(Refleksi Kelahiran Pancasila 1 Juni)
*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Pancasila sebagai weltanschauung, sekaligus sebagai sumber hukum di Indonesia sudah menjadi konsesus nasional yang final dan tak bisa ditawar lagi. Dengan adanya konsesus yang final ini seharusnya semua warga negara Indonesia, tak pandang bulu apa profesinya, apa agamanya, apa sukunya, harus memiliki spirit Pancasila yang menjiwai seluruh aspek kehidupannya. Spirit Pancasila yang menjiwai seluruh aspek kehidupan ini berarti Pancasila harus dipahami, dihayati sekaligus diinternalisasi menjadi bentuk laku kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya ternyata Pancasila pernah diperlakukan sebagai doktrin yang beku, dogmatis bahkan dijerumuskan menjadi alat legitimasi perilaku koruptif dan represif. Akibatnya Pancasila sebagai sebuah ideologi justru terasing dan tersisih. Muncul ketidakpuasan dan ketakpercayaan pada ideologi yang bisa terindikasi dengan maraknya keinginan untuk mencari ideologi baru.
- Iklan -
Boleh dikatakan, saat ini Pancasila sebagai sebuah ideologi mengalami kemunduran bahkan “mati suri”, yang diistilahkan oleh Mostafa Rejai sebagai dalam bukunya Political Ideologies: A Comparative Approach (1994) sebagai situasi decline atau kemunduran. Situasi decline ini merupakan ancaman nyata terhadap sendi kebangsaan.
Sebagai sebuah komitmen pengakuan jatidiri kebangsaan, warisan maha karya yang sarat historis sekaligus cita-cita besar yang harus diwujudkan maka sudah seharusnya Pancasila harus tak hanya dijaga namun harus direfleksikan dalam realitas. Namun dalam kenyataan sekarang bahwa ajaran nilai-nilai luhur Pancasila yang terwadahi dalam sila-silanya belumlah mewujud secara sungguh-sungguh. Nilai-nilai tidak pernah diaktualisasikan dengan sepenuh hati dengan konkret.
Jangankan dilaksanakan dan dilaksanakan denga sungguh-sungguh, keinginan untuk membicarakan dan mewacanakan Pancasila saja cenderung diabaikan. Pancasila terkesan ditelantarkan dan disia-sikan. Warisan luhur yang dipuja dan diakui dunia ini dianggap sudah basi, sudah ketinggalan jaman, dianggap kuno dan tidak relevan. Jangankan diaktualisasikan, dipraktikkan, dan direfleksikan dalam realitas berbangsa dan bernegara, bahkan dihayati, dihafal, dan dipahami pun tidak!
Ketidaksungguhan dalam mewacanakan, mempraktikkan, dan mengaktualisasikan Pancasila membuat kita semakin berjarak dangan ideologi sendiri. Tak hanya berjarak, bahkan mulai muncul kasak-kusuk dan diam-diam ada pemikiran dan godaan menggantikannya dengan ideologi lain.
Semua keprihatinan tersebut di atas membuat posisi Pancasila semakin lemah dan terabaikan bahkan termarjinalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih-lebih ada beberapa faktor baik langsung dan tak langsung yang ikut memperlemah Pancasila.
Faktor-fakor itu antara lain. Pertama, Pancasila dipandang tercemar karena digunakan sebagai alat politik mempertahankan status quo rezim orde baru. Kedua, tidak adanya panutan dalam sikap perilaku dalam berpolitik dan memimpin, baik dalam ruang legislatif maupun eksekutif. Ketiga, gempuran globalisasi yang membawa liberalisasi politik sehingga muncul tandingan-tandingan ideologis termasuk ideologi berbasis agama. Yang keempat menguatnya etnonasionalisme, sentimen agama dan semangat kedaerahan yang sempit sebagai konsekuensi logis adanya otonomi daerah dan desentralisasi.
Sungguh pun demikian, situasi decline ini bukan berarti senjakala bagi kehidupan ideologi Pancasila. Masih dalam buku yang sama, Rejai menebarkan optimistis bahwa suatu ideologi politik tidaklah benar-benar sirna. Setelah mengalami situasi decline atau kemunduran, sebuah ideologi politik akan mengalami sebuah fase kebangkitan atau resurgence.
Meneguhkan Pancasila dengan Mengoptimalkannya Sebagai Ideologi yang Bekerja
Melihat kondisi ini mau tidak mau harus ada upaya yang serius untuk memosisikan kembali Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Itu berarti adalah mewacanakan kembali secara terus menerus agar semakin berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya pewacanan kembali secara terus-menerus maka akan muncul kembali penghayatan dan kesadaran ideologi. Melalui pewacanan itu pula diharapkan akan adanya kesadaran bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang paling tepat bagi Indonesia. Dalam pewacanaan kembali itu harus ditekankan bahwa Pancasila memiliki salah satu karakteristik. Karakteristik itu adalah satu fungsi yang tidak bisa dimiliki ideologi lain yaitu fungsi integratif yaitu menjamin kesatuan bangsa Indonesia yang pluralistik dan merupakan ciri eksistensi kebangsaan.
Pancasila harus disadari sebagai diskursus. Harus menjadi wacana publik sekaligus sebagai penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila untuk melahirkan pemaknaan dan pemikiran baru yang sanggup bertahan dalam berbagai gejolak global dan relevan dalam berbgai perubahan zaman.
Sejalan dengan itu harus ada implementasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Itu berarti harus ada pewujudan-pewujudan konkret dalam tindakan politik, kebjaksanaan, pelaksanaan hukum dan perlindungan terhadap warganya. Harus dikedepankan dimensi moral yang memiliki kepedulian hubungan secara harmonis dalam segala aspek kehidupan, lingkungan semesta dan peninggian marwah kemanusiaan. Nilai-nilai kesalehan sosial yang ada dalam Pancasila tidak boleh terhenti pada tingkat ritual namun juga harus menjadi nyata pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Realitas implementasinya ini bisa mewujud dalam berbagai aturan hukum, kebijakan, perda, perpu, penegakan hukum yang benar-benar berbasis pada kepentingan rakyat.
Pun, dengan Pancasila. Sebagai sebuah ideologi politik, Pancasila akan menemukan kembali fase resurgence atau kebangkitannya. Tentu saja untuk membangkitkan kembali Pancasila harus dilakukan dengan cara simultan dan kontinuinitas. Pancasila harus dibangkitkan kembali menjadi working ideology atau ideologi yang bekerja, tak sekedar dogmatis apalagi doktrin. Pancasila harus menjadi satu sumber kebijakan dan landasan sistem di seluruh bidang.
Meneguhkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang bekerja harus melalui upaya memperlakukan Pancasila sebagai sebuah paradigma terbuka. Memperlakukan Pancasila sebagai sebuah paradigma terbuka berarti memperkuat dimensi logos atau dimensi penalaran. Pancasila tidak boleh berhenti menjadi sebuah dogma yang beku dan sakral semata namun sebagai sebuah ideologi berbasis nalar yang kritis, evaluatif dan adaptif terhadap perubahan gerak zaman. Pada tataran dimensi logos ini Pancasila harus benar-benar mampu dinalar sebagai sebuah ideologi yang bekerja dalam menjawab dan mencari alternatif-alternatif logis dalam setiap tantangan dan tuntutan perubahan zaman.
Namun, untuk menjadkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang bekerja, tak hanya berhenti pada dimensi penalaran saja. Yang lebih nyata harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam perilaku konkrit dalam sendi kehidupan nyata. Ini berarti memperkokoh ethos atau kesuritauladanan, perilaku kesusilaan yang menjadi basis perilaku sehari-hari. Jika diyakini Pancasila sebagai sebuah ideologi yang memiliki nilai-nilai luhur, maka perilaku pengemban negara harus bisa menjadi suri tauladan keluhuran Pancasila.
Berkait untuk memperkokoh ethos sebagai upaya membangkitkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang bekerja maka harus diwujudkan visi-visi penting seperti yang tercantum dalam sila-silanya. Ideologi yang bekerja ditunjukkan dengan adanya realisasi pencapaian visi-visinya. Visi-visi penting yang selama ini belum menjadi sebuah realitas bahkan masih menjadi sebuah otopia belaka, seperti pencerdasan bangsa, penyejahteraan bangsa, dan berkeadilan sosial; tak bisa ditawar lagi, harus sesegera mungkin diwujudkan!
*) Penulis adalah guru SMA Negeri 2 Ngawi.