Oleh: Mohammad Sholihul Wafi
Tidak ada yang dapat menegasikan peran sentral guru di sekolah. Mengingat, pendidikan secara luas merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik atau guru melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang dewasa-susila (Sudarminta, 1990: 12).
Secara lebih lanjut, Driyarkara (1980) juga memaparkan, bahwa pendidikan pada hakikatnya ialah suatu perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi antarpribadi. Dalam komunikasi tersebut, terjadi proses pemanusiaan manusia muda —dalam arti proses hominisasi (proses menjadikan seseorang sebagai manusia), dan proses humanisasi (proses pengembangan kemanusiaan manusia). Artinya, pendidikan pada dasarnya dikembangkan untuk membantu dan memberdayakan peserta didik untuk membangun kekuatan bersama, memupuk kohesi, dan solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan persoalan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama (Bagong Suyanto, 2018). Itu dilakukan melalui transformasi nilai-nilai, norma, ajaran agama, dan berbagai hal yang ideal, yang didesain dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan kesempatan belajar tentang kehidupan dan memperoleh pengetahuan untuk memahami kehidupan secara arif.
Masalahnya, seringkali guru kurang memperhatikan fungsi tersebut dalam pendidikan. Mereka terlalu terfokus pada pembangunan aspek kognitif sehingga seringkali abai dan bahkan melupakan aspek afektif yang juga sama pentingnya. Padahal, Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 bab 2 pasal 3 telah mengatur, lembaga pendidikan harus menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki kecakapan intelektual beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, aspek afektif (karakter) peserta didik menjadi output penting keberhasilan pendidikan yang ditempuh di sekolah.
- Iklan -
Kegagalan dalam membumikan visi pendidikan karakter di sekolah inilah yang selanjutnya menjadikan bibit-bibit tindakan amoral dapat menguat di sekolah-sekolah. Kegagalan pendidikan karakter, bisa menyebabkan perilaku menyimpang siswa yang suka bolos, bertengkar, dan tawuran. Maka itu, pimpinan sekolah dan stakeholders yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia harus berupaya mengembalikan guru sebagai pilar utama pendidikan keteladanan di sekolah.
Pertama, guru harus diamanahi untuk bukan hanya terfokus pada target materi kognitif yang sebenarnya mudah saja dipelajari siswa melalui internet atau smartphone yang sangat akrab dalam dunia mereka saat ini. Artinya, dalam rencana pembelajaran yang mereka buat, harus memuat bagaimana menanamkan karakter-karakter baik termasuk nilai-nilai toleransi dalam ruang-ruang kelas. Tanpa itu, pembelajaran kelas yang hanya fokus kognitif, hanya akan menciptakan budaya kompetitif yang berlebihan di ruang kelas. Bahkan, bisa saja demi menjatuhkan temannya, ia bisa melakukan segala macam cara. Sungguh ini sangat tidak diharapkan.
Untuk itu, selain desain pembelajaran yang juga memerhatikan terbentuknya karakter positif siswa, pembiasaan perilaku toleran dalam pergaulan sekolah baik di dalam atau luar ruang-ruang kelas juga harus dirancang sekolah. Dan bahkan, guru juga seharusnya memiliki instrumen untuk mengukur ketercapaian aspek afektif siswa dalam pergaulan sehari-hari di sekolah. Ini penting demi mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan membumikan pendidikan karakter di sekolah.
Kedua, revitalisasi peran sentral guru sebagai sosok yang harus digugu lan ditiru. Dalam konteks ini, Ki Hajar Dewantara merincikan dalam trilogi-nya dalam membangun Taman Siswa yang sangat dikenal dalam dunia pendidikan: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. (Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat dan di belakang memberikan daya kekuatan). Itulah sebenarnya peran penting guru di sekolah, yang tidak dapat digantikan oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini.
Di sisi lain, pepatah juga mengatakan: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya, jika guru gagal menanamkan karakter positif kepada siswa yang belajar kepadanya, mustahil akan terbentuk siswa yang cerdas dan berkarakter.
Hanya saja, meskipun guru memegang peran sentral dalam terlaksanya proses pendidikan di sekolah, tetap saja harus ada sinergitas yang optimal oleh berbagai pihak untuk mencetak generasi bangsa yang berkualitas dan berkarakter baik. Ketika lembaga pendidikan belum bisa maksimal dalam menanamkan nilai-nilai moral anak, keluarga dan lingkungan dimana siswa tinggal dan bersosialisasi harus mengambil peran. Baik keluarga dan lingkungan harus menjadi guru bagi siswa untuk senantiasa menjaga keharmonisan relasi sosial. Wallahu a’lam.
– Pengajar di Ponpes. Shirotul Fuqoha’ Kudus