Oleh Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum
Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip,
Aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi,
- Iklan -
Pesunen sarinira, sudanen dhahar lan guling.
(Asahlah hatimu, agar bisa memahami rahasia hidup,
Jangan banyak makan dan tidur, tujulah kesempurnaan,
Latihlah dirimu, kurangi makan dan tidur).
(Serat Wulang Reh, Pupuh II, Kinanthi Bait 1)
Saat ini masyarakat penganut agama Islam menyambut dengan gembira dan bersyukur dengan datangnya bulan suci Ramadhan. Bulan puasa atau poso diyakini sebagai bulan penuh berkah, sekaligus memiliki keistimewaan tersendiri.
Puasa bagi masyarakat Jawa sebetulnya sudah lama ditekuni sebagaimana ajaran Sri Pakubuwono IV dalam tembang Kinanthi Serat Wulang Reh di atas. Bahkan dalam tradisi masyarakat Jawa dikenal beberapa ritual berpuasa selain berpuasa di bulan suci Ramadhan. Ada puasa mutih, puasa ngrowot, puasa pati geni dan puasa ngebleng. Dalam hal ini puasa sudah menjadi tradisi sosial dan laku prihatin orang Jawa dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, agar cita-cita hidup mereka dikabulkan oleh-Nya.
Pada masa Jawa Kuno, praktik puasa sudah tumbuh subur setidaknya pada masa Raja Airlangga. Bentuk lakunya beragam, misalnya ada yang dikenal dengan taparacut dan ugra tapa sebagai upaya untuk melepaskan diri dari dosa di dunia.
Puasa sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta “upa” dan “vasa atau wasa”, yang kemudian digabung menjadi “upavasa atau upawasa”. Dan kemudian berubah menjadi istilah “puasa”. Upa sendiri berarti dekat atau mendekatkan diri. Sedangkan vasa atau wasa artinya adalah Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Agung. Sehingga upawasa atau puasa ini makna sebenarnya adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung.
Dalam bahasa Arab, puasa berasal dari kata “shiyam” atau “shaum” yang artinya menahan diri atau berpantang dari sesuatu. Oleh karena itu, menurut agama Islam, puasa adalah aktivitas yang diniatkan karena Allah untuk menahan diri dari makan, minum, melakukan hubungan suami-istri serta hal-hal lain yang dapat membatalkan ibadah puasa. Batas waktunya adalah sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Puasa bagi orang Jawa dipercaya dapat memberikan pencerahan spiritual dengan mitosnya yang sakral dan religius. Puasa yang dilakukan oleh orang-orang Jawa Kuno dimaknai sebagai salah satu bentuk spiritual metafisik yang punya efek besar terhadap tubuh dan pikiran. Puasa-puasa tersebut dipercaya mendatangkan banyak manfaat, sesuai dengan apa yang diinginkan.
Berikut ulasan beberapa hakikat puasa yang terdapat dalam Serat Wulang Reh tembang Kinanthi bait 1 karangan Sri Susuhunan Paku Buwana IV.
Puasa untuk Mengasah Qalbu
Pengertian qalbu menurut bahasa adalah segumpal daging atau sesuatu yang dapat membalik atau berbolak balik, dalam bahasa Arab disebut qalbun, bentuk jamaknya adalah qulubun (M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, 1996:381).
Imam al-Ghazali dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin Terjemahan Ismail Yakub Jilid 2 (dikutip dari buku Tasawuf dalam Dimensi Zaman: Definisi, Doktrin, Sejarah & Dinamika Keumatan, 2023:154) menyatakan qalbu sebagai tempat yang berfungsi untuk menyerap ilmu pengetahuan atau yang disebut dengan sesuatu yang halus (Lathiifah), yaitu sebuah “tempat” (ruang) dimana ilmu dapat melekat padanya. Dalam hal ini qalbu ditafsirkan sebagai seuatu yang abstrak sehingga dikatakan sebagai ruh atau jiwa.
Perbedaan qalbu dengan akal bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalbu memiliki potensi yang disebut al-nur al-ilahi (cahaya ketuhanan) dan al-bashirat al-bathinat (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Dengan potensi qalbu ini maka manusia tidak sekadar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya, melainkan juga mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan dan keagamaan.
Ketika diaktualisasikan, potensi qalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku baik. Baik-buruknya sangat tergantung pada pilihan manusia itu sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi dalam bukunya Al-Futuhat Al-Makkiyah: Risalah tentang Ma’rifah Rahasia-Rahasia Sang Raja dan Kerajaan-Nya (2019:303) bahwa qalbu bisa berubah-ubah setiap saat seiring dengan perubahan tajalli-tajalli, sementara akal tidaklah demikian.
Oleh karena itu, untuk memperoleh sesuatu yang baik harus melalui latihan psikofisik. Salah satunya adalah dengan cara berpuasa seperti dalam kutipan Serat Wulang Reh tembang Kinanthi “Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip” bahwa agar lantip (menguasai) dalam sasmita (suara hati) maka qalbu harus digulung (dilatih). Untuk mengasah atau mendidik qalbu, sungguh merupakan perbuatan yang sangat mulia sekiranya membiasakan puasa, “Pesunen sarinira, sudanen dhahar lan guling” (latihlah dirimu, kurangi makan dan tidur).
Dalam hal ini puasa menjadi media latihan untuk mengasah jiwa, membersihkan hati, mempertajam mata batin, sehingga kita lebih peka dengan kebaikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam al-Ghazali dikutip dari buku Hidup Bahagia dalam Perspektif Tasawuf (2019:61) bahwa puasa mengandung hikmah diantaranya menjernihkan qalbu dan mempertajam pandangan, melembutkan qalbu sehingga mampu merasakan kenikmatan batin.
Puasa sebagai Laku Hidup Prihatin
Di dalam tradisi spiritual masyarakat Jawa, puasa identik dengan laku prihatin seperti “Aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi” (jangan kesukaannya makan dan tidur saja, tujulah kesempurnaan).
Laku prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan sengaja untuk menahan diri terhadap kesenangan-kesenangan, keinginan-keinginan dan nafsu atau hasrat yang tidak baik dan tidak bijaksana dalam kehidupan.
Nafsu yang merupakan sikap angkara dalam Serat Wulang Reh terdiri dari empat macam, yaitu Lawwamah, Amarah, Sufiyah dan Muthmainah. Lawwamah bertempat di perut yang menimbulkan dahaga, kantuk, dan lapar. Amarah berada di empedu dan muncul melalui telinga. Nafsu ini menimbulkan angkara murka, iri, dan emosional. Sufiyah adalah nafsu yang menimbulkan birahi, rindu, keinginan dan kesenangan yang bersumber dari limpa dan timbul melalui mata. Muthmainah bersumber dari tulang dan muncul melalui hidung. Nafsu ini menimbulkan kesenangan, kebaikan, keutamaan, dan keluhuran budi.
Maka demikianlah sesungguhnya puasa bukanlah semata urusan lahir, melainkan penempaan batin dari hawa nafsu. Ranggawarsita dalam buku Bahagia ala Orang Jawa (Musman, 2018:163) juga berpendapat bahwa puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktik asketis, menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan.
Dalam istilah dunia wayang, puasa diibaratkan sebagai Kawah Candradimuka yaitu tempat dimana kedisiplinan dan hawa nafsu ditempa. Setelah menjalani puasa sebagai bentuk laku prihatin, diharapkan manusia tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transeden.
Puasa untuk Menuju Kesempurnaan
Alam pikiran Jawa mengisyaratkan, manusia akan menuju ke kesempurnaan apabila dalam hidupnya selalu berjuang menyeimbangkan kehidupan lahir dengan batinnya. Kesempurnaan berarti mengerti akan awal dan akhir hidup atau wikan sangkan paran (Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, 1986:82). Untuk itu, kaprawiran den kaesthi (menuju kesempurnaan) dilakukan dengan cara sudanen dhahar lan guling (kurangi makan dan tidur) atau berpuasa.
Oleha karena itu, setelah melalui puasa Ramadhan, individu Muslim diharapkan meraih kesempurnaan diri yang dikenal dengan istilah ‘taqwa’. Di dalam surat al-Baqarah ayat 183 dikatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana (telah) diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Dengan demikian hakikat puasa dari ulasan di atas dapat dijadikan refleksi untuk dapat mengekang diri dari segala keinginan duniawi dan sebagai upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT.
– Akademisi, Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya