Oleh Abdul Warits
Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Sampai detik ini, kemungkinan dan cara pandangan masyarakat kita mengarah kepada materialisme karena segalanya butuh kepada kebendaan semata, apalagi kebutuhan perempuan yang sangat banyak.
Inilah salah satu perlu kita antisipasi ketika nalar ini menjalar kepada perempuan sehingga perempuan hari ini mudah dieksploitasi. Para pengusung paham materialisme atau juga orang mementingkan kebendaan semata hanya ini akan menjadi “bentuk paling nyata” yang menghancurkan kehidupan manusia. Meskipun, manusia yang hidup di dunia tidak bisa menghindar dari sikap materialisme ini, apalagi perempuan. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa manusia terdiri dari materi dan dihiasi dengan sikap yang suka kepada materi, termasuk juga seorang perempuan.
Materialisme adalah sistem pemikiran yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Sistem berfikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham materialisme dialektika Karl Marx. Dalam kritik yang dilontarkan pada Hegel tentang manusia sebagai esensi dari jiwa. Marx menyanggah bahwa manusia adalah makhluk alamiah dalam obyek alamiah. Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar adalah materi. Pada dasarnya, semua hal yang terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologimonistik.
- Iklan -
Jiwa masyarakat modern terpetakan dalam suatu tarikan gaya hidup yang pada dasarnya menggeser makna keberadaan dirinya di dunia. Gaya hidup yang glamor, hedonis, konsumtif, membawa pada terciptanya efek logis ketercerabutan etika universal manusia. Mentalitas manusia modern yang developmentalis namun destruktif, sekuler-dikotomis, ambisius dan egosentris semakin menjauh dari kearifan hidup dan semakin memperpanjang proses negatif kepedulian terhadap alam dan lingkungan sekitar. Agama dalam hal ini berpedoman pada Alquran diharapkan mampu memperlihatkan secara lugas bagaimana pola dan model hidup semacam itu dikonstruk sedemikian rupa sehingga menjadi lebih memungkinkan terciptanya kembali masyarakat etis, ekologis dalam suatu peradaban masa depan manusia yang harmonis secara universal. Semakin manusia modern secara pikiran dan gaya hidup, maka otomatis kearifan lokal dan warisan ilmu pengetahuan dari leluhur akan semakin terkikis.
Manusia modern lebih mempercayai dan meyakini sesuatu yang logis dan rasional. Dalam konstruksi patriarki, perempuan dan bumi adalah objek dan properti yang layak dieksploitasi. Berdasarkan cara pandang ekofeminisme, patriarki telah menyusun strategi kategori untuk menjustifikasi eksploitasi yang berada dalam posisi akhir sebagai objek yang boleh dengan arbiter dan semena-mena diekploitasi, diatur, dan ditarik profit darinya. Upaya politisasi tubuh perempuan secara khusus pada kebijakan politisasi tubuh perempuan dan korelasinya dengan perspektif ekofeminisme. Politisasi ini berkaitan pula dengan upaya perlawanan perempuan melalui pendekatan alam. Politisasi tubuh perempuan ialah tentang pengendalian atas seksualitas perempuan yang menjadi signifikan, karena tubuh perempuan yang berdekatan dan bersentuhan langsung dengan yang lain. Kapitalisasi tubuh perempuan dan reduksi alam terjadi secara bersamaan, sebagai upaya peneguhan dominasi kuasa. Kapitalisasi tubuh perempuan yang bukan hanya dilihat sebagai makhluk hidup tetapi lebih dilihat sebagai sumber kapital dan komoditas serta fundamental investasi.
Oleh sebab itu, keniscayaan timbulnya sikap materialisme dalam diri perempuan menjadi sangat mungkin muncul ke permukaan di tengah hegemoni paradigma masyarakat Indonesia yang mengarah dari materialisme—pragmatisme yang diprakarsai oleh kapitalisme sebagai sebuah cara pandang baru manusia kekinian. Apalagi kebutuhan ekonomi yang semakin didesak sedangkan perempuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terdiri dari beberapa materi yang tidak bisa untuk dielakkan sehingga jika tidak dibentengi dengan sikap dan strategi yang dilakukan oleh Maryam. Perempuan masa kini akan terjerumus dalam kubangan kapitalisme yang semakin menjadi virus paling kejam dalam psikologi perempuan.
Bagi guru, nalar adalah latihan intelektual untuk mengembangkan akal budi anak didik. Bagi advokat, nalar adalah cara membela dan menyanggah kesaksian. Bagai ekonom, nalar adalah sarana membagi sumber daya untuk meningkatkan efisiensi, daya guna, dan kemakmuran. Nalar bagi seorang ilmuwan adalah metode merancang percobaan untuk memeriksa hipotesis. Nalar berkembang dari kemampuan bereaksi secara memadai terhadap situasi sosial yang kompleks dan selalu berubah—di dalam suatu lingkungan dimana keselamatan diri tergantung pada kehidupan seseorang di dalam kelompok.[1] Kisah Maryam yang akan dikontektualisasikan pada kehidupan era digital merupakan metode merancang percobaan dari hipotesis beberapa kasus eksploitasi emansipasi perempuan yang banyak digunakan dan disalahgunakan oleh perempuan masa kini untuk mengembangkan nalar materialisme dan kapitalisme dalam dirinya. Jika dibiarkan nalar materialisme akan semakin menjadi racun yang perlahan demi perlahan menghacurkan diri perempuan dalam kebobrokan moral yang semakin merajalela.
Kontekstualisasi Kisah Maryam dalam Membentuk Karakter Perempuan
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya : Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
Sayyidah Maryam merupakan salah satunya wanita yang diabadikan namanya di dalam kitab suci Al-Quran. Bahkan, salah satu surat dalam Alquran ada yang dinamai dengan surah Maryam, yaitu surat yang ke-19. Allah tidak menyebut nama Maryam dalam kitabnya sama sekali selain menyebut Maryam bin Imran. Alah menyebut namanya sekitar 30 kali. Hikmahnya, sebagaimana tutur para ulama adalah bahwa para raja dan orang-orang elit kala itu tidak pernah menyebut nama istrinya di depan publik. Akan tetapi, menyebutnya dengan ungkapan nama pasangan, ibu dan keluarga raja dan lain sebagainya. Berbeda ketika bersikap terhadap budak. Mereka tidak akan merahasiakan identitas budaknya dan tidak segan segan menyebut namanya di depan umum. Ketika orang Nasrani mengatakan bahwa Maryam adalah istri tuhan dan Isa anak tuhan, maka Allah terang-terangan menyebut nama Maryam. Allah tidak menamainya dengan budak Allah atau hamba Allah.
Pertama, kontekstualisasi yang perlu menjadi refleksi kepada perempuan kekinian adalah perempuan harus diberdayakan ketika sudah ditinggalkan oleh orang tuanya dan harus mendapatkan pelayanan yang layak dalam pendidikan dan spiritualitasnya, sebagaimana ketika Maryam diasuh oleh Nabi Zakariya. Di zaman modernisasi ini, banyak orang tua yang seringkali abai terhadap anak-anaknya sehingga ia memondokkannya ke pesantren. Dengan segala karakter anak-anak di tengah-tengah masyarakat, maka pesantren berhasil menjadi incubator dalam pembentukan moral dan karakter anak bangsa dari segala bentuk ancaman degradasi moral dari pengaruh kapitalisme.
Tidak heran kemudian, jika Pondok Pesantren yang dihuni santri sebagai institusi pendidikannya memang lahir dan dibesarkan di lingkungan masyarakat. Pondok pesantren tidak bisa dilepaskan dari masyarakat. Lembaga ini mempunyai haluan: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Pondok Pesantren juga melibatkan diri sebagai bagian masyarakat dalam pengertiannya yang transformatif. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian social—yang pada mulanya—ditekankan pada pembentukan moral keagamaan kemudian dikembangkan kepada rintisan-rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.
Dalam kisah Maryam, ia memang dibentuk dalam sebuah mihrab. Pengertian Mihrab dalam konteks bangsa Arab adalah sebuah tempat ibadah. Akan tetapi, jika mihrab ini dianalogikan sebagai masjid di Indonesia, maka hal tersebut tidak pas. Sebab, wanita yang mengalami haid tidak bisa berdiam di dalamnya. Untuk itulah, kontekstualisasi dari kata tersebut yang sesuai dengan budaya Indonesia adalah pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang masih bertahan dengan nilai-nilai humanisme yang multikultural hingga hari ini. Pesantren adalah Institusi Pendidikan Islam asli Indonesia yang masih bertahan di tengah pertarungan kultur. Peran pesantren menjadi hal yang urgen dalam membentuk pemuda yang berkualitas dalam hal apapun. Hal ini tentu tidak lepas dari misi pesantren sebagai pendidikan umat secara umum, dengan cara mendidik para generasi muda untuk menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan berkualitas dalam bidang apapun. Juga mendidik secara Islami yang tidak saja mampu untuk meloloskan dirinya dari kebodohan dan keprimitifan. Akan tetapi, bisa menjalankan misi amar ma’ruf nahi munkar. Maka sangat layak jika pendidikan moral perempuan ditempa di pesantren karena pesantren memiliki akar sejarah yang kuat dengan bangsa Indonesia. Pendidikan yang tepat untuk pemberdayaan perempuan hari ini adalah pesantren. Selain, menjadi tempat untuk mengontrol ibadah sebagai poros pendidikan, pesantren menjadi “lahan” untuk mengembangkan perempuan menjadi subur. Beribadah, bersyukur, bersujud, berdoa, serta akses pendidikan dan pemberdayaan yang berkesinambungan adalah sesuatu yang harus tangani di era digital ini di tengah kepungan kapitalisme global yang semakin bergerak dengan meluas.
Dalam ayat tersebut, ketika Maryam menjawab dengan “Makanan itu dari sisi Allah” dengan meletakkan dhamir huwa berimplikasi dalam sikap Maryam. Secara kajian linguistik, kata huwa adalah dhamir (kata ganti) yang menunjukkan kembali kepada rizqan (rezeki). Huwa menunjukkan mufrad muzdakkar ghaib menandakan bahwa rezeki atau materi itu adalah sesuatu yang tidak terlibat (yang terabaikan) dalam pembicarannya kepada Zakariya. Karena ia memposisikan materi sebagai sesuatu yang tidak ada dalam sanubarinya. Itulah alasan kenapa ia tidak menggunakan isim isyarah (kata tunjuk) hadzihi yang bermakna ini. Dari hal ini, Maryam dalam jiwanya, sebenarnya tidak tersimpan materialisme yang mengakar dalam diri kebanyakan perempuan hari ini. Fakhruddin Ar-Razi melegitimasi sebagai pribadi yang asketis. Secara tidak langsung, Allah sebenarnya menjadikan rezeki tersebut atas orang-orang mukmin yang suka berinfaq. Konklusinya, Maryam sebenarnya adalah pribadi yang dermawan.
Oleh sebab itu, pemberdayaan sikap moral keagaman semacam zuhud dalam diri sangat memungkinkan diajarkan di pesantren. Selain sebagai lembaga pemberdayaan terhadap perempuan, pesantren menjadi solusi yang aman dari gempuran budaya budaya barat yang merasuk melalui agitasi kapitalisme yang tanpa disadari telah merongrong moral kaum perempuan.
-Abdul Warits, nama pena dari Abd. Warits. Lahir di desa Grujugan, Gapura, Sumenep, Madura, 07 Maret 1997. Alamat Jalan Raya Gapura Dusun Karang Pao Musala Darul Hasan RT 20 RW 06 Grujugan Gapura Sumenep 69472. Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk. Tulisannya dimuat di koran Kabar Madura, Radar Madura, Harian Bhirawa, Analisa, dsb. Puisinya termaktub dalam beberapa buku antologi bersama diantaranya; Kepada Douwes Dekker (Multatuli Fest, 2018), Pesan Damai, Aisyah, Maria, Dan Xi king (IAIN Purwokerto : 2019), Gelombang Puisi Maritim, Puisi Qur’ani, Requiem tiada henti, Yang berlari dalam kenangan (Persi: 2019) Kelulus (Persi : 2017). Beberapa kali Memenangkan perlombaan : Juara harapan I Lomba Cipta Cerpen Remaja Balai Bahasa Jawa Timur 2019, Juara II Cipta Puisi Dinas Kepustakaan dan Kearsipan Kabupaten Sumenep 2019.