Oleh: Holikin, S.Pd.I
Bulan Muharram termasuk salah satu Asyhurul Hurum, yaitu bulan-bulan yang dimuliakan Allah SWT. Hal ini telah Allah tegaskan dalam firmanNya, “Sesungguhnya hitungan bulan (dalam setahun) pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Allah menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (mulia)…” (QS. At-Taubah; 36). Sementara empat bulan yang mulia tersebut, yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Dalam Kalender Islam (kalender Hijriyah) bulan Muharram ditetapkan sebagai hitungan bulan yang pertama.
Lebih khusus, bulan Muharram mendapat tempat istimewa di hati Nabi SAW. Ketika Nabi SAW memasuki kota Madinah, beliau menyaksikan umat Yahudi tengah berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Mengapa kalian menjalankan ibadah puasa?” Mereka menjawab, “Kami berpuasa untuk menghormati dan memperingati kemenagan Nabi Musa melawan Fir’aun”. Mendengar jawaban itu, Nabi SAW berkata kepada para sahabatnya, “Kami, kaum muslim lebih berhak menghormati Nabi Musa dibanding mereka!”. Maka semenjak saat itu, Nabi SAW menjalankan ibadah puasa sunah dan memberi perintah kepada seluruh umatnya agar mengikuti jejak beliau menjalankan puasa sunah Muharram. Bahkan, Nabi SAW menegaskan lewat sabdanya: “Puasa yang paling utama setelah Bulan Ramadhan adalah puasa di Bulan Muharram”.
Bulan Muharram tidak dapat dipisahkan dari peristiwa hijrah Nabi. Hijrah junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW dari Makkah ke tanah Yastrib (sekarang kota Madinah al-Munawarah) merupakan awal tonggak sejarah Islam yang mengagumkan. Dari sana, Sahabat Umar ibnu al Khatthab ra menetapkan lahirnya kalender Islam (kalender Hijriyah) setelah beliau melaksanakan musyawarah mufakat bersama sahabat-sahabat Nabi yang lain. Putusan tersebut diambil berdasar pada dua alasan historis, yaitu: Pertama, sejak peristiwa hijrah kaum muslimin memiliki sebuah institusi resmi dan berdaulat, berupa negara Madinah. Kedua, peristiwa hijrah Nabi sebuah momentum besar di mana umat Islam memiliki sebuah badan hukum (konstitusi) yang diakui legalitasnya di mata dunia.
- Iklan -
Lebih lanjut, pasca hijrah Nabi dari Makkah ke tanah Madinah telah membawa dampak yang sangat positif dalam tatanan hidup bernegara. Wujud nyatanya adalah selepas Nabi SAW mengeluarkan statement kebangsaan berupa Shahifah Madinah atau “Piagam Madinah” yang isinya hampir seratus persen memuat kaedah-kaedah kerukunan antar suku, bangsa dan agama yang ada kala itu.
Dalam piagam tersebut Nabi SAW memberikan sebuah manifesto (pernyataan sikap) tentang toleransi antar agama, ras dan suku. Termasuk kesepakatan kerjasama yang saling menguntungkan antar golongan di bawah payung negara Madinah yang baru Nabi dirikan.
Piagam Madinah sengaja Nabi hadirkan di tengah-tengah ragam suku dan agama yang bernaung di bawah negara Madinah. Madinah yang dihuni oleh masyarakat plural bukan tidak mungkin menyimpan sumbu ledakan kekacauan. Sinyal perpecahan seperti Nabi rasakan, jika tidak dinyatakan secara resmi oleh negara akan pentingnya kerukunan dan kerjasama antar warga negara.
Oleh sebabnya, melalui Piagam Madinah itulah mestinya kita memandang dan belajar bahwa semangat keislaman kita adalah semangat persatuan serta asas perdamaian dan kerukunan, asas musyawarah dan toleransi. Menghadirkan subtansi dari nilai-nilai yang termaktub dalam Piagam yang Nabi buat itu ke tengah-tengah bangsa yang majemuk ini seperti wajib adanya. Perlunya kembali kita sebagai muslim mayoritas negeri ini memaknai kandungan Piagam Madinah ke dalam ruang lingkup kebhinekaan.
Selain itu, peristiwa hijrah Nabi SAW mampu menyatukan dua suku yang berbeda, yaitu Auz dan Khazraj yang selalu berkubang dalam pertikaian. Dua suku yang selalu dalam gelapnya permusuhan dan diliputi dendam yang berkepanjangan telah Nabi satukan dalam ikatan persaudaraan (ukhuwah). Hijrah Nabi benar-benar membawa semua yang terserak dalam cahaya persatuan.
Muharram sebagai awal tahun dalam kalender Islam, maka selayaknya umat Islam mengadakan muhasabah (introspeksi diri) sekaligus menahan diri dari segala bentuk perilaku yang mengarah pada disintegrasi. Refleksi dari momentum bulan Muharram ini tidak cukup hanya menerjemahkannya ke dalam bentuk kegiatan seremonial. Namun lebih dari itu, menyambut tahun baru Islam lebih kita rasakan manfaatnya dengan menjalin kerukunan antar elemen bangsa serta melakukan kerjama di berbagai bidang.
Peristiwa hijrah Nabi SAW patut kita teladani di zaman modern ini. Hijrah yang makna dasarnya adalah “berpindah” atau “beralih” layak untuk kita jadikan tuntunan. Beralih dari jiwa yang kotor ke jiwa yang bersih adalah intisari dari peralihan tahun hijriyah. Menjadi manusia yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah tuntunan dasar hijrah kita di era sekarang. Lebih-lebih beralih menjadi bangsa yang individual, kembali menjadi bangsa yang memiliki kepekaan jiwa sosial yang tinggi.