Oleh Muhammad Muzadi Rizki
Sebagai sebuah negara yang terkenal akan negara multikultural, Indonesia memperlihatkan kekayaan khazanah keberagaman yang beragam, sekaligus kompleks. Kekompleksitas keberagamannya terbukti terdiri dari beragam pulau, suku bangsa, agama, ras, dan bahasa. Dimana, masing-masing itu mempunyai struktur budaya yang berbeda-beda. Bangsa Indonesia yang multi agama, di dalam setiap agamapun terdapat sekte yang bermacam-macam. Belum lagi kemajemukan dalam etnis, ras, dan bahasa yang semuanya berbaur menjadi satu.
Hal ini memang bernilai positif pada satu sisi. Namun disaat yang sama, dengan adanya realitas pluralitas juga menyisakan berbagai persoalan kebangsaan yang perlu diantisipasi. Jika menilik pada dua dekade terakhir, fenomena ekstrimisme yang berwujud intoleransi, radikalisme, dan terorisme telah menjadi trend baru dalam lanskap keberagamaan di Indonesia. Persoalan semakin mengkhawatirkan pelbagai pihak ketika guliran mengenai eksklusifisme, sektarianisme, intoleransi dari tahun ke tahun menjalar ke lembaga pendidikan, menyasar para siswa.
- Iklan -
Dari beberapa penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga menyebutkan bahwa infiltrasi pemahaman radikal, intoleran, eksklusif ditanamkan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Ditengarai, OSIS dan Rohis menjadi jalur strategis untuk penularan pemahaman radikal, eksklusif. Di sisi lain, peran vital guru sebagai pendidik yang seharusnya menjadi percontohan keteladanan juga ada yang masih bersikap intoleransi. Peristiwa mutakhir memperlihatkan sikap intoleransi, dan eksklusif dari guru dengan “memaksakan” penggunaan jilbab.
Alih-alih, lembaga pendidikan sebagai kawah candradimuka menciptakan generasi kaum intelektual dan akademisi yang menjunjung tinggi rasa kebhinekaan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Justru lembaga pendidikan tidak steril dari paham-paham eksklusif, intoleransi, radikal. Untuk memberangus paham-paham ekstrem supaya tidak tumbuh di lembaga pendidikan, perlu adanya terbososan inovatif-solutif yakni menciptakan budaya moderat di lingkungan pendidikan. Hal ini menjadi penting karena lembaga pendidikan mampu mempengaruhi wawasan kebangsaan dan keagamaan generasi muda. Siswa yang dinantinya menjadi pemimpin masa depan, harus diarahkan sejak dini menjadi agen moderasi beragama.
Moderasi beragama hadir sebagai tandingan dari paham-paham ekstrimisme, radikalisme yang kian lantang menyuarakan ideologinya. Moderasi beragama meniscayakan sikap, pemikiran dan tindak laku yang berada ditengah-tengah, tidak bias pada kubu ekstrem kanan maupun bias pada ekstrem kiri. Kementerian Agama merumuskan moderasi beragama merupakan model beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama –yang melindungi harkat & martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum– berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Siswa dalam hal ini yang menjadi agen moderasi beragama yakni siswa yang memegang teguh keyakinannya, dan pada saat bersamaan menampilkan memahami, menyadari, menerima, membantu, dan bekerja sama dengan pihak lain yang berbeda agama dan keyakinannya. Mereka meyakini bahwa keberagaman adalah suatu sunatullah, rahmat yang harus disyukuri bukan malah menimbulkan sekat-sekat sosial. Parameter dari agen moderasi yang termanifestasikan dari nilai-nilai prinsipal moderasi beragama antara lain: tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil, tegak lurus), tasamuh (toleransi), syura (musyawarah), ishlah (perbaikan), qudwah (teladan), muwathanah (cinta tanar air), la ‘unf (nirkekerasan), i’tiraf al-‘urf (ramah budaya, tradisi lokal) (Aziz and Anam, 2021).
Siswa tentu tidak bisa tiba-tiba paham akan pentingnya moderasi beragama. Perlu ada keterlibatan pihak lain dalam hal ini guru maupun kepala sekolah dalam menjadikan siswa mempunyai sikap militan dalam menerapkan moderasi beragama. Pihak sekolah harus melakukan pengembangan reaktivasi yang mengarah pada segala aktivitasnya terbingkai perilaku moderat. Dengan cara inilah, budaya moderat mampu menjadi habituasi bagi warga sekolah.
Agen moderasi menjadikan siswa sebagai insan yang moderat di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap moderat ini harus ditanamkan dan mutlak diperlukan kepada siswa agar menjadi manusia yang memanusiakan manusia, mendamaikan, menebarkan kasih sayang, persaudaraan dan toleran dimasa yang akan datang. Ada istilah yang masyhur bahwa “syubbanul yaum rijaalul ghod”, pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Peranan pemuda hari ini sangatlah penting untuk masa depan suatu bangsa, bobroknya pemuda maka akan mengakibatkan bobroknya pula suatu Negara, karena pemuda pemegang kendali utama untuk menentukan maju runtuhnya suatu Negara. Dengan menjadikan para siswa menjadi agen moderasi untuk saat ini, diharapkan mampu menjadi pemimpin emas dimasa mendatang yang mengedepankan sikap kepekaan sosial, kepekaan kebangsaan, kepekaan spiritual, dan kepekaan lingkungan yang sehat, berkualitas, damai nan moderat.
*Muhammad Muzadi Rizki; penulis lepas, penyuka literasi moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.