Oleh Aqil Husein Almanuri
Banyak orang dianugerahi kemampuan menulis yang baik, beberapa di antaranya bahkan dianugerahi kemampuan menulis yang sangat apik. Namun, tak sedikit juga yang bisa mendapatkan keberuntungan itu. Bahkan, sebagaimana beberapa penuturan teman-teman, menulis adalah hal yang menyulitkan, mereka seringkali terjebak dalam pembahasan yang kaku, menggantung, dan bahkan mengalami ke-mandeg-an di tengah-tengah perjalanan.
Hal itu memang benar. Jangankan mereka yang tidak berkecimpung sama sekali dalam dunia kepenulisan, beberapa penulis hebat sekalipun pasti pernah mengalami problem yang sama. Mandeg, kurang bahan, apalagi malas adalah penyakit lumrah yang sering menjangkiti dan dirasakan oleh banyak penulis, bahkan mungkin penulis terkenal sekalipun.
Sementara, di satu sisi, dunia akademik kita selalu menuntut kemampuan menulis menjadi salah satu kemampuan utama. Tak ayal, jika akreditasi kampus (salah satu contohnya) menjadikan literasi, publikasi, dan sitasi menjadi salah satu unsur penilaian.
- Iklan -
Betapa kemampuan menulis sangat menjadi kebutuhan saat ini. Sehingga, dosen tak hanya akan dituntut untuk bisa memiliki kemampuan mengajar, mereka juga harus bisa menulis (biasanya jurnal). Begitu juga dengan mahasiswa yang selalu tidak lepas dengan tugas makalah, skripsi, jurnal, dan artikel sebagai persyaratannya.
Ke-tidak mampu-an mereka untuk menulis rupanya juga menginisiasi langkah tidak elok yang akhirnya dipilih. Entah karena keterpaksaan atau tidak, mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi persyaratan itu. Langkah yang diambil bahkan termasuk salah satu hal yang diharamkan dalam dunia akademik, misal; plagiarisme, atau bahkan menyewa ghost writer.
Ghost Writer; Hantu Berbahaya dalam Dunia Literasi
Dalam dunia kepenulisan ada salah satu istilah yang cukup masyhur, yakni ghost writer. Ghost writer atau penulis bayangan (bahasa Indonesianya) adalah sebutan bagi penulis yang tidak menulis untuk dirinya sendiri. Mereka akan menulis sesuai dengan perintah customer dan nantinya dibayar sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan keduanya (penulis dan pengguna jasa).
Di kampus-kampus ghost writer banyak digunakan. Tidak hanya mahasiswa, bahkan oleh para dosen jasa ini dijadikan pilihan. Mereka menggunakan jasa penulis hantu ini untuk menyelesaikan tugas mereka tanpa mereka ikut campur, lalu membayarnya dengan nominal harga yang ditentukan.
Sedikit berbagi pengalaman. Dulu saya pernah menjadi penulis bayangan. Saya menyelesaikan tugas artikel seseorang dengan jumlah nyaris 50 halaman. Saya yang statusnya masih mahasiswa baru (Maba) masih belum paham dengan dosa akademik tersebut. Saya hanya niat membantu tanpa curiga dengan perbuatan tidak etis tersebut.
Kabar baiknya, saya tidak perlu menunggu uang transferan dari orang tua. Dengan menjadi ghost writer tersebut, saya bisa memiliki uang yang cukup digunakan untuk hidup sebulan di asrama. Namun, kabar buruknya adalah saya merasa tidak tenang, merasa berdosa, membohongi orang lain, dan merasa sedang melestarikan kebodohan. Setelah saat itu, saya menyesali perbuatan tersebut dan menghentikannya.
Harja Saputra—sebagaimana dikutip dari tulisan Sam Edy Yuswanto—mengatakan bahwa penulis bayangan merupakan awal mula (muasal) sumber dari kisruh plagiat-plagiat yang biasa dilakukan di lingkungan kampus. Jadi, menyewa ghost writer juga termasuk ke dalam tindakan plagiarisme, sekalipun tidak terlalu kentara.
Secara agama, ghost writer bukan merupakan bentuk dosa. Pelaku ghost writer dan penyewa jasanya memang tidak mendapatkan sanksi hukum agama. Hal itu juga yang disampaikan oleh Budi Sarjono dalam bukunya ‘Ledhek dari Blora’. Namun, jika ditilik dari aspek akademik, Ghost Writer adalah sebuah dosa besar, karena ia tergolong dalam kasus plagiarisme.
Namun, ada beberapa alasan kenapa saya menyesali perbuatan saya di masa lampau dengan menjadi penulis bayangan. Pertama, membohongi diri sendiri. Sebagaimana dijelaskan di awal, ghost writer menulis bukan untuk dirinya sendiri. Tulisan yang dihasilkannya akan ditulis sebagai tulisan orang lain, bahkan nama kita tidak akan dicantumkan sama sekali. Tentu ini sangat naif, sebab salah satu kebahagiaan terbesar seorang penulis adalah menghasilkan tulisan dan namanya ditulis sebagai pengarang tulisan tersebut, lebih-lebih kalau sampai dimuat di media.
Kedua, membohongi orang lain. Orang lain akan tertipu bahwa tulisan tersebut ditulis oleh si A (misalkan). Padahal, nyatanya tulisan tersebut adalah tulisan kita yang si A ubah namanya menjadi namanya sendiri. Ini bisa dikatakan juga sebagai kebohongan publik. Meski nyatanya menyewa ghost writer (seringkali) tidak ada dalam larangan persyaratan sebuah instansi, namun hal tersebut bisa diqiyaskan kepada bentuk pelanggaran lain, yakni plagiat.
Ketiga, membiarkan kebodohan meluas. Orang yang memakai jasa ghost writer seringkali beralasan tidak bisa menulis atau tidak terlalu mahir dalam kepenulisan. Alasan itu merupakan alasan utamanya. Nah, dengan kita mengambil alih seluruh tugasnya, maka orang tersebut tidak akan pernah belajar untuk menulis, dan akhirnya tidak akan pernah tahu.
Berbeda dengan kita mengajarinya, menuntunnya, dan memberikannya arahan-arahan dalam kepenulisan. Penulis bayangan tidak seperti itu. Dia sama sekali tidak akan memikirkan pelanggannya bisa nulis atau tidak, terus bodoh atau tidak. Yang dipikirkan adalah bayaran yang sepadan. Makanya, meskipun mungkin jasa ghost writer tidak ada larangan dalam agama, namun dalam dunia akademik, praktek demikian merupakan tindakan pelacuran. Wallahu a’lam.
-Menulis di beberapa media, seperti: Radar Madura, Radar Banyuwangi, Harian Bhirawa Surabaya, Koran Analisa Medan, Koran Momentum Lampung, Harakatuna, Iqra.id, Duniasantri, dll.
Kak, gimana kalo goshwriter buku dan bukan buat keperluan akademik?