Oleh Aqil Husein Almanuri
Saat ini media sosial seolah sudah tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan masyarakat, kebutuhan berinteraksi, berkomunikasi, kebutuhan bisnis, politik, dan lainnya. Media sosial (seperti Facebook, Twitter, dan Instagram) telah digunakan oleh hampir seluruh penduduk dunia. Dengan kata lain, saat ini nyaris semua orang di seluruh dunia sudah punya akun media sosialnya masing-masing, termasuk di Indonesia sendiri.
Realitas ini sebenarnya merupakan indikasi dari merebahnya penggunaan gawai (gadget). Telah kita ketahui bersama, saat ini jarang sekali kita melihat orang-orang yang tidak memiliki gawai, nyaris semuanya memilikinya, entah itu user Android sampai iOS. Apalagi di Indonesia yang secara peringkat berada pada posisi keempat pengguna gawai terbanyak dunia dengan presentase 90% dari populasi masyarakat (goodstats.id). Jumlah yang cukup fantastis.
Salah satu media sosial yang banyak ditekuni oleh netizen (warga internet) di Indonesia adalah Instagram. Aplikasi ciptaan Kevin Systrom ini sukses menggait jumlah 97 juta (angka setelah dibulatkan) warganet Indonesia menjadi peggunanya, hal ini berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Napoleo Cat. Itu berarti sebanyak hampir 40 persen dari populasi warga Indonesia adalah pengguna Instagram.
- Iklan -
Dari jumlah tersebut, nyatanya user instagram di Indonesia didominasi oleh kalangan muda. Rata-rata (sebanyak 71%) usia pengguna Instagram adalah berusia 18-35 tahun. Hal tersebut tentu wajar, apalagi tampilan dan fitur Instagram yang terkesan lebih bagus dari media sosial lainnya (lebih estetik kata anak muda sekarang) membuat Instagram lebih banyak digandrungi oleh kalangan ini.
Dari fakta itu, kita tahu bahwa media sosial—utamanya Instagram—menjadi pengaruh yang besar dalam kehidupan, utamanya di kalangan anak muda. Konten-konten yang ada di dalamnya juga sangat mempengaruhi cara berpikir mereka. Ada banyak sekali informasi dan konten yang ditawarkan, mulai dari konten yang positif hingga konten negatif. Sehingga, mereka juga diharuskan untuk bijak menentukan konten mana yang akan mereka ikuti dan konten apa yang akan mereka produksi.
Sebagian kalangan memanfaatkan media sosial Instagram sebagai cara mengekspresikan diri dalam hal literasi, memproduksi konten-konten edukatif, dan menyosialisasikan kebiasaan-kebiasaan positif yang bisa dilakukan. Salah satu dari kalangan yang sadar akan hal itu adalah bookstagram, warga instagram yang akan saya ulas dalam tulisan ini.
Sesuai namanya, bookstagram adalah pengguna instagram (yang umumnya berasal dari kalangan muda) dengan konten-konten per-buku-an dan kepenulisan. Bookstagram aktif menyuguhkan postingan-postingan yang khusus dalam dunia literasi (baca tulis). Sasaran atau target mereka adalah seluruh pengguna instagram, lebih-lebih pemuda.
Biasanya, konten mereka berisi mengenai ulasan-ulasan buku, resensi ringan, ajakan dan sosialisasi membaca, cara efektif untuk membaca, hingga giveaway buku. Biasanya untuk menggait followers, mereka menggunakan cara yang terakhir, mengadakan giveaway buku. Saya termasuk salah satu peserta giveaway (dulunya) yang ngefollow, hingga akhirnya sampai saat ini malah sangat tertarik dengan postingan ulasan buku dari mereka di laman instagramnya
Nah, kehadiran bookstagram seperti ini bagi saya sangat penting. Ini merupakan sebuah langkah yang harus tetap lestari (melestarikan dan dilestarikan) dan sangat perlu diapresiasi. Sebab, mengingat kuantitas minat literasi Indonesia saat ini masih relatif rendah. Beberapa alasan mengapa saya mengatakan keberadaan bookstagram itu sangat penting, di antaranya;
Pertama, bentuk melestarikan minat baca. Permainan dan kuis give away buku yang sering mereka lakukan tidak hanya menggait followers. Di samping itu, entah secara sadar atau tidak, permainan demikian juga bisa menggugah para followers tersebut untuk memiliki dan meningkatkan semangat baca mereka.
Buku gratis yang dihadiahkan tidak hanya memberikan kesenangan bagi para pemenang, melainkan juga menambah gairah baca dan kecintaan terhadap buku-buku tersebut. Pengalaman saya jadi pemenang kuis, buku yang menjadi hadiah (buku Kehidupan Setelah Jam 5 Sore karyanya Alifah Farhanah) pada saat itu tidak hanya saya baca khatam, namun saya resensi. Sebab, bagi saya itu merupakan bentuk mengungkapkan rasa terimakasih kepada Tuhan, penulis, penerbit, dan kepada bookstagram yang menghadiahi buku.
Selain itu, dengan postingan mengenai ulasan singkat atau resensi ringan buku dari mereka membuat para followers merasa tertarik untuk membaca bukunya secara langsung. Atau setidaknya, bisa tahu pesan yang tersirat sekaligus tersurat dari buku yang mereka ulas. Followers juga secara mudah bisa mengetahui pelajaran dari buku-buku itu.
Kedua, mengisi perkembangan teknologi. Sekarang perhatian orang-orang nyatanya sudah beralih ke gawai mereka. Buku bacaan, majalah, koran cetak perlahan hilang pamor. Apalagi surat kabar cetak yang hingga saat ini sudah kian hilang. Beberapa media koran cetak bahkan secara penuh beralih pada versi daring.
Nah, melihat keadaan ini, di mana perhatian orang-orang sudah lebih fokus kepada gawai atau gadget (berikut sosial medianya), mereka juga membutuhkan nutrisi otak dan literasi yang sehat di gadget mereka. Bookstagram hadir sebagai nutrisi tersebut, untuk membangun kembali kesadaran literasi di media sosial serta untuk menggiatkan lagi minat baca masyarakat yang perlahan hilang.
Ketga, mengimbangi konten lain yang kurang bermanfaat. Sebagai media sosial yang penggunanya beragam, tidak menutup kemungkinan Instagram juga menyuguhkan konten unfaedah dan tidak ada urgensinya sama sekali. Postingan-postingan yang sama sekali tidak memberikan edukasi sedikit banyak pasti lewat di beranda. Nah, keberadaan bookstagram bisa menjadi penyeimbang dari konten-konten yang kurang bermanfaat tersebut. Wallahu a’lam.
– Menulis di beberapa media, seperti: Radar Madura, Radar Banyuwangi, Harian Bhirawa Surabaya, Koran Analisa Medan, Koran Momentum Lampung, Harakatuna, Iqra.id, Duniasantri, dll.