Judul Buku: Muhammadku Sayangku 4: Pesona Sang ‘Aziz, Sang Harish, Sang Rauf, dan Sang Rahim
Penulis: Edi AH Iyubenu
Penerbit: DIVA Press
Cetakan: Pertama, Oktober 2022
Tebal: 172 halaman
ISBN: 978-623-293-741-3
Nabi Muhammad Saw dilahirkan ke bumi sebagai penerang kehidupan. Karunia-Nya terpancar dalam wujud keberkahan yang dimiliki Kanjeng Nabi Saw. Siapapun di sekelilingnya niscaya keberkahan selalu mengitarinya. Maka sudah sepantasnya, kita mesti bersyukur memperoleh predikat sebagai umat Kanjeng Nabi Saw.
Melalui buku Muhammadku Sayangku 4: Pesona Sang ‘Aziz, Sang Harish, Sang Rauf, dan Sang Rahim (2022), Edi AH Iyubenu mencurahkan secara mendalam kasmarannya kepada Nabi Muhammad Saw. Pembahasan dalam buku ini berpola pada corak Sirah Nabi berbalut keberkahan yang melimpah ruah secara simultan. Para sahabat, keluarga, hingga musuh yang berada di sisi baginda Nabi pun secara inheren memperoleh keberkahan yang unlimited (tidak terbatas).
Sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Tsauban, Abu Talhan, Tsabit bin Qais adalah beberapa contoh sahabat yang semuanya mendedikasikan secara penuh untuk mengabdi, melayani sekaligus pelindung Nabi Saw. Jalan khidmah penuh keikhlasan itulah mengantarkan memperoleh pada keberkahan tiada terkira, mereka menjadi pribadi mulia sekaligus berderajat tinggi (hlm. 60).
- Iklan -
Sahabat Ukasyah bin Mihshan juga tak mau kalah. Suatu ketika, Kanjeng Nabi Saw sedang menuturkan kisah kepada para sahabat tentang akan ada 70.000 orang umatnya masuk surga tanpa dihisab. Semua sahabat menyimak dengan ta’dhim dan khusyuk. Setelah selesai, tak dinyana, tiba-tiba Ukasyah berdiri dan “nyeletuk” kepada Nabi, “Wahai Rasulullah Saw, berdoalah kepada Allah agar menjadikanku masuk ke dalam golongan tersebut”.
Kanjeng Nabi Saw pun memenuhi permintaan tersebut. Beliau berdoa, lantas bersabda “Engkau termasuk ke dalam golongan tersebut” (hlm. 160). Ukasyah menjadi riang gembira, dari sikap blak-blakannya malah berhasil meraih keberkahan, bahkan secara khusus didoakan Kanjeng Nabi Saw. Di sisi lain, orang badui juga sama. Orang Badui pernah secara sembrono lancang mengajukan pertanyaan di tengah Nabi sedang berkhotbah. Namun, berkah kecintaan tulus orang Badui terhadap Rasul Kekasih-Nya, justru ia mendapatkan komplimen “al-mar’u ma’a man ahabba”.
Keberkahan Kanjeng Nabi Saw tidak hanya dirasakan para sahabat, para keluarga pun marasakan hal yang sama. Sayyidah Khadijah binti Khuwalid dan Abu Thalib mendapatkan keberkahan karena semangat totalitas dalam membantu dakwah Nabi Muhammad Saw. Allah Swt pun menganugerahi para kinasih Nabi suatu keberkahan. Abu Thalib misalnya, berkat mahabbah, merawat, dan menjaga Rasulullah Saw, mendapat siksaan paling ringan di neraka. Bahkan, jika merujuk ulama lain, Abu Thalib dinyatakan sebagai orang beriman. Setelah wafat, atas kuasa Allah Swt ia dibangunkan kembali untuk menyatakan dua kalimat syahadat.
Lebih lanjut, keberkahan Nabi tidak berhenti pada keluarga dan sahabat, tapi juga mengalir pada semua musuh. Keberadaan Nabi Saw di tengah-tengah kaum kafir Quraisy menjadikan Allah Swt tak menimpakan azab pada mereka, meski Nabi sendiri mendapat perlakuan teror dan siksaan begitu dahsyat. Inilah keagungan sikap pada dirinya, sungguh beruntung yang berada di circle Rasulullah Saw, sekalipun mereka musyrik tetap mendapat cipratan keberkahan. Sikap keagungan dan kemuliaannya memberikan pesan kepada Malaikat Jibril supaya Allah Swt senantiasa membuka pintu taubat dan rahmat bagi mereka yang masih kafir (hlm 68).
Berkah adanya Kanjeng Nabi pun, ridho dan rahmat-Nya juga menjadi mudah, meyenangkan, ringan, serta tidak memberatkan. Ada yang sahabat menjalankan ibadah secara berlebih-berlebihan (ghuluww); berpuasa setiap hari, beribadah sepanjang waktu, qiyamul lail sepanjang malam, dan berkeinginan tidak mau menikah. Alih-alih diapresiasi Nabi, justru perilaku tersebut mendapat teguran karena bisa membebani dan pada gilirannya menjadikan umat lari. Walhasil Nabi dhawuh, beribadahlah semampunya saja –yang penting istiqomah–, tunaikan hak-hak lain termasuk tubuh untuk istirahat (hlm. 72).
Begitu spesialnya sebagai uswatun hasanah, siapapun tentu berharap menjadi umat Kanjeng Nabi. Bahkan Malaikat Jibril dan Nabi Adam AS juga ingin menjadi ummat Kanjeng Nabi. Dalam Washiyat al-Musthofa, Malaikat Jibril sungguh tertarik ingin menjadi bagian dari umat Kanjeng Nabi Saw. Sebab, samudera keilmuan beliau sangat ditakjubi dan dirindui. Malaikat Jibril juga ingin melakoni amaliah-amaliah berupa sholat berjamaah, majelis ilmu para ulama, menengok orang sakit, takziah orang wafat, mendamaikan orang yang bermusuhan, memberi minum dan makan, serta menghormati anak yatim dan tetangga (hlm. 113).
Nabi Adam pun demikian, ketika berbuat dosa -memakan buah Khuldi-, ia berkata “Ya Tuhanku, bihaqqi Muhammad aku mohon ampunan-Mu” (hlm 118). Dalam kitab Nashailul ‘Ibad juga dituturkan bahwa Nabi Adam pernah “curhat” betapa sangat beruntung menjadi umat Kanjeng Nabi Saw. “…ketika aku berbuat dosa (makan buah khuldi) aku diusir dari surga. Adapun umat Nabi Muhammad Saw melakukan dosa di luar surga, tapi tetap dapat dimasukan oleh Allah Swt ke dalam surga jika bertaubat”.
Buku ini sangat cocok sebagai wasilah meningkatkan rasa tresna (cinta) kepada Kanjeng Nabi Saw. Kehadirannya terasa begitu nikmat, menyajikan dahaga kerinduan, dan menambah decak kagum. Kanjeng Nabi dengan segala kemuliaan, dan keluhuran budi pekerti sudah semestinya menjadi titik perenungan sumber inspirasi dalam diri kita. Karakter serta nilai-nilai Rasulullah Saw harus diinternalisasi sebagai tameng dalam mengarungi arus kehidupan post-modern yang begitu kompleks.
*Muhammad Muzadi Rizki; minat kajian moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.