Oleh : Niam At Majha
Buku “Pikiran-Pikiran Pancasila dan Demokrasi” diawali bacaan terhadap peristiwa-peristiwa politik paska reformasi yang berlangsung begitu dinamis harus didokumentasikan secara tertulis, tak boleh hanya sekedar menjadi konsumsi para elit politik atau malah hanya berhenti di panggung-panggung diskusi televisi. Dinamika politik yang sangat cepat dan kaya ini tentulah sangat naïf atau tidak begitu bisa mewakili keadaan jika hanya dibahas di acara-acara talkshow media yang kerap dibatasi durasi. Konskwensi syarat keterbatasan seperti ini, semua bisa dimaklumi karena terdapatnya seabrek aturan birokrasi dan ketentuan-ketentuan korporasi media.
Penulis berusaha menjelaskan, paska robohnya kekuasaan orde baru, bangsa ini memasuki rezim demokrasi. Substansi dari rezim demokrasi kita semua mengetahui, di mana semua orang mengakukan dirinya dalam kondisi dan level yang setara, akhirnya semua pihak berlomba-lomba hingga membenarkan segala cara demi sekedar mengejar kepentingan sempitnya. Pancasila sebagai hakikat dan filsafat hidup bangsa Indonesia tidak lagi ditemukan tanda-tanda bisa dipakai sebagai kiblat kehidupan warga negara.
Kenyataan tidak terbantahkan, negara ini telah terombang-ambing dalam ketidakpastian saat memberikan kepercayaan kepada para pengemban amanat atau terhadap pihak pengelola bangsa dan negara Indonesia. Padahal proses terpilihnya sudah menggunakan sistem pilihan demokratis yaitu pemilihan umum (pemilu). Siklus perjalanan panjang keberadaan Pancasila sebagai pandangan hidup, pegangan hidup, petunjuk hidup, dan pedoman hidup, sering mengalami distorsi interpretasi, bahkan manipulasi politik sesuai kepentingan para penguasa. Begitu ironis, mereka melakukan hanya demi satu kepentingan subjektif yaitu melanggengkan kepentingan kekuasaan mereka agar tetap kokoh, tegak, tidak ada yang merecoki atau mengkritisi, dengan cara berlindung dibalik topeng legitimasi nilai-nilai luhur ideologi negara Indonesia Pancasila dan demokrasi. (hal x)
- Iklan -
Bahaya lain dari demokrasi yang kita elu-elukan, bahwa semua opini dianggap sama dan sejajar, seperti dibukanya ruang jalan pemberian kebebasan berkumpul dan berpendapat seperti pesan-pesan perintah UUD 1945 telah dimanfaatkan secara kurang tepat para kelompok Islam Fundamentalis. Dengan cara mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang kurang relevan dengan kepribadian kebudayaan nusantara atau nilai-nilai Pancasila. Macam-macam nama ormas secara ajaran kurang begitu relevan cara amalannya dengan isi falsafah kehidupan bangsa atau nilai-nilai Pancasila yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Kelahirannya paska reformasi dan sekarang sudah mendapatkan tempat demikian luas, pengakuannya demikian sangat populer sehingga memiliki pengikut yang cukup besar, antara lain: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI) dan lain-lain.
Keadaan serba pelik ini tentunya kita tidak boleh membiarkan bangsa ini semakin tenggelam dalam kesempitan kepentingan diri atau golongan yang berpotensi merusak tatanan keadaan berbangsa dan bernegara secara benar. Setelah kita lakukan telaah secara serius, ajaran yang mereka tawarkan adalah radikalisme dengan cara mengatasnamakan simbol-simbol agama. Sekilas jika tidak detail
menelaah tampak kelihatan indah, enak dipandang dan serasa benar, karena dianggap suci. Padahal jelas-jelas cara yang mereka tawarkan ajaran radikalisme, konskwensi pemberian kesempatan kepada ajaran mereka tumbuhnya bibit-bibit radikal yang dapat menimbulkan konflik berdasar suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) di Indonesia. Konflik berkepanjangan tanpa pernah ada ujung pangkal disebabkan SARA dengan bumbu dasar teologi agama sudah beberapa kali terjadi, ironis apabila sampai terulang kembali.
Menelisik atas persoalan yang terjadi di Perguruan Tinggi terkait keterlibatan civitas akademik khususnya dosen tergabung dengan faham radikal, timbul pertanyaan kepada kita semua, mengapa justru kalangan terdidik yang menjadi obyek sasaran pengembangan ajaran radikalisme atas nama agama? Seperti pendapat Hasanudin Ali dan Lilik Purwandi, karena golongan kaum terdidik adalah orang yang memiliki sumber daya mumpuni, unggul, dan pula memiliki kematangan akses terhadap informasi. Maka terkesan menjadi sangat lumrah dan pula menjadi wajar, jika golongan terdidik menjadi kanal strategis terhadap bersemainya faham radikalisme di kampus.
Jadi setelah kita membaca buku tersebut tentu kita akan mempunyai pemikiran yang berbeda dengan sebelumnya. Maka dari itu buku ini layak dibaca siapa saja, dengan latar belakang apa saja ketika ingin mengetahui dan memahami pancasila dan demikrasi secara utuh. Selamat membaca.
Judul : Pikiran-Pikiran Pancasila dan Demokrasi
Penulis : Moh Sugihariyadi
Penertbit : Asna Pustaka
Cetakan : Pertama 2020
Tebal : 226 halaman