Oleh S. Prasetyo Utomo
RELIGIUSITAS telah menjadi bagian obsesi seniman dan budayawan. Religiusitas merupakan salah satu pijakan daya cipta, yang mengalirkan seni budaya hadir ke hadapan kehidupan masyarakat mutakhir. Kita mengenal puisi, cerpen, drama, novel, film, lagu, dan wayang yang menyingkap tabir religiusitas yang menyelubungi kultur kehidupan sehari-hari ke dalam daya cipta seni budaya dengan kekuatan kontemplasi. Religiusitas dipertaruhkan sebagai penjelajahan ekspresi daya cipta seniman budayawan hingga hari ini.
Makna religiusitas adalah ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan keyakinan, nilai, hukum dan ritual. Religiusitas juga dapat diartikan sebagai potensi untuk beragama atau berkeyakinan kepada Tuhan. Fungsi religiusitas: (1) membantu membentuk identitas individu, (2) memberikan kerangka kerja untuk pandangan dunia, nilai-nilai, dan keyakinan, (3) membantu mengembangkan dimensi spiritualitas individu.
- Iklan -
Saya takjub pada kesadaran religiusitas yang menyusup dalam teks sastra, film, dan lagu. Para seniman budayawan ini mengendapkan pengalaman-pengalaman keilahian untuk melihat konteks kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.
***
SAYA tertarik pada kekuatan religiusitas M. Hilmi Faiq, penyair yang melancarkan kritik dengan bahasa satire yang menggoda batin pembaca dengan pembebasan belenggu fanatisme. Dalam puisi “Agama” tampak benar bahwa M. Hilmi Faiq menyingkap religiusitas yang melingkupi atmosfer kehidupan mutakhir:
Agama
Agama memelukku dari belakang
Lalu dari depan
Ada kehangatan
Kadang kepanasan
Lama-lama muncul tanya
kira-kira apa jenis kelaminnya
…
Bapakku pernah ingatkan
hati-hati meluk agama
jangan terlalu kencang
karena bisa bikin salah sangka.
Mungkin dia ada benarnya
Kapan hari ada orang mukul orang,
katanya demi agama.
Setahuku agama tak pernah
minta kita marah.
Kekuatan religiusitas itu dimanfaatkan penyair untuk melakukan perenungan akan resiliensi beragama, kemampuan mengatasi dan beradaptasi terhadap tekanan konflik beragama. Dalam puisi ini penyair menyingkap hakikat hidup yang mesti menjalani religiusitas yang “rahmatan lil alamanin”.
Kesadaran religiusitas mengalirkan narasi untuk mencapai kesadaran akan kehadiran Sang Pencipta dalam kehidupan keseharian manusia. Dalam cerpen Ahmad Tohari “Pengemis dan Shalawat Badar” kesadaran religiusitas menyingkap keagungan Sang Pencipta, yang melindungi keselamatan manusia, seirama dengan pengalaman-pengalaman keilahian seperti bershalawat saat dalam kesulitan hidup. Cerpen-cerpen Gus Mus juga membawa kita pada pengalaman religius, bahkan transenden, untuk memberi kesadaran keilahian pada diri manusia.
Dalam bidang drama kita mengenal Mohammad Diponegoro dengan lakon Iblis, yang mengisahkan ketaatan Nabi Ibrahim terhadap Allah, dan melakukan perlawanan terhadap hasutan iblis. Sayangnya, penulisan drama dan pergelaran teater yang bernapas religius, tidak berkembang sebagaimana ragam sastra yang lain di tanah air kita.
Religiusitas dihadirkan Habiburrahman El-Zhirazj melalui novel-novel populer seperti Ayat-Ayat Cinta (difilmkan), Di Atas Sajadah Cinta (disinetronkan), Ketika Cinta Bertasbih (difilmkan). Novel-novel ini telah dialihwahanakan menjadi film dan sinetron, bahkan kemudian diciptakan lagunya. Tampak benar kesadaran Kang Abik untuk menyusupkan religiusitas melalui novel, film, dan lagu, memasuki budaya pop yang menyentuh empati masyarakat dan generasi muda. Dalam sebuah kesempatan diskusi di forum MUI Jateng, ia pernah menggambarkan kekuatan budaya pop yang mampu berpengaruh terhadap gaya hidup generasi muda. Seorang pendakwah, sesungguhnya memiliki peluang untuk memanfaatkan budaya pop untuk kepentingan membentuk identitas masyarakat.
Dalam pertunjukan wayang kulit, kita memiliki Ki Enthus Susmono yang menyusupkan religiusitas dalam setiap pergelarannya. Ia menciptakan sanggit, merekonstruksi lakon, mencipta gendhing dan tembang untuk memberi kesadaran religiusitas. Bahkan ia mengekspresikan pergelaran wayang kulit dengan bahasa satire yang menyentuh konteks sosial-budaya masyarakat mutakhir. Sepeninggal beliau, belum lagi muncul dalang dengan kemasan religiusitas yang setara dengannya.
***
KETIKA seniman dan budayawan melakukan daya cipta dalam kemasan budaya pop dan diterima kalangan luas masyarakat, sesungguhnya tercipta tiga keuntungan. Pertama, karya seni itu dinikmati masyarakat luas. Kedua, tumbuh jaringan-jaringan baru yang membawa napas religius dalam atmosfer kehidupan masyarakat. Ketiga, dahwah agama akan merasuk ke dalam jiwa masyarakat tanpa merasakan tekanan, mengalir dalam kesadaran hati nurani mereka.
Sisi kelemahan seniman budayawan yang mengekspresikan daya cipta mereka melalui media populer, tafsir masyarakat akan terbatas dalam kurun waktu tertentu. Ekspresi seni itu akan cepat sekali tertelan waktu, terlupakan, dan tergantikan popularitas ekspresi budaya pop yang lain. Diharapkan muncul juga seniman budayawan yang mencipta karya kanon, sebagaimana budaya pop Korea Selatan yang memunculkan sastrawan Han Kang yang menerima Penghargaan Nobel Sastra 2024 atas prosa puitisnya.
Mestinya seniman dan budayawan mengekspresikan daya cipta dengan kekuatan estetika, kontemplasi, keunikan, kompleksitas makna, yang melampaui ruang waktu. Dengan demikian, karya seni budaya itu bisa dinikmati masyarakat lintas zaman, bahkan lintas negara, diakui sebagai karya adiluhung dunia. Tentu saya tidak berlebihan bila menutup esai ini dengan menyebut novel Lorong Midaq karya Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir, yang meraih Prnghargaan Nobel 1988. Ini sebuah mahakarya, yang tidak saja menyusupkan religiusitas, tetapi juga transendensi.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.