Oleh Hamidulloh Ibda
Pada tanggal 17 Januari 2023 pukul 14.09 WIB kemarin, saya mendapat email dari tim Google Scholar atau Google Cendekia yang memberikan informasi bahwa jumlah sitasi artikel ilmiah saya di Google Scholar telah mencapai 1000 (seribu). “Profil Anda telah mencapai 1000 kutipan” begitu pesan singkat sembari dilengkapi sepuluh balon warna-warni dan di bawahnya profil Google Scholar Hamidulloh Ibda, afiliasi, dan jumlah seribu kutipan.
- Iklan -
Email tersebut bersamaan dengan notifikasi email lain yaitu pemberitahuan artikel hasil skripsi mahasiswa bimbingan saya bertajuk “Peningkatan keterampilan berbicara siswa SD melalui program SAPU TUWA” di Al-Azkiya : Jurnal Ilmiah Pendidikan MI/SD, Vol 7 No. 2 2022 yang terakreditasi Sinta 4.
Saya pun kaget dan bangga. Sebab, secara hitungan waktu, saya menulis artikel ilmiah baru dimulai 2017 ketika menjadi dosen. Artinya, 1000 sitasi itu saya dapatkan kurun 2017-2022 yang pemberitahuannya pada 17 Januari 2023. Waktu lima tahun bukan waktu lama karena beberapa dosen saya yang sudah guru besar pun saya cek belum tembus 1000 sitasi. Padahal dokumennya di Google Scholar sudah dimulai awal 2000-an. Artinya, puluhan tahun lebih, mereka belum menunjukkan capain seribu sitasi meski sudah profesor atau sudah lama menjadi dosen.
Sitasi dan Produktivitas
Akademisi, peneliti, mahasiswa, atau profesi dan status seorang yang memiliki kewajiban publikasi ilmiah tidak mungkin punya jumlah sitasi banyak ketika tidak punya tulisan. Untuk mendapatkan sitasi banyak tentu harus banyak tulisan yang tersedia secara cetak, online, open acces, dan laku disitasi.
Laku disitasi artinya dibutuhkan orang. Sebab, banyak dosen tulisannya banyak namun tidak menjamin jumlah sitasi yang banyak pula karena memang tidak laku disitasi. Utamanya artikel-artikel yang berbahasa asing yang sedikit sekali sitasinya. Bisa jadi tipe akademisi kita memang “alergi” dengan bahasa Inggris, Jerman, Arab, dan lainnya. Mereka lebih suka mengutip artikel-artikel berbahasa Indonesia. Meski ini bukan rumus baku, pada kenyataannya memang demikian.
Banyak akademisi atau ilmuwan Indonesia yang sitasinya melimpah karena memang sudah lama menulis, jumlah karyanya banyak dibutuhkan dan dikutip karya yang karya itu terindeks Google Scholar. Dalam bidang bahasa misal Henry Guntur Tarigan sejak 2007-2023 jumlah sitasinya mencapai 30.106, Burhan Nurgiyantoro sejak 2009-2023 sitasinya mencapai 23.833, bidang pendidikan, pendidikan Islam, atau studi Islam misalnya ada M. Quraish Shihab mencapai 46.355 sejak 2007-2023, E Mulyasa sejak 2008-2023 total sitasinya mencapai 44.740, Dina Nur Anggraini Ningrum mencapai 53.638 sejak 2016-2023, Andi Prastowo sejak 2012-2023 memiliki 22.820 sitasi, M. Amin Abdullah mencapai 8640 sitasi sejak 2002-2023, Jamal Ma’mur Asmani mencapai 8150 sejak 2011-2023, Musdah Mulia mencapai 3679 sitasi sejak 2006-2023, dan lainnya.
Akademisi dalam metodologi riset, misalnya Sugiyono sejak 2011-2023 mencapai 14.503 sitasi, Suharsimi Arikunto sejak 2007-2023 mencapai 33.0262 sitasi, dan lainnya. Peneliti BRIN atau eks LIPI misalnya Suharyo Sumowidagdo mencapai 118.938 sitasi sejak 2003-2023, Ahmad Najib Burhani mencapai 3653 sejak 2006-2023, R. Tedjo Sasmono mencapai 4725 sitasi sejak 2003-2023, Ratih Pangestuti mencapai 3299 sitasi sejak 2011-2023, dan lainnya.
Beberapa ilmuwan yang sudah meninggal dunia pun masih dikutip karyanya seperti Nurcholis Madjid mencapai 16.222 sitasi sejak 2002-2023, Azyumardi Azra mencapai 18.870 sejak 2002-2023, Abdurrahman Wahid mencapai 6536 sejak 2003-2023, Sapardi Djoko Darmono mencapai 3282 sejak 2001-2023, dan lainnya. Tahun 2023 yang saya maksud bukan sampai 2023 tahun penuh, namun hitungannya sampai penulis mengetik tulisan ini.
Jumlah sitasi tidak sekadar soal kuantitas, namun seberapa berpengaruh sebuah artikel terhadap produksi penelitian, pengabdian kepada masyarakat, gap research, dan produksi keilmuan melalui kegiatan ilmiah tersebut. Maka nama-nama yang saya sebutkan tersebut tidak mengherankan menjadi nama berpengaruh dalam kehidupan sosial dan akademik, maupun dalam dunia keilmuan. Sebut saja Indonesia Scientist and University Rankings 2023 yang menempatkan mereka pada rangking 100 ilmuwan berpengaruh di Indonesia, atau pengakuan lain lewat Sinta.
H-Index Google Scholar
Dalam publikasi ilmiah dikenal H-Index atau Index-H baik di Google Scholar maupun di Scopus yang menjadi bukti jumlah publikasi dan total sitasi tiap artikel atau publikasi. Setiap artikel kita ketika dikutip banyak peneliti dan artikelnya juga diindeks Google Scholar atau Scopus, maka otomatis H-Index juga tinggi.
Selain menegaskan pengaruh artikel kita bagi penelitian lain karena dijadikan rujukan, H-Index dalam pengalaman saya juga menjadi salah satu di antara pertimbangan editor jurnal ketika kita submit di sebuah jurnal. Maka saya selalu mencantumkan url Google Scholar, Orcid dan ID Scopus di metadata pada sebuah OJS. Bisa jadi, beberapa artikel saya yang accepted sampai terbit bukan karena faktor konten saja namun juga pertimbangan H-Index saya.
Hal ini diperkuat paparan seorang narasumber pelatihan penulisan artikel ilmiah yang menyebut ketika kita submit artikel di sebuah jurnal utamanya jurnal internasional, yang dilihat pertama kali bukan konten artikel, melainkan penulisnya. Editor jurnal biasanya melihat H-Index penulis melalui akun Google Scholar atau ID Scopus karena di sana jelas-jelas memberikan data H-Index.
Saya juga menyimpulkan, semakin tinggi sitasi artikel-artikel pada sebuah jurnal, maka akan menaikkan rating, peringkat akreditasi maupun keterbacaan pada pencari sumber-sumber ilmiah melalui Google Scholar. Untuk mewujudkan itu, maka editor mencari penulis yang memang memiliki rekam jejak digital melalui jumlah sitasi dan H-Index minimal pada Google Scholar maupun Scopus. Maka jangan heran ketika kita submit pada sebuah jurnal, editor tanpa membaca artikel kita langsung menolak artikel kita, karena nama kita asing di Google Scholar, tidak punya rekam jejak intelektual pada Google Scholar, Orcid, maupun Scopus.
Maka memiliki H-Index tinggi menjadi keniscayaan ketika kita sudah memilih profesi akademisi maupun peneliti. Sebab, pada intinya dosen merupakan peneliti yang mengajar, meskipun tugas utamanya adalah mengajar sebelum meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Namun akan berbeda ketika dosen rajin meneliti dan publikasi dan sekadar mengajar saja. Jika sekadar mengajar saja, saya sering mengungkapkan satire “mending jadi guru saja” daripada menjadi akademisi nanggung. Begitu!
-Penulis adalah dosen dan Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung, Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah.