Oleh: Miftaf Pradika Putra
“Sekolah membawa peserta didik terasing dari masyarakat dan tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri”.
Ya, ungkapan seorang sastrawan WS Rendra yang berkaitan dengan konsep yang sering kali disuarakan sebagai tujuan utama pendidikan, yaitu pendidikan humanis, yang mana telah menjadi landasan dalam dunia pendidikan selama bertahun-tahun.
Pendidikan humanis juga sering kali didasarkan pada pemahaman dan pengembangan pribadi peserta didik melalui interaksi sosial dan pengalaman langsung. Namun, dalam era digital seperti sekarang, di mana teknologi semakin dominan, apakah pendekatan ini masih relevan? Apakah peserta didik masih memiliki waktu dan kesempatan untuk terlibat dalam interaksi sosial secara mendalam ketika mereka sibuk dengan gadget mereka? Mungkin sebagian ada yang berpendapat bahwa pendekatan humanistik dalam pendidikan telah kehilangan tempatnya di tengah persaingan global dan tuntutan pasar kerja.
- Iklan -
Tentu pendapat tersebut dapat diterima oleh khalayak umum dan menyadarkan kita semua, karena apa yang telah dijelaskan oleh pakar kapitalisme pendidikan Amerika, Samuel Bowles dan Herbert Gintis, bahwa dunia kapitalisme membutuhkan mental jinak kaum buruh, dan mirisnya saat ini lembaga-lembaga pendidikan modern bertugas menyiapkan itu semua, sehingga ruh-ruh dalam ajaran pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menekankan pada pengembangan pribadi dan kehidupan bermakna, justru menjadi hal menakutkan bagi tatanan ekonomi kapitalis.
Kritik terhadap kurangnya fokus pada aspek manusiawi dalam pendidikan tentu tidak dapat diabaikan begitu saja. Pendidikan holistik, yang mencakup perkembangan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual individu, merupakan fondasi dari sebuah masyarakat yang sehat, berbudi luhur dan berkelanjutan. Bahkan jika aspek manusiawi terabaikan dalam dunia pendidikan, maka akan menghasilkan generasi muda yang terfokus hanya pada pencapaian materi atau kesuksesan finansial semata. Dan dapat pula dikatakan bahwa hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pendidikan sejati.
Keterbatasan Pendidikan Humanis dan Kritik terhadap Efektivitasnya
Pendidikan humanis sering dianggap sebagai pendekatan ideal dalam dunia pendidikan. Namun, kita perlu merefleksikan bersama dengan melihat kelemahan dan kritik terhadap pendidikan manusiawi ini sebelum memutuskan apakah benar-benar efektif.
Salah satu kelemahan utama dari pendekatan humanistik adalah kurangnya fokus pada aspek akademik yang lebih konkret. Pendidikan modern membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam dunia nyata, namun pendekatan humanistik cenderung lebih menitikberatkan pada pengembangan pribadi tanpa memberikan landasan pengetahuan yang kuat.
Selain itu, efektivitas pendidikan humanistik atau yang dapat disebut sebagai pendidikan manusiawi juga dapat dipertanyakan karena kurangnya standarisasi dan evaluasi objektif. Dalam sistem pendidikan yang humanis, sering kali sulit untuk mengukur kemajuan siswa secara obyektif karena penilaian lebih berfokus pada aspek psikologis dan emosional daripada prestasi akademik.
Selanjutnya, sebagian orang bahkan juga merasa khawatir bahwa pendekatan humanistik secara praktis dapat mengabaikan persiapan untuk menghadapi dunia kerja yang kompetitif. Ketika pekerjaan semakin kompleks dan teknologi semakin maju, yang dibutuhkan hanyalah lulusan yang memiliki keterampilan praktis yang relevan dengan pasar kerja. Pendekatan manusiawi mungkin tidak memberikan cukup penekanan pada perkembangan keterampilan ini, karena memang tujuan pendekatannya bukan berorientasi pada kebutuhan pasar tenaga kerja.
Selain itu, metode pembelajaran humanis juga seringkali membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai hasil yang signifikan. Proses iteratif dari mendengarkan, berdiskusi, dan merefleksikan ide-ide dapat memakan waktu yang sangat berharga. Dalam dunia yang terus berkembang dengan cepat ini, apakah peserta didik memiliki luang waktu untuk memaksimalkan proses tersebut?
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mencari alternatif metode pembelajaran yang lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Dalam hal ini mungkin perlu mempertimbangkan pemanfaatan teknologi AI atau kecerdasan buatan sebagai alat bantu pembelajaran. Teknologi AI dapat memberikan solusi praktis bagi para pendidik dan peserta didik dengan menyediakan akses cepat ke informasi, latihan interaktif, dan penilaian yang lebih akurat.
Namun, perlu diingat bahwa teknologi AI tidak boleh menggantikan peran manusia sebagai mentor dan fasilitator dalam proses pembelajaran. Meskipun AI dapat menyediakan konten dan sumber daya yang kaya, tetap penting untuk mempertahankan interaksi antara pendidik dan peserta didik bahkan kepada lingkungan sosial. Hal ini akan membantu membangun hubungan emosional yang penting dalam mendukung perkembangan pribadi dan memprioritaskan pendekatan humanistik.
Akhirul Kata, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan hanya akan menciptakan generasi yang kekurangan empati dan pemahaman tentang kompleksitas dunia di sekitar mereka. Pendidikan humanis adalah tonggak utama dalam membangun kemampuan berpikir kritis, dan membentuk masyarakat yang berkelanjutan, inklusif, bermakna, serta bertujuan seperti Socrates ketika ia berkata kepada Adeimentus, “temanku yang baik, satu hal yang cenderung aku sebut bukanlah besar, melainkan cukup untuk tujuan kita, adalah pendidikan dan pengasuhan. Jika warga negara kita dididik dengan baik, menjadi orang bijak dan berpikir sehat, mereka dengan mudah melihat jalan membangkitkan kembali nilai-nilai moral republik”.
-Ketua 2 Bidang Eksternal PMII Komisariat Trisula INISNU Temanggung