Oleh: Mohammad Sholihul Wafi
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pesantren merupakan lembaga pendidikan khas nusantara yang telah terbukti peran dan kontribusinya dalam perang kemerdekaan dan pembangunan di Indonesia. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak tokoh-tokoh bangsa yang lahir dari rahim pendidikan pesantren. KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, Gusdur, Gusmus, KH Wahab Hasbullah, KH Hasyim Muzadi, dan KH Ahmad Dahlan merupakan beberapa contoh tokoh-tokoh bangsa yang pernah mengenyam pesantren. Namun demikian, mereka semua memiliki visi keumatan yang sama, yaitu kesejahteraan umat dan terbentuknya masyarakat berkeadaban.
Dua Pilar
- Iklan -
Dalam pendidikan pesantren, terdapat dua pilar utama yang notabene menjadi kunci keberhasilan dalam mengembangkan karakter santri yang berilmu serta menjunjung tinggi akhlak mulia, berprinsip: ‘al-adabu fauqa al-ilmi’ (tata krama lebih utama dibandingkan ilmu itu sendiri). Tak heran, apabila tokoh-tokoh bangsa yang lahir dari pendidikan pesantren yang kaffah akan memiliki karakter pribadi yang toleran dan cinta damai.
Pertama, pengkajian mendalam kitab kuning. Dengan menempatkan masjid sebagai basis pendidikan dan pembelajaran, kitab kuning diajarkan kepada santri melalui sistem ‘sorogan’ dan ‘bandongan’. Sistem ‘sorogan’ dilakukan dengan cara santri membacakan kitab kuning di depan guru/ustadz/kiai, sedangkan sistem ‘bandongan’ dilakukan dengan cara guru/ustadz/kiai yang membacakan serta membahas isi kitab kuning di depan para santri.
Dari sistem itulah, pemahaman mendalam santri terhadap esensi suatu referensi kitab kuning terbangun. Di sisi lain, tradisi keilmuan santri yang menghendaki adanya sanad keilmuan yang mutawatir sampai Nabi Muhammad Saw. juga membuat pemilahan kitab-kitab kuning yang dikaji. Sehingga, harapannya, semua santri yang belajar di pesantren dapat memahami sedalam mungkin cara beragama rasulullah tanpa khawatir terjadi pembelokan ajaran Islam. Dalam konteks ini, tradisi keilmuan di pesantren benar-benar bisa dijadikan rujukan untuk menggambarkan akhlak Rasulullah yang sesungguhnya sebagai role model umat Islam dalam menghadapi kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mengingat, Nabi Muhammad Saw. diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Kedua, keteladanan kiai. Di lingkungan pesantren, kiai merupakan figur otoritas bagi para murid (santri), sehingga patut ditiru. Mereka diyakini memiliki karakter sangat mulia di mata Tuhan dan manusia. Mereka selalu berusaha mengisi seluruh waktu mereka untuk berbuat kebaikan.
Selain memberikan teladan baik (uswatun hasanah) dalam kehidupan keseharian, kiai selalu memperhatikan perbuatan para santrinya. Selain memberikan reward kepada santri yang melakukan kebaikan, seorang kiai tak segan memberikan ta’zir (punishment) kepada santri yang berperilaku negatif. Kiai juga mengajarkan santrinya mandiri, saling tolong menolong antarsesama, sederhana, penuh perjuangan, serta tawakal (pasrah kepada Allah).
Tak heran, jika adab dan ukhuwah selalu menjadi perhatian utama kalangan santri. Hal-hal tersebut wajar menjadi karakter santri, karena melalui dua pilar pendidikan pesantren tersebut yang notabene langsung menghadapkan mereka pada kehidupan santri yang sama-sama jauh dari sanak famili, praktis telah membuka mata santri bahwa hidup itu saling membutuhkan (zoon politicon). Bukan saling menteror dan menyulut pertikaian. Hal ini telah terbukti minimnya tindakan kriminal dan radikal di kalangan santri. Maka, sangat jarang bahkan tidak pernah kita temukan santri bertawuran antar santri. Sesama santri akan saling berdamai dan tidak berseteru. Di sisi lain, bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa santri yang menempuh pendidikan selama 24 jam ditanamkan kepedulian sosial yang tinggi. Seperti, membawa teman yang sakit ke klinik, bersih-bersih bersama (tandziful ‘am), pelaksanaan shalat berjemaah dan lain-lain.
Menjaga Keutuhan NKRI
Dengan dua pilar utama tersebut, pendidikan pesantren mencetak generasi-generasi yang cinta damai, toleran, anti penjajahan dan penindasan, serta menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan NKRI. Terbukti, dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, perlawanan-perlawanan kesewenang-menangan penjajah dan merebut kedaulatan kemerdekaan juga melibatkan kalangan pesantren. Resolusi jihad yang berujung pada pertempuran hebat di Jawa Timur pada masa awal kemerdekaan merupakan contoh nyata peran pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI. Dalam konteks kenegaraan, kelapangdadaan KH Wahid Hasyim dalam menerima Pancasila sebagai ideologi bersama dan menghapuskan kalimat ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ pada sila pertama dalam masa perumusan dasar negara juga bukti sifat toleran kalangan santri. Meski muslim menjadi masyarakat mayoritas di Indonesia, tidak lantas membuat semena-mena menyikapi keberagaman nusantara dengan dalih semangat beragama. Dan, masih lebih banyak lagi tokoh-tokoh pesantren dan santri yang menjadi pejuang perdamaian dan berkomitmen tinggi menjaga keutuhan NKRI.
Terlepas dari itu semua, UU Pesantren dapat sebagai bentuk komitmen menjaga keberlangsungan pendidikan khas nusantara demi keutuhan NKRI. Tentu saja, ini membawa angin segar dan semoga semakin melecut semangat seluruh pesantren di Indonesia untuk fokus melahirkan tokoh-tokoh keagamaan dan kebangsaan yang senantiasa dapat menerapkan dan mendakwahkan prinsip Islam damai dan mengutamakan kepentingan bangsa dibandingkan egoisitas pandangan keagamaan yang berpotensi memecah-belah umat. Mengingat, bumi nusantara tersusun dari beragam keberagaman yang rentan terjadi segregasi sosial. Wallahu a’lam.