*) Oleh Tjahjono Widarmanto
Kondisi Pengajaran Sastra Kita
Dalam sebuah analisisnya, setelah melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa koresponden tamatan SMA di 13 negara (Malaysia, Brunai, Thailand, Jepang, Kanada, Amerika, Jerman, Swiss, Rusia, Perancis, Belanda, dan Indonesia sendiri) untuk membandingkan kemampuan membaca dan menulis siswa SMA di Indonesia, Taufik Ismail sampai pada sebuah simpulan yang mengerikan bahwa sekolah-sekolah di Indonesia masih sangat jauh tertinggal kemampuan membaca dan menulis dibanding negara-negara lain.
Hasil pengamatan itu juga menunjukkan bahwa di semua sekolah Indonesia sangatlah lemah dalam kebiasaan membaca buku dan kemampuan menulis. Hasil wawancara Taufik Ismail ini juga menunjukkan bahwa di Jepang, Thailand, Perancis, Jerman, Malaysia, Jerman, dan Kanada; budaya membaca buku secara intensif telah ditanamkan sejak sekolah lanjutan pertama dan dipertajam di SMA. Dimulai dari buku bacaan sastra lalu diperluas ke buku-buku ilmu sosial dan sains. Demikian juga dengan budaya menulis, secara intensif dimulai dari menulis sastra kemudian diperluas ke bidang-bidang lain.
Negara-negara itu sangat paham bahwa bangsa yang tangguh adalah bangsa yang cakap menguasai profesinya, berwawasan luas, sensitif terhadap fenomena, cerdas karena luas pengetahuannya, komunikatif, kritis, dan mampu mengkomunikasikan secara tertulis gagasannya dengan jernih. Dan mereka sadar bahwa keadaan semacam itu bisa diraih dengan cara membaca.Tumbuhnya tradisi baca dan berpikir bisa dimulai dari kebiasaan membaca sastra. Sastra bisa menjadi sebuah jembatan untuk mengantar siswa mencitai dunia membaca dan menulis. Siswa yang terbiasa membaca sastra akan terbiasa pula untuk membaca buku-buku lain sekaligus akan terbiasa untuk berpikir.
Yang menjadi persoalannya sekarang; sejauhmana pengajaran sastra kita di sekolah menengah? Sudah mampukah pengajaran sastra kita mendorong siswa untuk membaca dan menulis?
- Iklan -
Pengajaran sastra kita memang masih jauh dari yang diharapkan. Masih banyak kelemahan-kelemahan yang haruas segera diatasi. Kelemahan-kelemahan itu antara lain: (1) pelajaran sastra masih ditumpangkan pada pelajaran bahasa; (2) rendahnya kemampuan dan pengalaman sastra para guru; (3) perpustakaan sekolah yang amat terbatas; (4) tidak adanya buku sastra yang diwajibkan dibaca, (5) tak adanya bimbingan menulis yang terus menerus.
Idealnya pengajaran sastra dan bahasa disendirikan mengingat karakteristik kebahasaan dan kesusastraan sangatlah berbeda. Pelajaran bahasa lebih diutamakan untuk kepentingan komunikasi dengan memperhatikan kaidah kebahasaan sedangkan sastra tak hanya berhenti pada komunikasi namun juga pada nilai moral ,emosi, seni, kreativitas, humanitas dan penghayatan nilai-nilai kehidupan.
Sempat, dahulu prof. Dr. Wardiman saat menjadi Mendiknas (dulu mendikbud), dalam sebuah acara sastra, berjanji untuk memisahkan pengajaran bahasa dan sastra. Namun janji tinggal janji. Sampai dengan habis masa jabatannya janji ini tak pernah ditangani secara serius.
Guru-guru sastra di sekolah menengah adalah guru bahasa Indonesia sehingga pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman dengan kesusastraan amatlah sedikit. Mereka tidak tertantang untuk mengikuti secara serius perkembangan kesusastraan. Hampir tidak ada seorang pun di antara mereka mau menyisihkan sedikit penghasilannya untuk membeli buku-buku sastra, menyaksikan pertunjukkan drama, apalagi untuk mencoba menulis dan menganalisis karya sastra.
Perpustakaan sebagai jantung dunia akademis dilupakan dalam pendidikan kita. Jarang sekali sekolah-sekolah memiliki perpustakaan yang representatif yang kaya dengan buku-buku baik buku sastra maupun buku lainnya. Dalam pengajaran sastranya, siswa tidak pernah diberi tugas diwajibkan untuk membaca buku-buku sastra. Sehingga sama dengan gurunya, mereka miskin pengalaman bersastra. Guru-guru bahasa juga tidak pernah memberikan bimbingan menulis secara intensif dan simultan kepada siswanya. Kalaupun ada hanya diberikan sekedarnya saja. Mereka malas mengoreksi dan menindaklanjuti hasil tulisan siswanya. Semua kelemahan-kelemahan di atas menjadikan pengajaran sastra kita tertatih-tatih bahkan jalan di tempat.
Pengajaran Sastra dengan Membaca Sastra
Sebagai bahan perbandingan, Taufik Ismail di tahun 1990-an pernah menulisi sebuah buku “Benarkah Kini Bangsa Kita Telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?” menyajikan data-data buku sastra yang harus dibaca dalam satu tahun oleh anak-anak di SMA di berbagai negara . Di Singapura anak-anak SMU harus membaca buku sastra minimal 6 buku, Malaysia 6 buku, Thailand 5, Brunai 7, Jepang 15, Kanada 13, USA 32 buku, Jerman 22, Swiss 15, Perancis 20-30 buku, Belanda 30, dan Indonesia NOL buku. Perlu diketahui pula buku-buku itu tak hanya mereka wajib baca namun juga harus diulas dan didiskusikan dalam kelas.
Dari data di atas tampak betapa merosotnya mutu dan tingkat membaca siswa-siswa SMA kita. Jangankan mampu menganalisis buku dan menuliskan analisisnya secara ilmiah, sekedar membacapun tidak ! Tujuan membaca buku sastra bagi anak-anak SMA bukanlah untuk menjadikan mereka penyair, novelis, cerpenis, kritikus ataupun sastrawan. Namun menanamkan tradisi baca sekaligus sebagai jembatan agar mereka rajin membaca buku-buku di luar karya sastra. Selain itu dengan membaca sastra, siswa-siswa kita akan terasah rohaninya, tanggap dan peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, menjadi calon manusia yang arif, dan punya budi pekerti luhur.
Setelah mereka mencintai membaca sastra, maka kecintaan membaca akan dikembangkan pada bacaan-bacaan lain, seperti sosiologi, sains, sejarah, eksak. Di sinilah akan tumbuh budaya baca secara intensif. Pada suatu saat, membaca akan menjadi kebutuhan pokok sebagai seorang terpelajar.
Selama ini kebiasaan membaca sastra (dan kebiasaan guru memberi tugas membaca) dilakukan hanya “sambil lalu” saja. Hal ini disebabkan beberapa faktor yaitu antara lain : minimnya keberadaan buku sastra di perpustakaan sekolah, porsi pelajaran bahasa dan pelajaran sastra yang tak seimbang, lemahnya kemampuan dan pengalaman bersastra para guru,dan adanya anggapan sastra hanyalah pelajaran sepele tak lebih hanya karya lamunan. Dari faktor-faktor tersebut, faktor pertamalah yang memungkinkan untuk segera diatasi. Tulisan ini akan mencoba mencari jalan keluar untuk melengkapi perpustakaan sekolah dengan banyak buku-buku bahan ajar sastra.
Prinsip-Prinsip Memilih Buku Bahan Ajar SastraUntuk SMA
Memilih buku bahan ajar sastra untuk SMA memerlukan semacam rambu-rambu untuk menentukan bahan agar tidak terjadi pengulangan, penyesuaian dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa, serta mempertimbangkan perkembangan kesusastraan Indonesia. Pemilihan bahan ajar harus mencakup pula berbagai genre (bentuk) sastra mulai dongeng (sastra lama), cerpen, novel, puisi, drama, maupun essai. Juga perlu dikenalkan hasil sastra terjemahan dari sastra daerah dan sastra asing. Harus diperhitungkan pula jumlah buku yang harus dibaca (dalam setiap bentuk) dalam tingkat kelas tertentu dengan melihat usia dan dikedepankan yang mempunyai nilai-nilai moral tertentu.
Secara garis besar memilih buku bahan ajar sastra dapat diurai sebagai berikut: Mutu Sastra, dan Daya Tarik Keterbacaan; Selaras dengan tuntutan kurikulum; Mempresentasikan Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia; Kandungan budaya dan nilai moral; Perkembangan psikologi dan kemampuan anak (kompetensi membaca siswa); Pemilihan buku bahan ajar sastra harus melihat mutu sastra dan daya tarik keterbacaan mengandung pengertian bahwa buku bahan ajar sastra tersebut (apapun bentuknya; novel,cerpen,puisi,dll) harus memiliki kriteria sastrawi atau punya estetika sastra yang tinggi. Untuk itu perlu dikenalkan kanon-kanon (karya sastra yang dianggap puncak dalam satu periode tertentu) sastra kita semacam Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Atheis, novel-novel karya Pramudya Ananta Toer seperi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Puisi-puisi Chairil,puisi-puisi Sapardi, Rendra, Goenawan Mohamad, dsb.
Usaha ini sebaiknya juga memasukkan buku bahan ajar sastra yang tergolong great books semacam Mahabrata, Ramayana, karya-karya besar William Shakespeare, Charles Dicken, Homerus, Mahatma Gandi, dan sebagainya. Bisa pula menyertakan sastra-sastra pop yang dianggap punya estetika tinggi yang telah dikenal siswa seperti Dylan, novel-novel karangan Tere Liye, Ayat-Ayat Cinta, Sepatu Dahlan, Ayat-Ayat Cinta, dan sejenis.
Pemilihan buku bahan ajar sastra juga harus selaras dengan kurikulum. Tuntutan kurikulum harus bisa diimplementasikan secara nyata lewat buku bahan ajar sastra. Misalnya dalam sastra drama; apabila dalam kurikulum ada tuntutan agar siswa melakukan pertunjukan drama maka harus dipilih buku bahan ajar sastra berupa teks drama yang memungkinkan untuk dipentaskan. Jangan dipaksakan sebuah teks drama sebagai bahan ajar yang tak mungkin dipentaskan.
Perlu diperhatikan pula dalam memilih buku bahan ajar sastra harus dapat mempresentasikan dan memperlihatkan perkembangan kesusastraan Indonesia mulai awal hingga paling mutakhir. Untuk itu harus disediakan buku-buku sastra yang mewakili tiap periode kesusastraan mulai dari angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, 1945, 1966, 1970, 1980, 1990-an, 2000-an dan seterusnya.
Pengajaran sastra di SMA diberikan untuk membentuk jiwa dan perilaku siswa, untuk itu perlu dipilihkan buku bahan ajar sastra yang mengandung nilai-nilai budaya, susila, moral, dan budi pekerti. Selain menambah pengetahuan, meningkatkan daya baca, setiap buku bahan ajar juga harus berorientasi mengajak siswa untuk belajar menghayati dan mamahami berbagai persoalan kemanusiaan.
Setiap memilih buku bahan ajar sastra harus mempertimbangkan pula perkembangan psikologi siswa dan kemampuan membaca siswa. Buku buku bahan ajar sastra dipilih tidak terlampau berat (sesuai jenjang kelas), tidak mengandung filsafat yang terlampau rumit atau kalaupun toh harus berfilsafat (misalnya pada karya tertentu seperti novel-novel Iwan Simatupang) guru harus mendampingi, bersikap sebagai sebuah kamus atau menceritakan ulang dengan bahasa yang lebih mudah.
Setelah prinsip-prinsip itu dipenuhi, buku bahan ajar telah tersedia maka guru harus selalu memberikan motivasi yang terus-menerus agar siswa mau membaca (kalau perlu dengan sedikit tekanan) . Boleh dengan alat bantu lain, misalnya video atau film yang isinya berkait dengan buku bahan ajar tersebut.
Semua upaya di atas tentu saja juga harus didukung oleh upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan buku bahan ajar sastra sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut di atas dengan bentuk droping buku untuk sekolah-sekolah. Penulis yakin, dengan kepedulian dan kebersamaan antara guru dan pemerintah, dengan perlahan-lahan tradisi baca akan tumbuh dengan subur. Dan kita akan menyaksikan suatu saat kelak tanah air tercinta akan dipenuhi wajah-wajah muda yang cerdas, arif, dan terpelajar. Semoga!
*) Penulis adalah guru sastra di SMA 2 Ngawi