Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo
Dewasa ini teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Beragam alat canggih yang merupakan produk teknologi saat ini telah banyak ditemukan, seperti: alat transportasi, alat komunikasi, dan sebagainya. Alat komunikasi saat ini yang relatif dimiliki oleh setiap individu adalah gadget/ smartphone. Guna memanjakan para pengguna gadget/ smartphone ini, berbagai platform digital kini juga mewujudkan dirinya satu per satu lengkap dengan berbagai variannya seiring berjalannya waktu. Masing-masing platform digital tersebut lahir berkat kecerdasan dan kepiawaian para ahli teknologi komunikasi yang membuatnya. Dengan adanya teknologi canggih dalam hal komunikasi tersebut, kebutuhan manusia yang pada zaman dulu semestinya dapat dilakukan dan diselesaikan dalam waktu relatif lama, menjadi terselesaikan secara relatif lebih cepat. Suatu contoh, dulu ketika seseorang ingin bertukar kabar atau berkomunikasi dengan saudara atau kerabatnya, maka ia harus menulis surat terlebih dahulu yang kemudian dikirimkan melalui kantor pos atau alternatif burung merpati. Berkirim surat semacam ini membutuhkan waktu yang relatif lama dan ada resiko surat yyang dikirim tidak sampai sebab rusak di perjalanan atau sebab lainnya. Berbeda halnnya dengan zaman sekarrang ketika teknologi telah berkembang pesat, proses komunikasi kini dapat dilakukan secara singkat dan relatif sangat cepat melalui gadget/ smartphone dengan memanfaatkan platform digital sosial media yang mendukung untuk melakukan komunikasi secara cepat dan efesien, seperti: WhatsApp, Instagram, Facebook, dan sejenisnya.
Di samping memudahkan dan meringkas proses komunikasi antar manusia, lahirnya platform-platform digital tersebut juga dapat dimanfaatkan manusia untuk berselancar di dunia maya alias aktif bermain sosial media. Aktivitas bersosial media memungkin setiap individu untuk dapat saling bertukar ide atau gagasan, baik yang terwujud dalam bentuk tekstual, audio, visual, maupun visual audio. Sebagai suatu realitas yang telah lama naik daun dan digemari mayoritas manusia di dunia masa kini, khususnya di Indonesia, aktivitas berselancar di dunia maya, khususnya sosial media, memiliki dampak positif dan negatif. Di antara dampak positif yang timbul dari aktivitas ini adalah manusia dapat menemukan berbagai pengalaman dan pengetahuan baru yang dibagikan oleh manusia lainnya dalam sosial media, sehingga siapapun yang mau memanfaatkan momentum ini pastilah ia menjadi manusia yang berwawasan luas dan cenderung open minded alias tidak saklek dalam menjalani kehidupan yang dinamis ini. Adapun dampak negatif dari adanya sosial media ini di antaranya adalah lupa waktu dan kewajiban karena hanyut dalam kesenangan bermain sosial media, terjerumus dalam konten-konten negatif, dan juga rentan terjadi debat kusir yang seringkali menimbulkan kegaduhan dan perseteruan, bahkan ada yang hingga mengakibatkan ke ranah hukum. Hal ini biasanya terjadi kepada manusia yang mudah terprovokasi karena ia gemar langsung angkat bicara tanpa mau membaca informasi yang disuguhkan secara mendalam. Ibarat kata, sosial media ini hadir bagaikan pisau bermata dua dalam kehidupan manusia. Bagi manusia yang mampu meemanfaatkannya dengan baik dan bijak, maka value diri mereka terangkat menjadi lebih meningkat dan menjadi terhormat. Sebaliknya, bagi yang tidak mampu memanfaatkannya dengan baik dan bijak, maka mereka akan mendapatkan madharat yang tak sedikit dari sosial media ini.
Seiring berkembangnya zaman, kita tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia ini sangat gemar berselancar di sosial media, mulai dari yang masih kecil hingga yang ttelah dewasa; dari yang mmuda hingga yang tua; daari yang rakyat biasa hingga para pejabat negara, dan tak terkecuali para santri. Santri pada era sekarang ini –yang lazim disebut sebagai era society 5.0– tak lagi gaptek (read: gagap teknologi) terhadap perkembangan teknologi. Sebagian dari mereka secara otodidak relatif mampu memainkan gawai dengan piawai hingga turut aktif dalam bersosial media. Apabila dikaji secara mendalam, maka realitas yang demikian ini sebenarnya merupakan tantangan tersendiri bagi para santri saat ini yang tentunya sangat jauh berbeda dengan tantangan bagi para santri era dulu. Para santri era dulu menghadapi tantangan –yang secara sederhana- sekadar bagaimana mereka mampu mendalami ilmu agama secara intensif dan kompleks yang didapatkan dari ngaji kepada Sang Kiai/Bu Nyai atau Ustadz/ah yang mengajari mereka, lalu mempraktekkannya dalam kehidupan nyata dengan selalu mengedepankan karakter atau budi pekerti luhur khas santri di dunia nyata saja. Nah, tentu tantangan ini tergolong lebih sederhana –meskipun tetap butuh effort yang luar biasa dalam menjalaninya- ketika dibandingkan dengan tantangan yang ada bagi para santri yang hidup di era society 5.0 sekarang ini. Mereka dihadapkan dengan tantangan yang sebenarnya sama, yakni bagaimana mereka mampu mendalami ilmu agama secara intensif dan kompleks yang didapatkan dari ngaji kepada Sang Kiai/Bu Nyai atau Ustadz/ah yang mengajari mereka, lalu mempraktekkannya dalam kehidupan nyata dengan selalu mengedepankan karakter atau budi pekerti luhur khas santri, namun bukan di dunia nyata saja, melainkan juga di dunia maya.
- Iklan -
Dengan adanya tantangan tersebut, maka seyogyanya para santri harus memiliki kompetensi yang tak ‘sederhana’ lagi. Para santri zaman dulu dianggap telah cukup dan mumpuni menjadi cendekiawan Islam ketika mereka telah fasih secara lisan (menguasai kompetensi berpidato/ berorasi dengan baik), sehingga mampu menyampaikan ilmu keagamaan dengan bahasa yang mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat awam manakala mereka telah lulus menempuh pendidikan pesantren dan terjun di kehidupan sosial bersama dengan masyarakat. Namun, di era society 5.0, agaknya para santri yang hanya fasih secara lisan tidak dapat dianggap cukup dan mumpuni lagi untuk menjadi cendekiawan Islam yang siap menebarkan kebermanfaatan ilmunya kepada masyarakat luas dalam kehidupan sosial sekarang ini. Para santri era society 5.0 harus mampu menjadi pribadi yang fasih secara lisan dan tulisan. Artinya, santri dituntut tidak hanya pandai menyampaikan gagasan atau ilmu sebatas dengan keterampilan berbicara saja, melainkan juga harus pandai mengolah kata dan menguasai kompetensi menulis, sehingga mereka mampu menyampaikan gagasan atau ilmu yang telah mereka pelajari dan kuasai dalam wujud tulisan melalui platform digital sosial media.
Membumikan dan melestarikan ajaran agama Islam yang rahmatan lil-‘alamin melalui sosial media penting untuk diperhatikan di era sekarang ini. Mengingat bahwa perkembangan sosial media yang kian masif, jika para santri tidak mau turut mengambil peran dan kesempatan, maka sosial media tersebut akan dikuasai oleh konten-konten negatif yang sangat berpotensi meracuni kehidupan bangsa ini. Maka, santri harus tanggap dan mau untuk menaruh perhatian kepada persoalan ini, karena mereka adalah para pemuda masa kini yang akan menjadi generasi penerus bangsa ini pada masa depan nanti. Dalam menyikapi persoalan ini, para santri semestinya piawai dan gencar, serta bersemangat mengambil peran. Selain untuk meredam arus konten-konten toxic di sosial media, kehadiran para santri, dengan kefasihan lisan dan tulisannya, diharapkan juga dapat membuat eksistensi ajaran agama Islam yang rahmatan lil-‘alamin di negara ini tetap terjaga dan bahkan semakin berkembang secara siginifikan, karena sosial media dapat menjangkau ribuan dan bahkan jutaan individu. Ada pepatah bijak pernah mengatakan bahwa “Satu peluru mungkin hanya dapat menembus satu kepala, akan tetapi satu tulisan dapat menembus jutaan kepala.” Oleh karena itu, peran para santri saat ini sangat dibutuhkan dalam menyikapi dan menuai keberhasilan dalam menghadapi persoalan ini. Karena kalau bukan santri –yang notabene masih muda dan bertenaga prima- yang melakukan dan peduli, ya lantas siapa lagi?
Selanjutnya, dengan adanya kebutuhan bahwa santri saat ini harus fasih lisan dan tulisan, maka peran pesantren sebagai wadah pendidikan dan pengembangan bagi mereka, sangat dinantikan kehadirannya dengan terobosan inovasi pendidikan yang semestinya berani melakukan pembaharuan lalu melaksanakannya secara maksimal dan dengan penuh tanggung jawab. Jika dahulu model pendidikan yang berlangsung dalam dunia pesantren secara garis besar hanya sebatas ngaji bandongan, sorogan, dan halaqah, maka saat ini seharusnya pengembangan dan pelatihan ilmu jurnalistik dengan basis litersasi Islami pada khususnya, harus segera dirancang dan dilakukan, lalu dioptimalkan secara konsisten demi mencetak kader-kader santri terbaik bangsa ini supaya mampu menjawab tantangan dan memenuhi kebutuhan tuntutan zaman yang senantiasa berkembang secara dinamis. Pengembangan dan pelatihan ilmu jurnalistik kepada para santri dengan basis literasi Islami ini mungkin dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Misalnya, setiap santri sehabis mengikuti kegiatan ngaji bandongan dengan Sang Kiai/Nyai atau Ustadz/ah yang mengajar di pesantren diwajibkan untuk membuat resume atau catatan sederhana yang berisi tentang materi yang dipelajari sewaktu mengaji. Selain itu, pengoptimalan program bahtsul masail –yang biasanya hasil musyawarahnya disimpan rapi untuk di konsumsi bagi kalangan santri sendiri- dengan mempublikasikan hasilnya kepada khalayak luas melalui platform digital sosial media resmi milik pesantren perlu untuk mulai digalakkan secara masif. Mungkin saat ini sudah ada beberapa pesantren yang telah melakukan inovasi ini, namun hal ini perlu untuk terus ditekankan dan disosialisasikan secara lebih intensif supaya semakin banyak pesantren yang mampu dan tergugah untuk melakukan inovasi apik tersebut. Inovasi ini selain mengasah kemampuan menulis para santri, secara tidak langsung juga melatih rasa percaya diri mereka untuk siap tampil di hadapan publik.
Dalam skala yang lebih besar -yang masih dalam lingkup satu pesantren-, kegiatan seminar kepelatihan ilmu jurnalistik juga perlu diadakan dan dilaksanakan secara konsisten. Pesantren dapat bekerja sama dengan pihak-pihak atau tokoh-tokoh tertentu yang bergerak aktif sbbagai aktivis jurnalistik dalam mewujudkan inovasi ini. Hal ini patut diselenggarakkan demi mendukung dan mengasah potensi santri menjadi pribadi yang bukan hanya fasih secara lisan, melainkan juga fasih secara tulisan. Keterampilan menulis alias kefasihan tulisan bagi santri ini memang perlu dilatih secara terus menerus, agar pada masa mendatang nanti, banyak lulusan pesantren yang menjadi cendekiawan Islam yang fasih secara lisan dan tulisan, yang pada puncaknya mereka diharapkan berani bersanding dan tidak mau kalah dengan para cendekiawan Barat. Dengan demikian, para santri akan memiliki jati diri santri yang istimewa, menjadi pribadi dengan SDM unggul, percaya diri tampil di hadapan publik, dan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat yang tidak mengidolakan mereka, karena realitas santri yang minim softskill dan gagap teknologi ketika terjun dalam kehidupan sosial pasca lulus pesantren, seperti halnya yang relatif masih terjadi saat ini. Selain itu, dengan bekal fasih lisan dan tulisan, para santri akan mampu memberikan kebermanfaatan ilmunya kepada masyarakat secara lebih luas, khususnya dengan edukasi yang diberikan atau disampaikan melalui sosial media; mampu menjadi pribadi yang adaptif terhadap perkembangan zaman yang dinamis; dan siap menjadi agent of change bagi bangsa ini dalam menuju arah kehidupan yang lebih baik dan berkemajuan. InSyaAllah.
-Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Negeri Semarang.