Oleh Nanang Qosim, S,Pd.I, M.Pd
Mendekati lebaran di tahun ini dipastikan membuat aktivitas transportasi semakin padat. Masyarakat yang menggunakan alat transportasi (darat, laut atau udara) juga semakin melonjak dibandingkan hari-hari biasa. Arus transaksi keuangan juga akan meningkat. Apalagi kebiasaan konsumerisme yang dianut oleh masyarakat kita menjelang puncak Lebaran pun akan mengalami kenaikan secara signifikan.
Kurang afdol rasanya bagi para perantau apabila ketika sekali setahun pulang kampung dan mudik menjelang lebaran untuk tidak membawa “buah tangan”. Oleh-oleh khas rantau menjadi wajib untuk dibagi-bagikan kepada sanak saudara di kampong halaman. Apalagi jika perantau tersebut sudah sukses di negeri orang, tentu akan semakin banyak pula hasil jerih payah selama setahun dibawa ke kampung halaman untuk dinikmati bersama.
Jika sebaliknya, alamat orang pelit. Sudahlah sukses di rantau, pulang tidak membawa apa-apa. Namun hanya sekedar pamer kendaraan baru, pakaian baru. Hal itu yang akan menjadi bahan pergunjingan orang. Tidak elok rasanya di hari kemenangan orang-orang justru mencibir dan menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak paham, apakah yang tengah terjadi dengan orang kampungnya. Apakah merantau ke kota telah menggeser rasa kekeluargaan menjadi sifat individualisme, yang kemudian dibawa-bawa ketika kembali menginjak kampung? Tentu kita tidak mengharapkan hal yang demikian terjadi.
- Iklan -
Sesungguhnya kampung, tempat sebahagian kita dilahirkan, bahkan dibesarkan, tanpa kita sadari telah mendidik kita bagaimana untuk menyiapkan bekal menuju perantauan. Sikap kekeluargaan, misalnya, hadir dalam tatanan masyarakat di kampung. Suka duka dihadapi bersama dengan orang kampung tanpa ada rasa pamrih atau imbalan sedikitpun. Lihatlah ketika suasana senang, dikala pernikahan, orang-orang sekampung datang berpartisipasi dalam berbagai bentuk yang mungkin mampu dikerjakannya, meski kadang tampak kecil. Ada yang memasak sambal, menyiapkan meja tamu, hiasan pernikahan, hingga acara-acara adat.
Lihat pula bagaimana ketika duka menyelimuti kita. Tanpa di undang, orang-orang kampung datang berduyun-duyun memberi pertolongan. Ada yang menggali liang lahat, mengangkat peti jenazah, mendoakan, hingga memberi kekuatan kepada keluarga yang ditinggalkan untuk sabar dan tabah menghadapi cobaan. Karenanya, tidak berlebihan apabila disebut mudik yang biasa dilakukan tiap tahun sebagai bagian untuk mengingat kembali arti kebersamaan dan gotong yorong yang semakin terkikis akhir-akhir ini. Mengenang kembali serpihan memori yang kian suram di ingatan. Menjejak masa lalu, masa-masa kecil yang bersejarah, romantika yang menjadi pelecut untuk menjadi lebih baik.
Lukisan Kehidupan
Keterkaitan antara kampung halaman dan rantau adalah seperti lukisan kehidupan yang saling melengkapi. Kampung adalah tempat mengukir mimpi, menggoreskan segenap cita dan khayalan tentang masa depan untuk sebuah hidup yang lebih baik. Rantau menyambut ukiran, goresan dan khayalan tersebut menjadi tempat untuk meraih cita-cita. Kadangkala nuansa kompetisi sangat kental di rantau. Kerasnya hidup di perantauan memberi arti dan pelajaran berharga, bahwa mengejar cita-cita untuk kehidupan yang lebih baik tidak seperti membalik telapak tangan. Keberhasilan baru akan diraih di rantau orang ketika ada upaya kerja keras dan pantang menyerah meraih apa yang dicita-citakan.
Bagi orang yang sudah usia kerja, motivasi hijrah ke perantauan juga hampir sama. Berusaha sekuat tenaga untuk merubah kehidupan menuju kesejahteraan diri dan keluarga. Karenanya, berpeluh dan membanting tulang di perantauan merupakan upaya untuk meraih kesuksesan. Bayangan kampung halaman selalu menjadi pelecut semangat. Membuktikan bahwa ketika pulang kampung suatu saat kelak, rantau memberikan ruang bagi setiap orang untuk bisa meraih sukses. Pada akhirnya, kesuksesan di rantau pula yang akan meningkatkan derajat seseorang dipandang di mata masyarakat kampung.
Momentum Kebersamaan
Oleh karena itu, mudik atau pulang kampung menjadi momentum membangun kebersamaan, dan tradisi mudik haruslah dimanfaatkan untuk berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara di kampung. Kembali kepada kebersamaan yang dahulu.
Karena itulah mudik memberikan kesempatan bahwa keterikatan batin dengan kampung halaman selalu menyala. Silaturahmi dengan orang sekampung akan terus terjalin. Lihatlah kini, mudik juga menjadi simbol kesuksesan yang telah diraih anak kampung yang pergi merantau setelah sekian waktu lamanya. Kini anak kampung itu kembali. Menjejak kembali kenangan dan harapan yang pernah dilukiskan disini, di kampung halaman.
Mudik juga bermakna berbagi keberkahan dalam hidup. Sehingga momentum hari besar keagamaan menjadi sarana untuk berbagi rezeki dengan orang kampung halaman. Membangun kampung dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Dari tradisi mudik ini, harapan kita juga hadir satu mimpi lagi, bagaimana agar kampung halaman juga ikut maju dengan ilmu pengetahuan, sarana dan prasarana. Inilah hendaknya yang harus dipikirkan oleh masyarakat perantau dan pemerintah daerah, agar sinergi antara kampung dan rantau senantiasa bercahaya.
-Penulis adalah Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang