang lebih kuat jika ditopang oleh masyarakat yang beragama dengan kualitas tinggi—yang menjadikan agama sebagai kekuatan moral untuk membangun peradaban. Masyarakat seperti ini tidak mudah terprovokasi oleh perbedaan, tidak tertarik pada ujaran kebencian, dan senantiasa mengedepankan nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, jaminan kualitas beragama bukan hanya urusan umat beragama atau negara semata, tetapi menjadi kebutuhan strategis bangsa dalam mewujudkan cita-cita nasional. Melalui agama yang mencerahkan dan mempersatukan, Indonesia dapat bangkit menjadi bangsa besar yang tidak hanya kuat secara ekonomi dan politik, tetapi juga tangguh secara moral dan spiritual.
Pesantren Gerakan, Apa dan Bagaimana ?
Pesantren gerakan merujuk pada pesantren yang tidak hanya fokus pada pendidikan keagamaan semata, tetapi juga aktif dalam gerakan sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik. Pesantren gerakan merupakan bentuk aktualisasi nilai-nilai Islam dalam ranah transformasi sosial yang lebih luas.
Pesantren gerakan biasanya memiliki kepedulian tinggi terhadap isu-isu ketidakadilan sosial, kemiskinan, marginalisasi, dan problematika masyarakat lainnya. Mereka menjadikan agama bukan hanya sebagai doktrin spiritual, tetapi sebagai alat pembebasan dan pemberdayaan umat. Kiai dan santri dalam pesantren gerakan terlibat aktif dalam berbagai program advokasi, pemberdayaan ekonomi, pendidikan masyarakat, hingga upaya pelestarian lingkungan.
Pesantren ini juga sering bersinergi dengan organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan bahkan pemerintah untuk menyuarakan kepentingan rakyat kecil. Mereka tidak hanya mendidik santri agar paham kitab kuning, tetapi juga mendorong santri menjadi agen perubahan sosial.
Inspirasi teologis dari pesantren gerakan dapat ditemukan dalam nilai-nilai Islam tentang keadilan, amar ma’ruf nahi munkar, serta tanggung jawab sosial. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin menjadi fondasi utama bagi gerakan ini. Dalam konteks Indonesia, tokoh-tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi contoh figur pesantren yang aktif dalam urusan kebangsaan dan sosial.
Pesantren gerakan menghadapi tantangan dalam hal pendanaan, resistensi dari kelompok konservatif, serta tuntutan profesionalisme dalam manajemen. Namun, dengan semangat kemandirian dan komitmen pada nilai-nilai Islam yang progresif, pesantren gerakan mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap menjaga akar tradisi. Pesantren gerakan terus tumbuh menjadi pusat pencerahan, yang tak hanya membentuk insan religius, tetapi juga warga negara yang aktif dan kritis. Dengan itu, pesantren tak hanya menjadi menara gading ilmu agama, tapi juga menjadi mercusuar perubahan sosial.
Pesantren gerakan adalah bentuk evolusi pesantren yang sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan peran gandanya sebagai pusat pendidikan, spiritualitas, dan transformasi sosial, pesantren gerakan membuktikan bahwa lembaga tradisional pun dapat menjadi motor perubahan yang progresif dan transformatif. Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural dan kompleks, keberadaan pesantren gerakan adalah oase harapan bagi terwujudnya masyarakat adil, makmur, dan beradab.