Oleh: Mohammad Sholihul Wafi
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Terjadi lagi aksi bom bunuh diri. Aksi tersebut kali ini menyasar Polsek Astana Anyar, Kota Bandung pada 7 Desember kemarin, yang mengakibatkan pelaku dan seorang polisi meninggal dunia, 3 orang polisi luka berat, serta 4 anggota polisi dan 1 warga sipil mengalami luka ringan. Ironinya, pelaku pengeboman tersebut diduga ialah Agus Sujatno (AS) atau Agus Muslim, seorang eks napiter bom Cicendo yang sempat menjalani hukuman penjara 4 tahun sebelum dibebaskan pada September 2021. Kejadian ini semakin memperpanjang daftar aksi terorisme yang disebabkan ideologi radikal yang terjadi di negeri ini.
Kejadian-kejadian teror dan bom bunuh diri menjadi alarm peringatan penting bagi institusi pendidikan dan orang tua untuk dapat memaksimalkan pendidikan antiradikalisme di sekolah dan juga rumah-rumah. Ini agar ketika anak memiliki karakter kemanusiaan yang baik dan mengakar kuat, ia tidak akan mudah terpapar ideologi radikal yang melegalkan kekerasan sebagai jalan mencapai tujuan.
- Iklan -
Lebih-lebih data tentang persebaran ideologi radikalisme semakin mengkhawatirkan. Proses penanaman ideologi radikal telah marak di kegiatan-kegiatan keagamaan (CISForm, 2018), masjid-masjid kampus (INFID, 2018), dan buku-buku yang beredar (PPIM, 2018). Pola penyebarannya pun tidak lagi dilakukan hanya melalui medium dakwah dan forum-forum halaqah, tetapi sudah merambah ke media sosial (cyber space) dan jalur-jalur pertemanan. Hasilnya, sebagaimana dilaporkan PPIM (2020), 24,89% mahasiswa Indonesia terindikasi memiliki sikap intoleran. Dari sumber lain, Alvara Research (2020) melaporkan bahwa 23,4% mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancasila dan malah pro-khilafah.
Sebagai generasi yang akrab dengan teknologi, yang mana menjadi salah satu media efektif dalam persebaran ideologi radikal. Dimana dengan mudah orang bisa mengakses konten-konten menyerukan radikalisasi agama, kekerasan, provokasi, hate speech, fitnah, dan adu domba. Atau bisa juga mereka menonton tutorial merakit bom. Generasi-generasi muda sekarang tentu rawan menjadi target persebaran ideologi radikal.
Penyebabnya, ialah, pertama, mereka sedang mencari identitas diri. Studi yang dilakukan oleh The United States Institute of Peace pada 2010 menunjukkan bahwa 2.032 militan asing jaringan Alqaeda berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar; mereka adalah orang-orang yang sedang mengembara untuk menemukan jati dirinya. Kedua, mereka membutuhkan perasaan kebersamaan. Kelompok teroris pandai memanfaatkan para remaja yang sedang resah terhadap kondisi emosionalnya. Mereka ingin mencari kebersamaan yang kadang tidak mereka dapatkan dari keluarganya.
Ketiga, mereka ingin memperbaiki apa yang dianggap mencederai rasa keadilan. Para remaja ini memiliki semangat yang menggebu-gebu dan idealisme yang tinggi untuk melakukan perubahan, hal inilah yang juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris. Keempat, mereka sedang membangun citra diri. Kelompok remaja sangat ingin terlihat menonjol atau eksis, karenanya mereka cenderung tidak segan untuk melakukan berbagai cara untuk tampil impresif, termasuk di antaranya adalah dengan menjadi bagian dari kelompok dan gerakan ekstremis. Kelima, mereka memiliki akses yang luas untuk berinteraksi dengan siapa pun di dunia maya, termasuk dengan kelompok radikal. Persinggungan di dunia maya inilah yang kerap menjadi permulaan bagi kalangan muda untuk bergabung dengan kelompok teroris.
Nah, di tengah derasnya arus penyebaran ideologi radikal akibat majunya teknologi komunikasi dan informasi saat ini, yang membuat anak-anak mudah terjangkit paham radikal terorisme, keluarga dan sekolah, keduanya adalah agen tepat untuk menciptakan kondisi ramah bagi penanaman nilai-nilai moral. Mengajarkan saling menghormati dan menyayangi sesama tanpa memandang ras, suku, dan agama. Juga, memberi teladan arti penting toleransi dalam keberagaman.
Dalam konteks tersebut, hal penting yang harus dibangun dalam upaya mendidik pekerti antiradikalisme adalah kedekatan emosional dan komunikasi yang baik antara guru, murid, dan orang tua. Baik keluarga dan guru, keduanya harus mampu menciptakan kehangatan hubungan dengan anak-anak yang mereka didik. Agar, selain kita mudah menanamkan ajaran-ajaran antiradikalisme, kita juga bisa mendeteksi dini setiap perilaku anak yang mengindikasikan bahwa mereka terpapar ideologi radikal. Dan, kedua pihak tersebut bisa saling bekerja sama untuk mengantisipasi agar si anak dapat keluar dari jerat ideologi radikal dan menjadi manusia bermoral yang memanusiakan manusia. Wallahu a’lam.