Oleh Irna Maifatur Rohmah
Santri merupakan salah satu identitas yang tidak hanya menempel ketika hidup di pesantren. Menjadi santri lebih dari itu. Santri merupakan suatu perilaku, bukan profesi. Jadi, identitas sebagai santri akan terus menempel pada diri seseorang selama hidupnya dengan terus mempertahankan perilaku yang baik.
Menjadi seorang santri tidak serta merta santai dan tanpa impian atau target. Namun meski berprogres setiap harinya. Yang mana seperti istilah yang sudah sering kali kita dengar, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Artinya, santri terus belajar untuk meningkatkan apapun yang ingin didalaminya. Berprogres dalam kebaikan adalah hal yang wajib menjadi pegangan santri.
Namun, hal tersebut mesti diikuti atau diimbangi dengan sifat yang harus dimiliki oleh santri. Dua sifat tersebut yakni iqdam dan sabar.
- Iklan -
Iqdam artinya berani untuk maju ke depan. Santri harus berani maju dan menunjukkan bahwa dirinya mampu dan bisa untuk melakukan sesuatu, Walaupun di akhir tidak tau yang akan terjadi, namun berani untuk maju harus dimiliki santri. Sebab keberanian tersebut merupakan salah cara untuk mengalahkan mental lawan bicara atau lainnya. Dengan berani maju, paling tidak sudah menang dalam hal gaya untuk bisa melakukan sesuatu. Otomatis, dengan keberanian dan percaya diri, yang lain atau lawannya pasti satu langkah lebih mundur. Paling tidak sudah punya bekal menang gaya. Perkara hasil biarkan mengalir saja. Apabila di akhir kok diejek atau direndahkan berarti itu tandanya sudah menjadi manusia yang sejati. Sebab menjadi manusia tidak ada artinya tanpa haters. Nabi SAW yang merupakan manusia paling sempurna saja memiliki haters yang tidak sedikit, bahkan lintas zaman. Apalagi santri sebagai manusia biasa tidak boleh kaget atau minder ketika diejek atau direndahkan. Syekh Mutawalli Asy Say’rawi menyampaikan bahwa manusia sejati itu memiliki haters. Hal ini juga senada dengan Sudjiwo Tejdo, Presiden Jancukers.
Musuh atau haters terbagi menjadi dua, yakni:
Musuh yang datang dengan sendirinya. Musuh jenis ini merupakan golongan orang-orang yang iri dengan apa yang dimiliki seseorang dan sang haters tersebut tidak bisa memiliki atau mencapai hal tersebut. Jadilah, hanya bisa memaki, mencela, dan mengolok-olok saja.
Musuh yang datang karena dicari. Haters jenis ini datang sebab kesombongan seseorang. Meskipun nyatanya memang memiliki kelebihan namun jika disertai dengan sifat sombong yang merendahkan orang lain pasti akan mengundang hujatan dari nitizen yang budiman, Sepantasnya ketika memiliki kelebihan jangan diikuti dengan sombong, biasa aja.
Jadi, ketika ada yang membenci atau yang tidak suka koreksi diri terlebih dahulu dari mana sumber kebencian itu. Namun, yang namanya manusia tidak bisa mengendalikan orang lain. Jadi kendalikan diri sendiri saja supaya mengurangi rasa sombong dan penyebab iri hati lainnya.
Sabar adalah sikap yang wajib dimiliki santri. Sabar secara istilah berarti menahan, mencegah, atau tabah. Kehidupan santri yang penuh lika liku harus diimbangi dengan sifat sabar agar menginginkan hasil yang maksimal. Jika tidak dengan sabar ya tidak bisa mencapai tujuan awalnya. Sebab dunia pesantren terkadang keras dan butuh kesabaran untuk menaklukkannya.
Santri harus sabar ketika diolok-olok orang lain, sebab menjadi sesuatu yang berbeda tidak jarang menjadi hal yang tidak lazim dan menimbulkan gejolak di antaranya, salah satunya yakni olokan. Santri harus menyikapi dengan sabar, bukan balik melempar olokan. Luntur seketika ketika santri malah saling olok dengan masyarakat. Menjaga marwah santri dengan sabar sangat diperlukan.
Selain itu, ketika di pesantren juga harus sabar dalam mengaji. Santri pantang putus as ajika belum bisa. Harus terus mencoba sampai bisa. Paling tidak mengusahakan. Jangan mudah menyerah dengan hanya melihat progress teman yang lebih banyak. Namun, senantiasa sabar sebab start-nya tidak sama. Setiap diri memiliki proses yang berbeda. Ketika belum bisa harus terus mencoba, bukan malah terus pulang dan tidak mau berangkat. Itu tidak benar.
Hidup di pesantren juga harus sabar menahan rindu dengan rumah. Tahan sekuat mungkin. Indahnya rindu ketika temu akan terasa begitu dalam dan bermakna. Jika dalam jangka waktu dekat pulang, tidak ada kesan dari kerinduan ketika pulang. Selain itu, mengaji juag perlu istiqomah dan terus menerus. Sehingga sangat tidak disarankan bagi santri untuk bolak balik ke rumah dalam jangka waktu yang dekat. Meskipun kadang ada fase jenuh, bertahanlah di pesantren. Meskipun sedang malasa dan tidak mengaji, pasti masih bisa melihat dan mendengar orang mengaji sehingga jiwa tidak terlampau kosong.
Dua sifat itulah yang menjadi bekal santri untuk jihad agar bisa menjayakan negeri. Iqdam dan sabar harus selalu dalam genggaman santri. Di pesantren harus berani untuk maju ke depan dan memiliki sifat sabar untuk bertahan. Meskipun kehidupan pesantren tidak selamanya menyenangkan, namun pasti ada barokahnya hidup di pesantren dan mengaji. Barokah tidak bisa dilihat namun bisa dirasakan ketika sudah pulang dan berkiprah di masyarakat. Jadi jangan terburu-buru pulang.