Oleh: Salman Akif Faylasuf *
Hakikatnya, pesantren menjadi pusat pemeliharaan berbagai tradisi keilmuan yang diproduksi oleh anak-anak bangsa ini. Misalnya, mulai dari tradisi kesusastraan Nusantara hingga tradisi ilmu-ilmu sosial pesantren. Itu sebabnya, tradisi imu-ilmu sosial kaum pesantren dimulai dari perspesi tentang karakter umum dari penjajah dan kaki-kaki tangannya.
Buku-buku kaum santri, mulai dari Syekh Ahmad Chatib Minangkabau, guru Hadlratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari, berjudul Dlaw al-Siraj, syair dan hikayat-hikayat tentang Perang Sabil yang ditulis oleh ulama-ulama Aceh, hingga buku Kiai Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren, dibuat satu bab tentang “Memetakan wajah-wajah Kaki Tangan Penjajah”.
Di sana, tidak akan Anda jumpai teori tentang kebudayaan besar berhadapan tradisi kecil, dikotomi kota-desa, soal buta huruf, soal rakyat miskin, atau tentang mentalitas konservatif dan tradisional atau kebudayaan primitif orang-orang desa. Sebagaimana halnya tradisi ilmu-ilmu sosial Marxian dimulai dari persepsi tentang musuh mereka, kapitalisme (Marx memulainya dari perpsektif Hegelian tentang tesis-antitesis-sintesis), pergumulan orang-orang pesantren dengan penjajahan, dimulai dari konsolidasi tesisnya, yakni dari tradisi pesantren.
- Iklan -
Dari tradisi ini, ilmu-ilmu sosial menginspirasi sebuah aksi, praksis, dua lapis. Lapis pertama, ideologi dan lapis kedua praksis-gerakan. Sehingga lahirlah pesantren bergerak, seperti pengalaman sejumlah pesantren yang dekat dengan pabrik-pabrik gula di masa kolonial. Pergaulan dekat itu akan memunculkan ilmu orang-orang pesantren tentang ekonomi-politik, tentang pabrik gula, tentang logika kapitalisme global, dan tentang perdagangan.
Tak hanya itu, pun juga tentang ketimpangan dalam ekonomi kolonial, tentang pengalaman kaum buruh yang terlibat dalam ekonomi kapitalisme, tentang menyiasati cara bagaimana mengambil keuntungan material dari industri tersebut, tentang bagaimana melawan eksploitasi, hingga bagaimana melakukan revolusi dalam kepemilikan industri-industri tersebut.
Syahdan, pesantren adalah tradisi hubungan antara guru dan murid. Sang guru tidak hanya melatih keterampilan sang murid, tetapi juga membentuk kepribadiannya. Karena praktik latihan dan proses berguru itu tidak dilakukan dengan cara duduk di dalam kelas dengan jadwal-jadwal pasti, maka pesantren juga merupakan sebuah komunitas, sebuah proses bermasyarakat, sebagai sebuah poses menjalani kehidupan. Karena di sana latihan dan proses berguru berlangsung secara perlahan dalam bentuk magang atau nyantrik, menjadi asisten dan pembantu pribadi.
Itu artinya, kalau sebuah proses bermasyarakat dan menjalani hidup ini (sebagai inti dari pemahaman keagamaan kalangan pesantren, yang mengamalkan ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja), hal itu berjalan dengan sendirinya, tanpa ada pengarahan dari sang guru. Guru tidak memberitahu apa yang harus dikerjakan, tapi dia menegur kalau ada kesalahan (sebagaimana halnya fungsi sang ideolog).
Dengan demikian, maka kaum pesantren, bagaikan musisi jazz saling berinteraksi dan kemudian membentuk satu kesatuan dalam proses tanpa ada pengarahan dan rencana sebelumnya. Semuanya dilakukan secara bersama dalam proses. Ia terus berproses, sehingga praktik keagaman dan kebudayaan mereka tidak pernah berhenti.
Tradisi dan praktik kebudayaan mereka (dalam lingkup tradisi pesantren) lahir setiap hari, setiap kali dipentaskan dan dipanggungkan, dihadirkan, dan diinvensi. Segalanya menjadi baru dan aktual, karena secara spiritual ada usaha untuk melakukan adaptasi, aktualisasi, interpretasi.
Kita tahu, dalam tradisi pesantren, dikenal tiga unsur pokok basisnya: desa, kitab kuning, dan masjid-pondok (dalam tradisi Bali ada desa, kala, dan patra; tempat, waktu, dan suasana; demikian pula di Jawa, empan, papan, dan winiraos), yang merupakan prinsip panutan hidup, dan sekaligus merupakan jiwa kebudayaannya. Dan pengembaraan spiritual itulah yang diperlukan seorang guru, kiai, yang menggelar pendidikan dalam sebuah tradisi dan komunitas.
Di tangan sang guru, pengembaraan itu tidak menjadi perintah-perintah yang pasti. Tapi semacam isyarat-isyarat yang memancing para santri dan masyarakat pendukungnya, untuk memasuki suatu suasana mencipta dari sesuatu yang tidak pernah jelas, sebelum benar-benar terjadi.
Improvisasi (seperti halnya tajdid atau almuhafazhah) merupakan institusi yang amat penting dalam tradisi pesantren, dan sekaligus merupakan tempat untuk mengaplikasikan desa-kala-patra (yang dalam bahasa pesantren adalah almuhafazhah), sehingga suasana pendidikan menjadi aktual. Nyantri, dengan demikian, adalah sebuah usaha untuk hidup bersama tradisi, dan mengartikan tradisi bukan sebagai mumi yang mati, melainkan sesuatu yang hidup, tumbuh, dan bagian dari masa kini.
Masih tentang pesantren. Kaum pesantren mengajak orang memikirkan kembali, memikirkan sekali lagi segala sesuatu yang sudah pernah disimpulkannya, atau yang sudah diterima sebagai kesimpulan. Bukan untuk mengajak orang berbalik langkah atau mengingkari diri, tapi untuk mengaktualisasikan segala keyakinan-keyakinannya setiap saat.
Dalam konteks itu, sang kiai hadir sebagai seorang pemimpin. Ke-syuyukhiyah-an lebih merupakan pengaturan strategi. Dalam mengatur strategi bukan hanya diperlukan akal, tapi juga insting. Ada strategi bahasa, strategi ruang, strategi visual, strategi psikologi, dan juga strategi manajemen, bahkan juga strategi menyerang (semuanya sangat dituntut). Ini menjelaskan mengapa pesantren kemudian mengajarkan santri-santri olah bela diri dan ilmu kanuragan.
Dan di mana pun, dalam tradisi pesantren, seorang kiai adalah seorang jenderal perang yang memiliki kekuasaan sangat besar dan tak terbantah dalam proses produksi. Tidak semua orang mampu dan bisa menjadi kiai yang adalah jenderal (ada kiai yang hanya sebagai palaksana dari titah sang jenderal).
Dalam hal ini, hanya seorang pemimpin spiritual, seorang yang memiliki kemampuan jenderal perang, yang mahir segala taktik berperang bisa menjadi seorang kiai dari panggung/lanskap kebudayaan dan beragama dan berpolitik.
Karena itu, tak keliru jika dikatakan bahwa seorang kiai adalah seorang pemimpin yang mampu menciptakan tontonan (uswah) dalam diri masyarakatnya dan dalam diri penonton. Bahkan, memberikan pengalaman spiritual kepada penonton, bukan hanya menciptakan adegan-adegan bagus di panggung. Sebab, karena nyantri bukan hanya sebuah proses belajar-mengajar, tapi peristiwa spiritual, sebuah upaya untuk mencari jati diri manusia.
Tidak hanya sekadar hubungan kerja, hubungan pengetahuan, tapi juga pengabdian. Ia merupakan kesempatan untuk nyantrik (nyantri), untuk menemukan diri. Sebuah pendidikan jiwa bagi para santri, yang mengajarkan seni berperilaku dan berpengetahuan, tapi juga bersikap terhadap berbagai aspek kehidupan. Untuk melakukan pemantapan-pemantapan sikap dan kepribadian, sehingga akhirnya mampu menyampaikan suara, sikap atau pendirian untuk berbagai fenomena sosial-politik bahkan juga spiritual. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.