Oleh Sam Edy Yuswanto*
Secara umum, anak termasuk kesenangan dan kebanggaan setiap orangtua di mana pun berada. Karenanya saya tak heran ketika beragam cara diupayakan oleh para orangtua untuk memanjakan anak-anaknya sejak masih bayi hingga dewasa, bahkan sejak masih dalam kandungan ibunya.
Kita mungkin telah kerap mendengar atau membaca kisah mengharukan para suami-istri yang sudah membina jalinan rumah tangga sedemikian lama, akan tetapi belum kunjung dikaruniai buah hati. Padahal mereka sudah sangat mendambakannya. Beragam cara pun diupayakan agar bisa segera mendapatkan momongan. Mulai dari melakukan cek kesehatan ke dokter, melakukan trik-trik saat melakukan hubungan intim, mengonsumsi ramuan tertentu, dan lain sebagainya.
Sayangnya, banyak orangtua yang sepertinya lupa dengan usaha-usahanya saat sedang berjuang menginginkan hadirnya buah hati. Ketika anaknya terlahir ke dunia ini, mungkin banyak orangtua yang hanya memanjakan buah hatinya dengan beragam fasilitas atau kemewahan belaka. Namun, dalam hal pendidikan agama mereka kurang memperhatikan, bahkan tidak mereka prioritaskan.
- Iklan -
Padahal, yang namanya pendidikan termasuk bekal yang sangat penting dan utama untuk keberhasilan atau kegagalan anak di kemudian hari. Sukses atau tidaknya seorang anak, sangat berkaitan erat dengan pendidikan yang diberikan orangtuanya, baik pendidikan lewat jalur formal seperti sekolah, nonformal seperti pondok pesantren, maupun pendidikan di dalam rumah seperti memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya.
Memberikan pendidikan kepada anak (lebih-lebih pendidikan agama) adalah hal yang tak bisa diabaikan begitu saja oleh para orangtua kepada anak-anaknya. Mengutip keterangan fimela.com (30/09/2017) dengan pengetahuan ilmu agama yang cukup, sadar atau tidak hal ini akan membentuk karakter anak di masa depan. Seorang anak yang telah dibekali ilmu agama cukup saat usianya masih dini, ketika dewasa umumnya ini akan membuatnya bisa memahami dirinya sendiri. Ini juga membuatnya tak mudah terpengaruh dengan nilai-nilai negatif yang ada di sekitarnya.
Seorang anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak (baik pendidikan umum maupun agama) maka besar kemungkinan dia akan tumbuh menjadi pribadi yang merasa kesulitan membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang melanggar hukum dan tidak melanggar hukum. Atau, sebenarnya anak sudah mengetahui tentang hal-hal baik dan buruk tetapi karena tidak dibekali dengan pendidikan agama oleh oarngtuanya, dia akhirnya lebih memilih untuk menerjang larangan-larangan agama serta norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat.
Dampak buruk dari ketidakpedulian orangtua terhadap pendidikan anaknya sangat gamblang dan begitu beragam. Salah satunya ialah ketika seorang remaja membentak orangtuanya saat keinginannya tidak dikabulkan. Misalnya, ketika anak meminta dibelikan sepeda motor tapi orangtuanya tak kunjung mengabulkannya. Bahkan ada anak yang berani mengancam orangtuanya dengan senjata tajam akibat tidak dituruti keinginannya. Naudzubillaahi min dzaalik.
Kita tentu sudah mendengar kabar berita yang saat ini masih sangat gencar diberitakan di berbagai media, yakni tentang kisah tragis anak pegawai pajak yang melakukan penganiayaan yang begitu sadis terhadap orang lain. Sampai-sampai si korban yang usianya masih muda tersebut mengalami luka yang cukup parah dan harus mendapat perawatan yang sangat ketat di rumah sakit. Singkat cerita, anak pegawai pajak yang juga masih muda tersebut dan telah terbiasa hidup bermewah-mewahan dengan kekayaan orangtuanya itu pun ditangkap dan ditahan.
Apakah persoalan sudah selesai dengan ditahannya sang anak? Ternyata belum, bahkan berbuntut panjang hingga mencelakakan orangtuanya. Sang ayah, si pegawai pajak tersebut juga ditahan, karena memiliki kekayaan melimpah ruah yang tidak masuk akal. Padahal dia cuma pegawai pajak. Kekayaan tersebut tak hanya timbunan uang di rekening belaka, tetapi juga rumah dan kendaraan mewah, bahkan sang istri pegawai pajak tersebut memiliki koleksi barang-barang seperti tas bermerek yang luar biasa mahalnya untuk ukuran rakyat biasa seperti saya.
Kejadian anak si pegawai pajak yang bernasib nahas tersebut membuat saya merenung. Apakah ini akibat orangtua yang tidak membekali anaknya dengan pendidikan? Terlebih pendidikan agama? Mungkin, sejak kecil si anak telah dilimpahi beragam kemewahan oleh orangtuanya. Sehingga si anak tidak mengerti bagaimana susahnya mencari uang di negeri ini. Mungkin dia hanya tahu bahwa kekayaan orangtuanya begitu berlimpah dan tidak akan habis untuk memanjakan dirinya.
Padahal, semua harta benda dan kemewahan di dunia ini tidak ada harga dan manfaatnya bila digunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya, terlebih jika uang tersebut bersumber dari penghasilan yang tidak halal. Misalnya, uang hasil korupsi. Kita tentu sudah memaklumi bahwa harta benda atau kekayaan yang didapatkan dengan cara-cara yang licik dan jahat, pasti tidak akan berkah, meskipun harta tersebut digunakan untuk melakukan beragam kebaikan.
Bicara tentang harta haram yang digunakan untuk melakukan kebaikan, Akbarizan (ketua MUI kota Pekanbaru) dalam tulisannya (RiauPos.co, 17/04/2022) menjelaskan bahwa seseorang yang bersedekah dengan harta yang tidak halal, pada prinsipnya ia tidak bisa disebut dengan sedekah, karena itu perbuatan yang batil. Allah tidak menerima suatu amalan dari yang haram. Hadis Nabi SAW: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thayyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thayyib (baik)” (HR. Muslim).
Jadi sudah sangat jelas kesimpulannya bahwa melakukan kebaikan seperti sedekah dari uang yang dihasilkan dengan cara-cara haram seperti merampok uang negara itu tidak akan diterima oleh Allah. Secara lahir, harta tersebut memang bernilai dan bisa digunakan untuk memanjakan diri dan seluruh anggota keluarganya dengan beragam kemewahan, namun keberkahan dan kebaikan harta tersebut telah hilang. Bahkan tidak berfungsi bila digunakan untuk beramal ibadah. Wallahu a’lam bish-shawaab.
***
*Penulis lepas, mukim di Kebumen.