Oleh: Salman Akif Faylasuf *
Faktanya, selama 13 Tahun Rasulullah Saw. di Mekkah tidak ada peperangan, tidak ada perintah untuk melawan, sekalipun serangan kepada umat Islam datang bertubi-tubi. Adapun setelah itu, peperangan yang terjadi semasa hidup Rasulullah Saw. seperti Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq dan perang-perang lainnya adalah untuk membela diri. Bukan menyerang terlebih dahulu.
Dalam al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 39, peperangan karena atas dasar didzalimi maka diizinkan oleh Allah Swt., tetapi bukan diperintahkan.
اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ
- Iklan -
Artinya: “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj [22]: 39).
Syahdan, Islam adalah agama damai dan mendamaikan. Ada banyak dalil yang bisa disampaikan untuk menegaskan mengenai prinsip dasar itu. Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 208:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]:208).
Islam adalah agama damai
Jauh sebelum negara-negara Barat berbicara mengenai pentingnya penegakan Hak Asasi Manusia, 1050 tahun yang lalu Nabi pernah menegaskan dan berpidato diatas bukit Arafah pada Haji Wada’. Lalu beliau bersabda: “Wahai umat manusia! Sesungguhnya darah-darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian, adalah suci sampai kalian berjumpa dengan Tuhan kalian, seperti sucinya hari ini, seperti sucinya bulan ini, seperti sucinya tempat ini.”
Hingga di akhir pidatonya Nabi menegaskan lagi, “Aku tinggalkan buat kalian dua pusaka yang kalau kalian berpegangan kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu al-Qur’anul Karim dan sunnah Rasulullah Saw.” Lalu nabi menyatakan, “Seluruh kita adalah bersaudara. Karena itu yang satu dari yang lain tidak boleh mengambil hak, kecuali dibenarkan oleh Allah Swt.”
Secara tidak langsung, Nabi ingin menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang penuh dengan kekerasan apalagi peperangan. Lalu kenapa Islam pernah berperang? Rasulullah Saw. diutus menjadi Nabi dalam kurun waktu 23 tahun (13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah). 13 tahun berada di Mekkah sama sekali tidak ada peperangan. Bahkan, tidak ada perintah untuk melawan sekalipun serangan datang bertubi-tubi.
Pernah dilakukan uji coba untuk meminta suaka politik ke Abesenia yang dipimpin oleh Jakfar bin Abi Thalib. Nabi juga pernah mencoba untuk hijrah ke Thaif, tetapi beliau dilempari dengan gumpalan batu. Ketika ditawari oleh Malaikat, apakah orang-orang Thaif akan dihancurkan semuanya?
Alih-alih menerima, justru Nabi menolaknya seraya berdoa kepada Allah Swt. “Aku berharap dari tulang punggung penduduk Thaif itu kepada orang-orang yang menyembah Allah Swt.” Hingga akhirnya lahirlah disekitaran Thaif seperti Abu Hurairah menjadi sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Sekali lagi, Islam tidak menganjurkan kekerasan apalagi peperangan.
Setelah sampai di Madinah, provokasi dari orang-orang musyrik Mekkah telah tetap dilakukan. Mereka datang ke Madinah hingga akhirnya meletuslah Perang Badar. Kita tahu, jarak Madinah ke Badar dan jarak Mekkah ke Badar jauh lebih dekat jarak Madinah ke Badar ketimbang Mekkah. Itu artinya, posisi umat Islam adalah pihak yang diserang bukan menyerang.
Lalu meletuslah Perang Uhud. Jarak antara Madinah ke Uhud hanya 5 kilo, sementara jarak Mekkah ke Uhud sekitar 456 kilo. Pecahlah Perang Khandaq yang disebut dengan Perang Parit. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam saat itu kecuali membela diri (QS. Al-Hajj [22]: 39).
Di ayat yang lain Allah Swt. berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
Dengan demikian, peperangan di dalam Islam sifatnya adalah dhifa’i yaitu hanya untuk membela diri dan bukan dengan cara menyerang terlebih dahulu. Sederhananya, perang terpaksa dilakukan tidak lain hanya untuk membela diri.
Setelah 300 tahun penjajah Belanda mengotori tanah Jawa, maka tidak ada pilihan lain bagi penduduk Jawa (orang-orang Nusantara), kecuali dengan cara membela diri. Hingga turunla Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari untuk melakukan pertahanan diri.
Perintah mendamaikan peperangan
Jika tahun kemaren kita menyaksikan perang Rusia dan Ukraina, maka sekarang kita menyaksikan perang Israel dan Palestina. Dunia seperti akan terbelah menjadi dua kubu. Melansir dari media CNBC Indonesia, korban tewas hampir 4.000 Jiwa. Korban jiwa terus bertambah dari sisi Palestina. Dari data terbaru Kementerian Kesehatan, sejak 7 Oktober, 2.670 warga Palestina tewas karena serangan udara dan bombardir yang dilakukan Israel.
Al-Jazeera menyebut sebagian besar korban adalah anak-anak dan wanita di Gaza. Setidaknya 9.600 orang juga terluka. Di sisi Israel, korban tewas mencapai 1.300 orang, di mana lebih dari 3.400 orang terluka. Dengan begitu, jika digabungkan, total korban tewas dari kedua belah pihak mencapai kini hampir 4.000 orang tepatnya 3.970 jiwa (selengkapnya).
Lalu bagaimana sikap umat Islam akan hal ini? Jawabannya adalah umat Islam harus menjadi penengah atau juru damai antar keduanya. Allah Swt. menegaskan bahwa Islam harus menjadi juru damai dalam setiap pertikaian. Dalam al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 9 dikatakan:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat [49]: 9).
Begitu juga, jika dalam keluarga antara suami dan istri bertikai dan tidak bisa menyelesaikan sendiri, maka perintah al-Qur’an adalah:
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا
Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’ [4]: 35).
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 61).
Ringkasnya, harus ada keluarga dari pihak laki-laki, dan keluarga dari pihak perempuan yang tampil untuk mendamaikan. Sekali lagi, perintah untuk mendamaikan dan damai adalah sebuah perinta syariat, Allah Swt. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.