*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Di setiap tanggal 10 November kita memperingati dan menghikmati Hari Pahlawan, sebuah hari yang sarat peristiwa heroik dalam perjalanan panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa itu terjadi di Surabaya, 3 bulan setelah proklamasi kemerdekaan.
Peristiwa heroik itu diawali oleh insiden perobekan bendera merah putih biru di hotel Yamamato. Insiden itu semakin panas saat Jendral Mallaby tewas tertembak, dan penggantinnya Mayjen Robertt Mansergh memberi ultimatum yang isinya bahwa selambat-lambatnya pukul 06.00 di 10 November 1945, setiap pejuang Indonesia yang bersenjata harus menyerahkan senjatanya dan menyerahkan diri serta angkat tangan di atas kepala. Ultimatum tersebut disambut para pejuang dengan marah. Terjadilah perang dahyat yang berlangsung selama sekitar tiga minggu. Dalam peristiwa tersebut sekitar 6000 pejuang Indonesia gugur. Untuk mengenang peritiwa heroik itu ditetapkanlah tanggal 10 November sebagai hari Pahlawan melalui Keppres Nomor 316 tahun 1959.
Hari Pahlawan patutlah dikenang untuk memuliakan para pahlawan yang telah gugur. Hari Pahlawan perlu diperingati untuk menghormati dan memuliakan jasa para pahlawan yang gugur tak hanya pada peristiwa 10 November, namun pun mereka yang gugur dalam berbagai tempat dan waktu yang berbeda demi memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan kemerdekaan bangsa.
- Iklan -
Keterkaitan Sastra dan Nilai Kepahlawanan
Sastra tak hanya memiliki visi keindahan atau estetika belaka. Sastra juga harus berguna, seperti Horactio yang mengatakan deude et utile, indah dan berguna. Hal itu menunjukkan bahwa sastra memiliki dua fungsi yaitu fungsi artistik dan fungsi kemanfaatan. Kemanfaatan sastra bisa sebagai sarana pendidikan (edukatif), bisa sebagai wahana transformasi nilai-nilai dan budi pekerti, bisa sebagai sarana penanaman rasa religiusitas, memperhalus budi pekerti, menanamkan moralitas, menanamkan sikap luhur. Pendek kata, sastra adalah tontonan sekaligus tuntunan.
Kesusastraan Indonesia sangat dipengaruhi oleh perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa-peritiwa kesejarahan, fakta-fakta kepahlawanan, bukti-bukti patriotisme memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan sastra Indonesia.
Keterkaitan patriotisme sebagai unsur kesejarahan bangsa dengan sastra Indonesia sangat dimungkinkan karena dua hal. Pertama, setiap genre sastra selalu hadir sebagai sebuah sistem lambang budaya yang merupakan hasil kegiatan intelektual sastrawannya dalam merespon berbagai fenomena yang hadir di sekelilingnya, termasuk fenomena kesejarahan. Kedua, teks sastra adalah sebuah fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural. Raoucel dan Warren menyebutnya sebagai proyeksi kegelisahan manusia dengan segala macam persoalan kultural, sosial, sekaligus kejiwaan. Sastra Indonesia dan sastrawannya melihat wacana kebangsaan, historis, peristiwa kepahlawanan, heroisme, dan patriotisme sebagai fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif sosiokultural yang layak dan perlu diungkap dalam teks-teks sastra.
Puisi-Puisi Keahlawanan
Dalam paragfaf-paragraf di atas telah dibentangkan bagaimana keterkaitan sastra dengan peristiwa kepahlawanan, perjuangan, patriotisme, dan heroisme. Sejarah sastra kita pun sudah mencatat banyak sekali teks-teks sastra yang merefleksikan dan mengangkat tema kepahlawanan, baik teks-teks sastra yang berbentuk prosa maupun puisi. Bahkan kecenderungan tema patriotisme pernah menjadi ciri penanda salah satu angkatan dalam sejarah kesusastraan Indonesia, yaitu angkatan 45.
Tema kepahlawanan yang muncul dalam puisi-puisi Indonesia memiliki dua tipe kecenderungan. Yang pertama, mengacu pada sosok pahlawan tertentu atau didedikasikan khusus untuk seseorang pahlawan tertentu. Yang kedua, puisi tersebut tidak mengacu pada seseorang pahlawan tertentu secara riil namun rekaan atau nilai-nilai kepahlawanannya yang diungkapkan.
Untuk yang tipe pertama, mari kita perhatikan puisi karya Sanusi Pane di bawah ini:
TERATAI
Kepada Ki Hadjar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntm bunga teratai:
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akar tumbuhnya di hati dunia
Daun berseri Laksmi mengarang:
Biarpun ia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o Teratai bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biar sedikit penjaga taman.
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkaupun turut menjaga zaman
Puisi di atas dengan jelas, terang-terangan ditujukkan untuk Ki Hadjar Dewantara. Puisi di atas termasuk jenis puisi ode, yaitu puisi yang dipersembahkan atau diperuntukkan kepada seseorang. Dengan sederhana, terang, dan mudah dipahami, Sanusi pane memyimbolkan Ki Hadjar sebagai sebuah teratai. Teratai dalam khazanaf filsafat Timur merupaka bunga yang sederhana namun indah dan bisa hidup dimana saja. Perjuangan pendidikan Ki Hadjar diibaratkan sebagai teratai yang akarnya kuat dan bisa tumbuh di mana saja.
Chairil Anwar pernah menulis puisi ode seperti di atas. Judul puisinya Diponegoro, jelas-jelas menunjukkan bahwa puisi ini mengacu pada sosok Pangeran Diponegoro yang dalam sejarah pernah melakukan perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Belanda. Namun, dalam puisi di atas, Chairil lebih mengedepankan nilai-nilai keberanian dan patriotisme Diponegoro. Mari kita simak puisi tersebut:
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang –berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasaierbu,
Serang,
Terjang
Dalam puisi yang lain Chairil Anwar menulis dengan menggetarkan berjudul, Persetujuan Dengan Bung Karno:
Ayo Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
Dipanggang atas apimu, digarami atas lautmu.
Dari mulai 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut.
Bung Karno! Kau dan aku satu zat, satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh.
1948
Puisi Chairil Anwar di atas bertiti mangsa 1948, lima tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Di tahun-tahun revolusi itu kita tahu, merupakan tahun-tahun yang penuh gejolak heroisme dan patriotisme yang membucah-buncah.
Berbeda dengan Chairil, penyair lain, yaitu Toto Sudarto Bachtiar, menulis puisi kepahlawanan untuk mengenang para pahlawan tak dikenal yang gugur demi bangsanya dengan cara yang mengharukan dan sangat menyentuh dalam puisi panjangnya Pahlawan Tak Dikenal:
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri
yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata:
Aku sangat muda.
Tema kepahlawanan tak hanya didominasi oleh para penyair angkatan 45 saja, generasi berikutnya pun melanjutkan tradisi menulis tema kepahlawanan tersebut. WS. Rendra sang ‘Burung Merak’ menggambarkan para pahlawan yang gugur itu dalam sebuah puisi yang memukau berjudul Gerilya: //tubuh biru/tatapan mata biru/lelaki terguling di jalan.//Angin tergantung/terkecap pahitnya tembakau/bendungan keluh dan bencana//Tubuh biru tatapan mata biru/lelaki terguling di jalan//dengan tujuh lubang pelor/diketuk gerbang langit/dan menyala mentari muda/melepas kesumatnya//Gadis berjalan di subuh merah/dengan sayur-mayur di panggung/melihatnya pertama//Ia beri jeritan manis/dan duka daun wortel//Tubuh biru/tatapan mata biru/lelaki terguling di jalan//orang-orang kampung mengenalnya/anak janda berambut ombak/ditimba air bergantang-gantang/disiram atas tubuhnya//Tubuh biru/tatapan mata biru/lelaki terguling di jalan//lewat gardu belanda dengan berani/berlindung warna malam/sendiri masuk kota/ingin ikut ngubur ibunya//.
Puisi-puisi di atas hanyalah sebagian kecil dari teks-teks puisi bertema kepahlawan yang sebenarnya bertebaran dalam konstelasi sastra Indonesia. Masih banyak penyair Indonesia lainnya, seperti Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Asrul Sani, Rivai Apin, Amal Hamzah, Hartoyo Andangjaya, Piek Ardiyanto, Kriapur, dan lain sebagainya. Melalui puisi-puisi mereka mengagungkan para para pahlawan, menghidmati pengorbanan mereka, dan memuliakannya.Mendampingi sejarah, puisi-puisi itu akan terus mengingatkan para generasi muda betapa memperjuangkan eksistensi bangsa adalah sebuah proses. Proses yangberdarah-darah, penuh riwayat haru sekaligus heroik. Para penyair itu selalu mengingatkan kita bahwa para pahlawan itu, baik yang dikenal maupun tak dikenal, baik yang tercatat maupun tak tercatat, telah menyumbangkan seluruh jiwa dan raganya kepada proses memerdekaan bangsanya.