Oleh Kak Ian
Ada dua macam sejarah yang sangat berbeda, versi manusia dan versi malaikat. Satu ditulis oleh manusia, berdasarkan data-data empiris kepunyaan manusia. Satunya lagi ditulis malaikat berdasarkan data-data dalam, data-data batin, berupa niat, pikiran, perasaan, impian unek-unek dan sebagainya. Ibarat bola, sejarah versi manusia melihat cembungnya dan sejarah versi malaikat itu melihat cekungnya.
Halnya saya dalam membuat esai ini “Saat Bahasa dan Sastra Indonesia di Tengah Generasi Milenial” yang juga memiliki sejarah berdasarkan pula dalam kelahirannya. Namun sebelum saya lebih lanjut meneruskan esai ini kembali. Saya ingin bertanya dengan Anda terlebih bagi generasi milenial.
- Iklan -
Apa itu (generasi) milenial? Apakah Anda tahu dari mana asal mula bahasa itu? Lalu bagaimana lahirnya sastra Indonesia di negeri ini?
Saya rasa pasti para generasi milenial tidak tahu atau belum mengetahuinya sama sekali. Halnya saya!
Namun tidak berlebihan bukan atau tidak ada kata terlambat, kan, untuk mengetahui hal itu semua ketimbang tidak tahu sama sekali atau tidak paham. Apalagi bertepatan pada bulan Bahasa dan Budaya yang kelahirannya bersamaan dengan Hari Sumpah Pemuda, di medio Oktober. Jadi sudah sepantasnya kan sebagai generasi milenial lebih care, uware dan respect pada bahasa ibunya yakni bahasa Indonesia agar lebih menghargai bahasanya itu sendiri, bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia.
Milenial atau sering disebut generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah generasi X. Mereka lahir pada kisaran tahun 1980 hingga 2000-an. Riset yang dilakukan lembaga Alvara Reasearch Center mengatakan generasi milenial menyimpan potensi besar untuk bisnis. Kalau begitu baiklah saya akan menjelaskan dari apa yang akan saya kemukan berkaitan dengan judul esai saya di atas.
Asal Mula Bahasa dan Bagaimana Bisa Terbentuk
Di dunia ini, diperkirakan ada lebih dari 7000 bahasa. Mulai dari Mandarin yang merupakan bahasa paling banyak digunakan, bahasa Spanyol, Perancis, dan Inggris. Nyatanya memang banyak yang penasaran tentang asal muasal bahasa di dunia ini. Tapi, darimana asal-usul bahasa itu? Dan kenapa bahasa bisa beraneka ragam di dunia ini?
Ternyata peneliti bersepakat kemunculan bahasa bermula pada tahun 100.000 sebelum masehi. Menurut Om Noam Chomsky, bahasa muncul pada 60.000 hingga 100. 000 tahun lalu di Afrika.1
Tapi muncul pertanyaan selanjutnya: dari banyaknya bahasa, seperti bahasa Spanyol, Perancis, Inggris dan sebagainya yang mana paling tua di dunia?
Keberagaman bahasa yang ada di dunia ini bisa dilihat dari munculnya bahasa-bahasa tertua di dunia. Sebut saja Sumerian dan Egyptian yang pertama kali merekam jejak bahasa beserta sistem bahasanya sekitar pada 3.200 SM. Kemudian, disusul dengan bahasa Tamil pada 2.500 SM, Sansekerta 2.000 SM, Yunani, dan bahasa Cina. Dan dari bahasa-bahasa inilah, yang mengawali keberagaman bahasa di dunia.
Hal ini bisa disebut sebagai monogenesis. Lalu, kenapa bahasa pun bisa menjadi beragam?
Pendek kata itu karena adanya banyak faktor yang bisa membuat bahasa itu sendiri menjadi lebih beragam. Seperti adanya isolasi kebudayaan, lingkungan dan dibawa melalui penjelajahan para pendahulu kita. Singkatnya, semua berasal dari nenek moyang kita yang bermigrasi ke seluruh dunia untuk mencari sumber makanan. Kemudian, nenek moyang kita terpisah satu sama lain dan membentuk bahasa baru yang disesuaikan dengan kondisi alam, makanan, dan makhluk hidup lain yang tinggal di sekitarnya.
Isolasi inilah yang menyebabkan, kenapa di tiap tempat, memiliki bahasa yang berbeda. Apalagi di Indonesia, yang geografisnya kepulauan, sehingga orang makin terisolasi, menyebabkan makin uniknya bahasa yang ada. Kejadian ini bisa dikarenakan adanya faktor pertama yakni sebagai Candelabra theory Kedua, karena faktor lingkungan.
Menurut para peneliti di University of New Mexico dan Laboratoire Dynamique du Langage-CNRS Perancis, bahasa terbentuk secara tradisional, yakni dari lingkungan alam. Sedangkan pembentukan huruf dan intonasi suara menyesuaikan temperatur dan kondisi fisik, misalnya pegunungan atau pantai. Contohnya, kalau di pegunungan, banyak pake huruf konsonan misalnya H, X, V, B dan juga kalau ngomongnya suaranya keras.
Terakhir, karena penjelajahan para pendahulu. Bahasa membaur dan menciptakan bahasa baru, yang teknisnya disebut sebagai “super-language”. Itulah sebabnya kenapa faktor jarak, juga mempengaruhi bahasa yang ada. Seperti misalnya negara yang berdekatan, seringkali memiliki kata-kata yang mirip misalnya bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, bahasa Yunani dan Sansekerta yang mengawali bahasa-bahasa di Eropa, misalnya Inggris dan Perancis atau juga bahasa Arab yang tersebar di dataran Afrika Utara dan Timur Tengah. Berbeda misalnya, bahasa Spanyol dengan Mandarin, yang tidak ada mirip-miripnya. Meskipun begitu, asal muasal bahasa sendiri masih diperdebatkan dan masih diteliti hingga sekarang. Jadi, silahkan belajar lagi tentang bahasa karena ilmu bahasa juga merupakan ilmu yang sulit
Awal Mula Lahirnya Sastra Indonesia
Umar Yunus berpendapat, sastra ada sesudah bahasa ada. Misalkan, “sastra X ada sesudah bahasa X ada”. Karena bahasa Indonesia baru lahir saat adanya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Maka Umar Yunus berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia baru lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga menurutnya, karya sastra yang terbit sebelum tahun 1928 dianggap bukan digolongkan sebagai hasil sastra Indonesia melainkan sebagai hasil karya Sastra Melayu saja. Sedangkan Ajip Rosidi, mempunyai pendapat yang berbeda. Menurutnya, bahasa tidak bisa dijadikan patokan sebagai kapan sastra itu lahir. Karena, sebelum bahasa diakui secara resmi tentulah bahasa itu sudah ada dan sudah digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut. Berdasarkan kesadaran kebangsaan inilah Ajip menetapkan lahirnya kasusastraan Indonesia itu tahun 1920/1921 atau tahun 1922. Karena pada waktu itu pemuda Indonesia seperti Sanusi Pane, Muhammad Yamin dan lain-lainnya menegaskan, bahasa Indonesia itu berbeda dengan Sastra Melayu.2
Lain hal dengan Korrie Layun Rampan yang dilansir di dalam buku “Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia” terbitan Grasindo, tahun 2000. Dikatakan dalam sejarah sastra Indonesia, dikenal apa yang disebut kesusastraan di Indonesia yakni bentuk-bentuk baku sastra daerah. Di samping masih tersimpan dalam bentuk lisan, sastra daerah juga banyak yang tertulis, terutama puak-puak yang telah memiliki aksara tersendiri seperti Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Batak dan lain-lain. Di samping itu setelah terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin Soerat Kabar Bahasa Melajoe (1856) munculah penulis-penulis Tionghoa yang kemudian melahirkan sastra Melayu-Tionghoa, baik berupa karya asli, saduran maupun terjemahan. Sejak penerbitan awal karya sebagai buku pada tahun 1871, sastra Melayu-Tionghoa ini mengalami masa subur pada tahun-tahun kemudian seakan-akan bermertaforsis menjadi cerita-cerita silat.3
Jadi antara bahasa dan sastra Indonesia memiliki masing-masing memiliki asal-usul yang jelas.
Generasi Milenial Apakah Masih Peduli akan Bahasa dan Sastra Indonesia Disaat Ini?
Sebelum lebih lanjut bicara mengenai bagaimana dan harus apa yang dilakukan sebagai generasi milenial dalam mempertahankan bahasa dan sastra Indonesia saat ini. Maka izinkanlah saya memberitahukan lebih dulu tentang istilah dari kata ‘milenial’ itu sendiri. Sebab selama ini hanya mendengar ‘trend’ istilah itu saja! Tapi tidak tahu dari mana sebutan itu bermula atau asalnya dari mana?
Itu yang harus ditelisik lebih jelas dan dalam agar bisa dipertanggungjawabkan nanti bila kita sudah menyebut istilah tersebut!
Ternyata istilah ‘milenial’ itu pertama kali digaungkan oleh seorang sosiologis bernama Neil Howe dan William Strauss yang dalam bukunya berjudul “Generations” pada tahun 1991. Hingga akhirnya istilah itu semakin popular di medio tahun 2013 saat majalah Times menerbitkan artikel dengan judul “The Me Me Me Generation” dan mengkritik budaya kerja generasi ini yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya.
Bukan itu saja Neil Howe dan William Strauss pun kembali mengatakan generasi ini akan membawa perubahan besar pada berbagai macam aspek budaya; entah itu budaya kerja, hubungan orang tua dan anak dan sebagainya. Itu pun diperjelas lagi oleh seorang demografer Jerman, Wilhelm Pinder, “Bahwa setiap generasi memiliki tiga kelompok; 1. The Directive (Yang membuat arus), 2. The Directed (Yang terbawa arus), 3. The Suppressed ( Yang tertekan).” Maka dari tidak menutup mata suka atau tidak suka, setiap generasi memiliki karakteristik “Peer Personality”.
Halnya dalam mencintai atau mempertahankan bahasa dan sastra Indonesia saat ini. Tentunya sebagai generasi milenial juga memiliki sikap atau memilih untuk menjadi generasi apa nanti? Apakah generasi yang membuat arus dalam konteks yang positif atau tidak!
Karena saya yakin generasi ini lebih militan. Dengan potensi yang dimiliki dalam diri mereka. Salah satu dengan kegiatan yang penuh kreativitas bahkan membuat inovasi yang berbeda. Mungkin yang lebih sangat menginspirasi dengan mengadakan workhshop kepenulisan baik di lingkungan sekolah maupun di komunitas yang mereka diami.
Siapa tahu dengan mengadakan kegiatan seperti itu bisa mengenalkan dunia literasi. Bukan hanya itu saja juga mengupayakan agar budaya membaca dan menulis di Indonesia lebih baik dan maju lagi. Serta bisa saja mereka makin mencintai bahasa dan sastra Indonesia itu sendiri. Karena majunya Indonesia saat ini ada dalam pundak mereka.
Maka dari itu sejak dinilah sudah diberitahukan dan masukan mengenai pemahaman penggunaan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Bukan itu saja jadikan bahasa dan sastra Indonesia sebagai jati diri dan identintas bangsa Indonesia serta juga ikut melestarikannya. Tanpa mencari-cari perbedaan. Dan janganlah ‘melecehkan’ dan ‘mencampuradukan’ dengan bahasa-bahasa lainnya yang memang bukan sepatutnya digunakan. Tapi gunakanlah bahasa yang satu yakni Bahasa Indonesia dan tidak lupa cintai sastranya pula agar lebih seimbang.
Bagaimana siapkan Anda sebagai generasi milenial yang (ingin) melek bahasa dan sastra Indonesia untuk berada di tengah-tengah makin majunya zaman dari gempuran teknologi serta semakin berkembangnya dan pesat peradaban di era 4.0 saat ini. Saya berharap demikian!