Oleh Nanang Qosim, S,Pd.I, M.Pd
Radikalisme sampai kapanpun menjadi ancaman serius bagi masyarakat dan keamanan bangsa dan negara Indonesia. Dalam menghadapinya, pendidikan agama memiliki peran yang krusial. Sebab pendidikan agama menjadi penopang utama dalam membentuk akhlak mulia dan jiwa kebangsaan yang berlandaskan pada nilai-nilai agama. Dalam konteks Islam, pendidikan agama Islam memiliki potensi besar untuk melawan dan meredam radikalisme melalui pengajaran akhlak mulia dan nilai-nilai kebangsaan.
Pendidikan Agama Islam dapat membentuk akhlak mulia dengan memberikan pemahaman yang mendalam tentang fiqh, tauhid, akidah, akhlaq, dan sejarah kebudayaan Islam. Dalam mata pelajaran ini, generasi muda, siswa diajarkan untuk memahami esensi dan prinsip-prinsip ajaran agama yang menekankan toleransi, saling menghormati, dan kasih sayang terhadap sesama umat manusia. Dengan pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai agama, para generasi muda akan memiliki dasar yang kokoh untuk menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Kekhawatiran terhadap pendidikan agama yang kadang dipersepsikan menjadi pemicu radikalisme adalah sebuah pandangan yang salah dan perlu diluruskan. Karena sejatinya, agama bukanlah yang melegitimasi kekerasan dan perpecahan. Sebaliknya, agama hadir sebagai sarana untuk menumbuhkan akhlak mulia dan memperkuat persatuan bangsa. Prinsip ini sejalan dengan pesan Nabi Muhammad saw., innama buitstu li utammima makarima al-akhlaq, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Jelas, bahwa nabi diutus di muka bumi untuk tujuan menyempurnakan moral.
- Iklan -
Karena itu, sangat penting untuk mengalihkan perhatian masyarakat supaya fokus dan lebih tepat dalam hal melihat pendidikan agama secara komprehensif. Terlalu sering, pendidikan agama menjadi sasaran gosip dan pergunjingan terkait dengan isu politik. Agama Islam, misalnya, sering dianggap sulit dipelajari karena menggunakan bahasa Arab dan terkesan mengintimidasi dengan ancaman dosa dan neraka. Padahal, hakikat agama tidak hanya sebatas itu. Agama merupakan manivestasi kemasyarakatan yang dipadukan dengan sikap, perilaku, perkataan dan persaudaraan yang bermoral.
Apabila terdapat ajaran dalam agama Islam yang mendorong perpecahan dan kegarangan, maka tanggung jawab kita untuk mengarahkannya dan menjelaskanya. Sebab pemahaman terhadap agama yang demikian hanya didasarkan pada interpretasi normatif dan tekstualis. Meskipun agama Islam memiliki sumber ajaran yang berasal dari teks wahyu, yaitu Al-Qur’an dan hadis, namun pemahaman terhadap teks wahyu tidak hanya berdasarkan penafsiran kata per kata, tetapi harus melihat konteks keseluruhan teks tersebut. Dalam konteks studi agama, penting untuk menerjemahkan teks sesuai dengan konteksnya.
Guru Agama
Sampai saat ini, diakui atau tidak masih ada kenyataan bahwa ada guru agama yang fanatik dan cenderung radikal. Maka patutlah pemerintah dan organisasi keagamaan perlu gencar memberikan penguatan dan pelatihan untuk guru agama. Dalam konteks kehidupan individual, agama perlu diajarkan secara doktriner, namun untuk sosial, agama menjadi perekat dengan toleransi. Termasuk memahamkan mengenai peran kebangsaan yang dinomorsatukan.
Jika bangsa Indonesia memiliki Pancasila, maka guru agama sangat perlu berkolaborasi dengan guru pendidikan kewarganegaraan dalam menekankan jiwa kebangsaan. Maka untuk mewujudkan cara pandang guru agama yang demikian, diperlukan usaha maksimal dengan empat pola pendekatan.
Pertama, pendekatan agama berbasis teoantroposentris. Pandangan agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad adalah Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Sehingga pemahaman agama yang bertuhan dan berperikemanusiaanlah yang perlu dikembangkan. Agama bukan dijadikan alat untuk membuat diri hambanya tertutup untuk berkomunikasi dengan agama lainnya. Sebab pada dasarnya, agama-agama di luar Islam juga mengajarkan kasih sayang. Sehingga perlu penyamaan visi dalam membangun agama yang lebih produktif terhadap nilai budaya setempat. Artinya agama dan budaya diharapkan mampu berjalan secara bersamaan.
Kedua, pendekatan kemanusiaan. Sangat tidak mulia bila bangsa yang sudah merdeka ini kembali bermasalah. Apalagi masalah itu lahir oleh dan untuk bangsa Indonesia sendiri. Dengan pendekatan kemanusiaan diharapkan para guru agama mampu merespon jatidirinya sebagai manusia yang sama mengabdi untuk Tuhan dan agamanya. Namun wujud dari pengabdian Tuhan, di muka bumi perlu diselaraskan dengan pengabdian masyarakat. Maka prinsip kemanusiaan itu yang dijaga secara baik. Mengajarkan agama atas nama Tuhan namun mencederai hak asasi manusia adalah kurang tepat.
Ketiga, pendekatan pancasilais. Sebagai negara yang mengakomodir enam agama resmi dan mengakui masih banyak aliran kepercayaan, maka agama sepatutnya dimaknai secara komprehensif. Bahwa agama mampu memberikan kontribusi terhadap nilai ketuhanan—dengan penuh kesadaran bahwa memang ada perbedaan. Falsafah hidup Pancasila mencoba memberikan batasan terhadap perbedaan itu. Perbedaan yang ada justru menjadikan modal bangsa untuk bersatu dengan prinsip bhineka tunggal ika. Artinya bahwa bangsa Indonesia diminta untuk lebih dewasa menghadapi perbedaan dengan saling menghormati.
Dan keempat, pendekatan kemajuan berasaskan anti konflik. Bangsa Indonesia sangat menantikan kemajuan di bidang apapun. Di tengah usaha untuk mengejar ketertinggalan terhadap bangsa lain, sungguh ironis jika bidang agama malah mengalami kemunduran. Salah satu kemunduran agama ditunjukkan dengan konflik pengikut agama di Indonesia. Maka sudah saatnya menjadikan agama sebagai pemersatu bangsa untuk menjadikan Indonesia semakin maju dalam kompetisi internasional.
Empat pendekatan tersebut akan memantik keseriusan para guru agama dengan mengedepankan prinsip dialog agama, bukan prinsip asal benar menurut ideologinya. Dialog agama akan membantu jiwa kritis terhadap keberagaman. Termasuk menjadikan guru semakin sadar tanggungjawabnya mencerdaskan generasi muda dengan model agama yang pluralis, bukan agama radikalis.
Menjadikan Indonesia Damai
Dengan cara yang semacam ini, harapan untuk membuat Indonesia damai semakin mudah. Indonesia sebagai negara Pancasila selayaknya melangkah lebih maju dalam bidang agama untuk menyokong era disrupsi yang merupakan masa terjadinya inovasi dan perubahan secara massif. . Nilai agama dan nilai Pancasila diajarkan secara berimbang agar tidak ada salah dalam menerjemahkan hidup beragama dan berbangsa. Karena hakikat hidup berbangsa dengan penuh kedamaian dan kerukukan itulah ajaran agama dijalankan.
Mendidik generasi muda kita seyogyanya meniru model pendidikan agama versi Nabi. Dimana saat hadir di Madinah, pengikut Nabi dilatih untuk bersatu dan merukunkan kabilah-kabilah yang puluhan tahun sebelumnya saling berkonflik. Saat itu saja, Nabi mampu melakukan dengan baik karena pengikutnya diajarkan prinsip Islam dengan landasan toleransi.
Maka diantara usaha untuk membendung radikalisme di sekolah/madrasah atau di lembaga pendidikan adalah dengan tiga hal. Pertama, menyediakan bahan ajar (buku/ensiklopedi/modul) yang tidak tendensius terhadap ideologi Islam kanan. Maksudnya, paham agama Islam yang mengarah pada sparatis dan teroris jangan sampai masuk dalam materi-materi agama. Ketika materi menjelaskan tentang jihad misalnya, tidak hanya diartikan perang dengan bom. Tapi harus dijelaskan dengan jihad akal dan nafsu yang dikembangkan dengan mencari ilmu dan menahan nafsu yang jelek.
Kedua, mengajarkan agama secara komprehensif-konstruktif. Artinya bahwa materi agama disajikan secara utuh, jangan dipotong-potong yang akhirnya menjadikan siswa bingung. Akhirnya siswa jauh dari agama dan menganggap agama tidak penting. Dan ketiga, mengarahkan kegiatan keagamaan di luar kelas. Adanya organisasi keagamaan siswa di luar OSIS juga perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak sekolah. Jangan sampai generasi muda kita sudah mulai terjangkit virus radikalisme agama.
– Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang, Kabid Penelitian dan Pengkajian FKPT Provinsi Jawa Tengah