Setiap manusia di ciptakan oleh Tuhan sebagai “Ahsan at-Taqwim”, sebaik-baik ciptaan. Dalam fitrahnya manusia suci (bersih) dari apapun yang menodainya. Namun demikian manusia juga memiliki potensi yang luar biasa dalam dirinya. Terlahir dari ketidaktahuan akan apapun, menuntut manusia untuk terus meningkatkan kualitas potensinya. Untuk itu tugas besar manusia adalah dapat mencapai puncak tertinggi akan potensi dirinya yang disebut aktualisasi diri.
Secara sederhana, aktualisasi diri dapat dikatakan sebagai upaya dalam mengoptimalkan segala bakat, kualitas, dan kapasitas dalam diri seseorang. Dalam hal ini, aktualisasi diri meniscayakan seseorang untuk memantaskan dirinya pada potensi yang dimilikinya secara tepat. Disini akan terjadi kematangan psikologis dan pengembangan sifat-sifat ke arah yang lebih baik (Sarnoto, 2020).
Senada akan hal itu, Abraham Maslow dalam hierarcy of need-nya, menjelaskan bahwa sejatinya manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok yang berjenjang dan diawali dari kebutuhan yang sangat mendasar. Berkenaan dengan hal tersebut, Islam juga membicarakan adanya tingkat kebutuhan dasar yang terdiri atas tiga bentuk. Pertama, Al-Basyar. Kategori ini mengidentifikasikan bahwa manusia sebagai makhluk fisik pastilah membutuhkan pola-pola pemenuhan fisiologis sampai kepada rasa yang aman. Kedua, Al-Nas. Setelah manusia terpenuhi segala kebutuhan fisiologis dan merasa aman, maka tahap berikutnya ialah kebutuhan akan sosialisasi dan penghargaan yang bisa dianalogikan kedalam makna Al-Nas ini. Ketiga, Al-Ins. Ketika semua kebutuhan sebelumnya sudah terpenuhi, maka manusia akan sampai pada pola kebutuhan aktualisasi diri, yang ditandai dengan terinternalisasi seluruh potensi yang dimilikinya, pada kategori ini disebut Al-Ins (Dewi, 2006).
Menurut pandangan Muhammad Iqbal, aktualisasi diri dibahasakan akan membentuk insan kamil. Yaitu sosok muslim sejati yang memiliki kekuatan, wawasan yang luas, dan bijaksana dalam segala perbuatan. Maka seseorang dalam capaian insan kamil akan menghiasi kehidupannya dengan penuh semangat, kreativitas, dan bertakwa. Menurutnya insan kamil merupakan bentuk manusia ideal dan juga fase tertinggi yang mungkin dicapai oleh seseorang sebagai manifestasi khalifah Tuhan di muka bumi, yang tentu dilandasi keimanan dan ketaatan.
- Iklan -
Iqbal mengingatkan bahwa proses aktualisasi diri haruslah ditempuh melalui prosedur tertentu. Pertama, dengan amal. Proses aktualisasi haruslah digapai dengan amal. Disebabkan manusia memiliki watak perjuangan untuk mencapai sesuatu secara lebih inklusif, efektif, seimbang, dan unik. Maka manusia secara kodrati harus memiliki amal perjuangan dan juga mengembangkan potensi kreativitasnya. Dikarenakan aktualisasi diri juga bagian dari upaya manusia dalam mendekat kepada Tuhan, maka bukan hal yang tuntas apabila seorang manusia malah merendahkan diri dan menghindarkan diri dari amal perjuangan yang penuh semangat.
Kedua, sikap memperkuat diri. Upaya aktualisasi guna mencapai insan kamil selanjutnya, menurut Muhammad Iqbal yaitu dengan menumbuhkan secara sungguh-sungguh sikap-sikap yang dapat memperkuat diri. Sikap-sikap itu diantaranya, yaitu dengan cinta kasih, faqr, keberanian, toleransi, kasb-l halal, dan melaksanakan kegiatan yang kreatif. Sebaliknya, seseorang juga harus meminimalisasi sikap-sikap yang bisa melemahkan diri (Anshori Lidinillah, 2000).
Pesantren dan Aktualisasi Diri
Dengan begitu, tentu upaya dalam mencapai basis aktualisasi diri dalam menuju insan kamil bukan perkara mudah. Selain diperlukan kemauan dari seseorang, namun juga dibutuhkan suatu wilayah yang dapat memosisikan diri sebagai media untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki seseorang. Tentu yang dimaksud ialah potensi kreativitas intelektual dan juga moral spiritual. Menurut hemat penulis, salah satu tempat yang paling tepat untuk proses aktualisasi diri dengan berbagai prasyarat yang telah disebutkan diatas adalah pesantren. Mengapa demikian?
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keislaman tertua di nusantara, setidaknya memiliki tiga basis pendidikan kuat, yaitu spiritual, intelektual, dan juga keterampilan (kreativitas). Ketiga komponen dasar tersebut sangat berpengaruh bagi seseorang dalam melakukan aktualisasi diri. Keseimbangan antara aspek spiritual, intelektual dan kreativitas akan membawa seseorang pada sikap yang inklusif dalam mencapai aktualisasi diri.
Aktualisasi diri juga diperlukan adanya kekuatan jasmani yang baik. Dalam hal ini pesantren selalu mengajarkan para santrinya untuk riyadhah, guna mengolah jasmani menjadi jiwa-jiwa yang sehat. Di pesantren juga diajarkan tentang bagaimana seseorang menemukan dan memahami sebuah kebenaran akan realita yang ada. Hal ini sangat penting berkaitan dengan pengaruhnya terhadap seseorang dalam mengambil keputusan yang tepat dan benar dalam segala kehidupan kelak saat dibutuhkan. Tentu pertimbangan kebenarannya tidak melulu akan diukur dengan rasio saja, tapi juga dengan moral dan etika.
Kekuatan pesantren selanjutnya adalah pendidikan etika dan karakter. Tak tanggung-tanggung, pendidikan budi pekerti di pesantren juga selalu diajarkan, sekaligus juga dipraktikkan secara kontinu oleh seluruh stakeholder yang ada didalamnya. Hal terakhir yang meyakinkan pesantren merupakan tempat yang tepat sebagai media dalam aktualisasi diri adalah aspek kreativitas. Dimana kita tahu pesantren selalu menyediakan wadah bagi para santrinya dalam memaksimalkan segala potensi yang ada dalam dirinya. Biasanya pesantren akan mengadakan ekstrakurikuler hampir dalam segala bidang , baik secara individual, sosial maupun keagamaan. Bahkan pesantren yang kini telah banyak bermetamorfosis menjadi lembaga yang lebih modern, akan memberikan ruang untuk mengembangkan bakat para santri dalam bidang keilmuan kontemporer.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan otonom, memungkinkan dirinya untuk berkembang senada dengan perkembangan potensi para santrinya. Hal ini penting untuk tidak membatasi suatu potensi yang dimiliki para santri, karena pesantren memiliki sistem tata kelola yang diolah secara mandiri. Disampig itu pendidikan moral spiritual dipesantren juga dibutuhkan, agar para santri tahu kemana arah orientasi aktualisasi diri tersebut. Potensi apapun itu sejatinya bertujuan dalam membentuk insan kamil. Wallahua’lam
-Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam