Oleh Irna Maifatur Rohmah
Tidak ada yang bisa memilih dilahirkan sebagai apa. Entah manusia, hewan, benda mati, tumbuhan, atau makhuluk lain. Namun terlahirnya sebagai manusia pantas untuk disyukuri sebab diberikan berbagai kenikmatan yang hanya bisa dirasakan manusia. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, rasanya tidak ada yang pantas untuk dicela. Semua kenikmatan tersendiri bagi manusia.
Berbicara kenikmatan, manusia sebagai makhluk paling sempurna lantas tidak bisa berhenti untuk mensyukuri nikmat satu, namun terus menerus dari satu kenikmatan ke kenikmatan yang lain. Sebab seiring berjalannya waktu peran manusia selalu berubah. Mulai terlahir sebagai anak yang kemudian memiliki pasangan dan berakhir sebagai orang tua. Dari sini lah, manusia sepantasnya selalu belajar untuk menjalankan peran yang berputar ini.
Sebagai santri, atau secara luas pemuda, mindset ini perlu ditanamkan. Bahwasanya kita tidak akan pernah berhenti belajar sampai kita meninggal dunia. Sebab fase hidup kita selalu berubah dan akan selalu menghadapi hal yang baru. Oleh karenanya kita perlu untuk terus belajar dan open minded terhadap apa yang ada di sekitar kita dan tidak mudah mengambil kesimpulan dari hal yang sedikit. Di antaranya, kita harus belajar untuk melewati beberapa fase hidup kita sebagai berikut.
- Iklan -
Menjadi anak. Tidak ada yang meminta untuk dilahirkan. Memang betul. Namun apakah akan selamanya berpasrah dengan kalimat tersebut. Tidak ada usaha dan menuntut orang tua untuk bertanggung jawab secara keseluruhan atas hidup kita. Meskipun tanggung jawab masih pada orang tua, namun hal-hal pribadi dan privasi pastinya bisa kita kontrol sendiri. Orang tua bisa mengontrol dari luar, tapi dari dalam tetap dari diri anak itu sendiri. Maka dari itu, sebagai anak mesti belajar bagaimana menempatkan diri menjadi anak yang pengertian dan tidak menuntut apa yang sekiranya memberatkan orang tua. Anak yang berbakti sepantasnya tidak membuat orang tua kerepotan. Anak juga harus belajar bagaimana menghormati orang tau dan bisa membawa nama baik orang tua. Bukan malah mencoreng nama baik orang tua. Intinya, menjadi anak harus selalu belajar bagaimana mengerti kondisi orang tua, memaafkan orang tua, membawa nama baik orang tua, dan masih banyak hal lain yang harus dilakukan anak untuk menjaga harkat dan martabat orang tua.
Menjadi pasangan. Setelah fase anak berakhir, kita akan melewati fase berpasangan. Ketika kita sudah bisa menerima diri sendiri, lantas apakah bisa menerima pasangan dengan sepaket kelebihan dan kekurangan. Apalagi setelah memasuki kehidupan berumah tangga yang mana setiap pasangan hidup bersama tanpa ada perantara lagi. Segalanya akan terlihat baik dan buruknya tanpa bisa lagi ditutupi. Pasangan tidak ada yang diciptakan sama persis. Namun saling melengkapi. Lantas, sebagai pasangan tidak semestinya hanya menuntut, namun juga belajar untuk mengerti dan memahami kondisi satu sama lain. Masing-masing harus intropeksi diri dan tidak langsung men-judge. Keharmonisan hubungan tidak berasal dari kerasnya ego. Namun saling merendahkan ego demi kenyamanan satu sama lain. Toh pasangan itu saling melengkapi. Tidak ada yang sama persis. Namun adanya satu sama lain yang saling menerima, menjadikan pasangan dapat berjalan seirama dan senada. Meski keduanya tidak sama. Sama halnya sepasang sepatu, tidak ada sepasang sepatu maju bersama. Namun bergantian, sama halnya dengan pasangan. Saling melengkapi agar bisa melangkah jauh.
Menjadi orang tua. Dari dua insan yang berpasangan, memiliki seorang anak merupakan cita-cita yang pasti dimiliki. Terciptanya anak, pasti atas kehendak orang tua. Anak tidak minta dilahirkan. Namun sebab orang tua yang membuat dan menjadikannya ada. Menjadi orang tua juga perlu belajar lagi. Ketika lahir seorang anak, bersama dengan itu orang tua terlahir kembali. Orang tua juga harus belajar sama halnya dengan anak yang belajar dan berkembang. Anak tidak bisa disalahkan, orang tualah yang bertanggung jawab atas apa yang menimpa anak tersebut. Di sinilah pentingnya orang tua yang harmonis dan memiliki komunikasi yang baik. Orang tua harus belajar bagaimana menjadi orang tua yang ideal dan tidak memberatkan anak. Anak tidak memiliki kewajiban untuk dituntut, tapi dituntun. Orang tua sepantasnya menuntun dan tidak langsung mendikte. Tapi mencontohkan pada anak. Sebab akan masih belum berpengalaman dan dalam tahap belajar. Di sini orang tua belajar untuk menyampaikan kembali atau menjadi tutor. Orang tua juga harus belajar agar bisa menjadi role model anak yang baik. Bukan sebaliknya, menyerahkan segalanya pada anak.
Manusia akan selalu berputar melewati tiap fase kehidupan. Bersyukurlah melewati setiap tahap dengan menjadi lebih baik. Dengan kemauan untuk belajar, rasanya bisa mencerminkan rasa syukur kita kepada Tuhan. Lantas, manusia akan selalu belajar sampai akhir hayatnya. Terus dan terus tidak berhenti. Jika berhenti, maka mati jiwanya meski raganya masih hidup. Maka, belajarlah selalu untuk melewati tiap fase.
-Irna Maifatur Rohmah, Alumni UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, Pondok Pesantren Nurul Iman