Oleh: Mohammad Sholihul Wafi
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tindakan perundungan (bullying) masih saja terjadi di dunia pendidikan. Yang mutakhir, sebuah video viral berdurasi 21 detik mempertontonkan seorang siswa SMP Plus Baiturrahman di Bandung yang menjadi korban perundungan oleh teman-teman sekelasnya (17/11). Terlihat dalam video, korban dipakaikan helm, lalu ditendang dan dipukul di bagian kepala hingga terjatuh ke lantai, kemudian seorang siswa menindih korban yang tergeletak. Di Tapanuli Selatan, enam pelajar juga melakukan aksi perundungan terhadap seorang nenek yang berdiri di pinggir jalan. Salah satu di antara keenam pelaku tersebut, bahkan terlihat menendang nenek tersebut hingga tersungkur.
Kasus-kasus tersebut merupakan segelintir di antara tindakan bullying yang terjadi di negeri ini. Masih banyak kasus-kasus bullying yang melibatkan pelajar namun tidak terekspos oleh media massa. Maraknya kasus bullying tersebut mengindikasikan bahwa proses pendidikan kita belum mampu membangun karakter anak yang cinta damai. Banyak pelajar yang mengutamakan penyelesaian masalah melalui jalur-jalur kekerasan dibandingkan berdamai. Tak heran, bullying dan tawuran antarpelajar menjadi cara penyelesaian masalah beberapa pelajar sekolah.
- Iklan -
Parson L (2005) dalam bukunya Bullied Teacher Bullied Student menyebutkan, bullying bisa terjadi saat pelajaran maupun di luar kelas. Bullying juga bisa berwujud fisik, verbal, dan psikis. Pelakunya bisa guru, siswa sendiri, juga karyawan sekolah. Umumnya kasus-kasus bullying terjadi karena tindakan kekerasan anak yang dibiarkan sehingga menimbulkan akumulasi perilaku menyimpang. Hanya saja, sebagaimana dikutip dari Oxford Learner’s Pocket Dictionary, tindakan bullying kerap menimpa pada korban yang lemah secara fisik.
Bullying selain bisa dilakukan secara langsung, juga mungkin dilakukan via media sosial (cyber bullying). Bentuknya berupa hinaan, ejekan, intimidasi, fitnah, dan ujaran kebencian yang dikemukakan melalui internet. Kecenderungan remaja yang ingin terlihat gaul dengan update media sosial, keinginan berekspresi secara bebas, serta kegagalan dalam mengelola emosi dengan baik, umumnya menjadi penyebab utama kasus-kasus bullying di media sosial yang dilakukan oleh pelajar.
Parahnya, mereka yang melakukan aksi perundungan terhadap orang lain, tidak pernah memikirkan dampak buruk tindakan tersebut. Korban perundungan tersebut bisa memiliki trauma, cemas, takut, kecewa, sedih, hingga merasa tertekan dan bisa menarik diri dari lingkungannya karena tidak punya rasa percaya terhadap dirinya sendiri.
Upaya
Dalam mengatasi persoalan bullying yang terjadi di lingkungan pendidikan, sekolah harus mendesain proses pendidikan yang dapat membangun karakter siswa yang humanis. Pendidikan karakter ini menjadi cara tepat untuk mempengaruhi sikap, pola pikir siswa sehingga menjadi manusia yang beradab. Dengan pendidikan karakter, siswa diharapkan mampu membentuk dan membangun kepribadian peserta didik yang positif dan bertanggung jawab serta mampu mengatasi perilaku menyimpang.
Di sekolah, guru sebagai pendidik harus menanamkan pendidikan karakter dengan memberikan pengertian mengenai indahnya perdamaian sehingga membuat siswa enggan merusak kedamaian itu. Guru juga harus meningkatkan kualitas komunikasi antara murid dan guru sehingga setiap terjadi permasalahan, siswa tidak main hakim sendiri. Upaya lain yang dilakukan untuk penanaman pendidikan karakter dengan cara penerapan budaya saling memaafkan dan meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Agar, tidak ada aksi perundungan dan kekerasan antarpelajar karena merasa ada teman yang berbuat salah.
Lebih lanjut, penting juga bagi seorang guru untuk memahami emosi peserta didik. Ini karena ketika guru mampu menguasai emosi siswanya, mereka dapat dengan mudah untuk memasukkan segala informasi positif mengenai pendidikan, perdamaian dan sikap-sikap positif lainnya sehingga infomasi itu dapat menetap dalam diri siswa dan memberikan dampak positif dalam kehidupannya kelak.
Hanya saja, upaya penanaman karakter di sekolah tersebut harus seirama dengan upaya orangtua menciptakan karakter humanis pada anak. RA Kartini (1879-1904) pernah mengatakan, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi keluarga di rumah juga harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah, kekuatan mendidik berasal.” Maka itu, baik pendidik maupun orangtua, harus berkolaborasi untuk membangun karakter positif anak. Pendidik tidak bisa berdiri sendiri untuk menghentikan aksi perundungan oleh siswa hanya melalui proses pendidikan di sekolah. Orangtua juga harus mendukung guru menghentikan bullying siswa melalui pendidikan karakter kepada anak-anak ketika di rumah. Dengan pendidikan karakter yang dilaksanakan secara sinergis tersebut, diharapkan dapat mengubah pola perilaku dan sikap siswa sehingga menjadi lebih baik dan tidak akan ada lagi tindakan perundungan yang melibatkan pelajar baik di sekolah maupun di luar sekolah.