Oleh Mufti Wibowo
Masa-masa frustratif pandemi Covid-19 mungkin hanya dapat disepadankan dengan efek yang dimunculkan cacar di Amerika berabad-abad lalu atau yang lebih mutakhir oleh Perang Dunia yang menyisakan efek traumanya hingga hari ini. Bagi saya yang tak mengalami fase-fase sejarah itu hanya bisa “meminjam” kacamata Harari dalam Sapiens atau Homo Deus, sebagai contoh. Pada titik itulah, saya merasa beruntung dipertemukan dengan Humankind dengan sub judul Sejarah Penuh Harapan. Buku yang disusun dengan penuh optimisme oleh Rutger Bregman, sejarahwan berkebangsaan Belanda.
Bregman, sang penulis, membagi Humankind menjadi lima bagian utama yang diapit prolog dan epilog, sementara dalam setiap bagian terdiri atas beberapa bab. Secara umum, Bregman berangkat dari tesis warisan abad rasional, bukan untuk turut mengamini, melainkan menggungatnya, bahwa manusia pada dasarnya jahat. Dengan kredo itu, manusia sebagai individu harus dikontrol dengan peranti eksternal di luar dirinya. Sebaliknya, dia hendak membalikkan pendapat itu dengan serangkaian argumentasi, menafsir ulang berbagai teks (peristiwa) sejarah monumental dalam berbagai arena—semuanya berpijak pada kredo sains.
Bregman berupaya keras melakukan pembuktian terbaik—dengan membaca ulang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah umat manusia—kemudian memberinya jalan konklusi bahwa pada dasarnya manusia yang hidup era kiwari adalah sejenis homo puppy. Homo puppy sendiri adalah personifikasi dari manusia penuh harapan hidup yang dibentuk oleh proses evolusi. Keyakinan itu ia peroleh dari kepunahan homo neanderthalensis dibandingkan homo sapiens yang lebih mampu memepertahankan spesienya hingga hari ini, dengan keunggulan volume otak. Selain itu, ia mengajukan hasil penelitian Dmitri Belyaev mengenai rubah perak bahwa manusia makin hari makin jinak, dengan perilaku yang lebih ramah, lebih banyak serotonin dan oksitosin, tahap kanan-kanak yang lebih panjang, penampilan yang lebih feminin dan anak, serta komunikasi yang makin baik (hal. 65)
- Iklan -
Setelah penjelasan yang gemilang pada bagian awal, bagian kedua mengubah lokus pada apa yang terjadi ketika kita hari mengenal sosok macam Hitler, Stalin, Mao, atau Pol Pot? Bergmen membongkar kedok dua penelitian dalam disiplin psikologi sosial yang sangat terkenal sekaligus penuh manipulasi yang dilakukan masing-masing oleh Philip Zimbardo dan Stanley Milgram. Zimbroud dan Milgram sama-sama menyebut “otoritas” bisa membuat manusia berperilaku seperti “monster”. Dengan kata lain, manusia memang memiliki gen jahat. Sementara, para relawan dalam kedua penelitian itu hanya sekadar berakting, mengikuti perintah sang peneliti, atas dasar itikad baik dan moral—hal yang tentu mendistorsi hasil penelitiannya.
Seolah tak cukup, Bregman mengajukan kasus kematian seorang perempuan di Amerika bernama Catherin Susan Genovse pada 1964. Dalam kasus itu, media massa di New York menggambarkan tak seorang saksi pun mau memberikan keterangan dalam kasus pembunuhan itu. Seolah, tetangga dan teman-teman Catherin adalah manusia yang tak memiliki rasa kemanusiaan. Tapi, belakangan fakta menyebut itu adalah frame yang dibuat karena buruknya kerja jurnalis yang cacat demi motif menggaet perhatian publik, dengan mengabaikan fakta. Membaca itu, saya kemudian teringat sebuah kalimat menjengkelkan: berita yang baik adalah berita yang buruk.
Bagian ketiga Humankind menguraikan pada pembaca bagaimana tentara Jerman bisa menjadi mesin pembunuh tanpa perasaan. Faktor antagonistiknya disebut sebagai empati. Mereka yang mau berperang didorong oleh rasa persaudaraan terhadap sesama, persahabatan atau persaudaraan yang eksklusif. Pada saat mereka meganggap sebagai orang sebagai teman, rasa empati akan membuat oposisi biner: selain teman adalah musuh. Itulah penjelasan Bregman.
Sebuah fakta menarik disebut bahwa penyebab terbesar kematian serdadu Britania pada Perang Dunia II adalah mortir, granat, bom bunuh diri udara, dan peluru mering—sebanyak 75 persen. Bukan karena terbunuh secara langsung oleh serdadu lawan. Dengan itu pula pembaca diberi gambaran psikologis seseorang tak akan mudah membunuh orang lain tanpa sebab tertentu. Sebab tertentu itulah yang disebut Bergmen sebagai empati. Untuk itulah kemudian Bregmen pada bagian berikutnya mengajukan istilah welas asih yang rasional dan universal sebagai ganti dari empati yang irasional dan mistik.
Faktor lain adalah kekuasaan yang bersifat merusak. Bergmen megajukan teori “tak tahu malu” Maciavelli yang segera dibantah berbagai penelitian antropolog Amerika yang menyebut manusia lebih menginginkan pemimpin dengan karakter: murah hati, berani, bijaksan, karismatik, adil, tak berat sebelah, bisa diandalkan, berhati-hati, kuat, dan rendah hati (hal. 233). Dan, manusia modern bisa menggunakan metode kelayakan (merit), yang itu berarti manusia hari ini harus menghindari klaim mitos “kekuasaan yang turun dari langit” atau sejenisnya yang bisa memunculkan monster macam Hitler, Stalin, Mao, atau Pol Pot itu.
Pada bab-bab selanjutnya, Bregman memberi semacam pedoman bagaimana manusia merancang strategi untuk mengubah paradigma lama yang menyebut manusia begitu egois dan tak punya masa depan cerah. Bagian ini menjadi begitu penting bagi seorang guru seperti saya, atau Anda seorang manager di sebuah perusahaan atau bila Anda seorang pejabat publik.
Saya yang memiliki kewenangan mengelola kelas berpeluang menjadi pembuka jalan perubahan, mulai dari dalam kelas, memberi kemerdekaan kepada anak-anak untuk menentukan apa yang ingin mereka pelajari atau memilih sumber hingga media belajar yang sesuai dengan karakter yang plural, misalnya. Sekolah di Finlandia, penjara di Norwegia, kasus kekerasan di kalangan remaja Amerika adalah sederet contoh kasus yang sungguh memberikan inspirasi yang begitu kuat di kepala saya. Sebuah kekuatan yang disebut “kehendak untuk percaya”. Setelah seorang pemimpin dalam komunitas—guru dan orang tua—memberi keleluasaan (dalam pengertian kretivitas); produktivitas dan prestasi akan menanti sebagai ganjarannya.
-Mufti Wibowo; seorang pengajar dan berdomisili di Purbalingga.