Oleh: Tjahjono Widarmanto
Agama atau religi menjadi sumber dan ambang pintu dari kesusastraan agung dunia. Sebenarnya istilah religiusitas, pemahamannya lebih luas dari agama. Religiusitas ditafsirkan sebagai rasa ketuhanan, yang mengacu pada naluri manusia untuk bertuhan. Naluri untuk bertuhan itulah yang membawa manusia untuk merasuki agama tertentu. Rasa religi atau religiusitas adalah gerbang atau dorongan menuju atau mencari agama, oleh karena itu religi acapkali disamaartikan atau diasosiakan dengan istilah agama.
Perjumpaan sastra dengan religiusitas sangat mungkin terjadi karena secara naluriah, manusia memiliki keinginan berinteraksi dengan Tuhan. Berkaitan dengan naluri manusia untuk berinteraksi dengan Tuhan, Thosihiko Izutsu mengatakan bahwa tuhan dan manusia memiliki relasi yang khusus. Relasi ini tak terjadi secara sederhana dan tak juga unilateral tapi bersifat ganda, kompleks, bilateral dan timbal balik.
Relasi tuhan dan manusia ini oleh Izutsu dikategorikan dalam empat tipe. Tipe pertama, adalah relasi ontologis yaitu memposisikan tuhan sebagai sumber eksistensi manusia dan manusia sebagai representasi yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Tipe kedua, adalah relasi komunikasi yang berarti Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat dan akrab satu sama lain. Tipe ketiga adalah relasi Tuhan-hamba. Relasi ini melibatkan Tuhan sebaga Tuan (Rabb), dan mendudukkan manusia sebagai hamba (abd). Tipe terakhir atau keempat adalah relasi etik yang menggambarkan ada kontradiktif dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu ada perasaan gentar dan takut terhadap Tuhan sekaligus merindukan kasih sayang sekaligus syukur kepada Tuhan. Rudolf Otto mengistilahkan sebagai mysterium tremendum atau misteri yang menakutkan sekaligus misteri yang menakjubkan (mysterium fascinosum) penuh rasa cinta dan kasih sayang.
- Iklan -
Dalam situasi seperti di ataslah, kesusastraan dapat menjadi wadah dan wujud ekspresi manusia dalam mengungkapkan ‘hubungan keterikatan manusia dengan Tuhannya’, dapat sebagai alat ekspresi perasaan ketuhanan manusia. Susastra menjadi alat ekspresi yang tepat dalam mencitrakan eksistensi manusia yang tak bisa lepas dari Tuhannya. Susastra menjadi wadah yang ampuh untuk menggambarkan dimensi manusia secara utuh sebagai mahluk yang vertikal sekaligus horizontal. Oleh karena itu agama atau religi menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi keberadaan kesusastraan.
Berkaitan dengan persentuhan teligiusitas dan kesusastraan, Edgar de Bruyne menegaskan bahwa yang diungkapkan seorang sastrawan pasti berkaitan dengan dengan kehidupan dalam arti kekal dan membuka nilai-nilai luhur. Salah satu dari nilai luhur yang diisyaratkan Edgar de Bruyne itu adalah religi. Religi merupakan nilai luhur yang muncul dari pengalaman batiniah yang amat personal namun universal yang selalu menggoda sastrawan untuk mengungkapkannya dalam karya, sehingga para pembaca dapat menghayati nilai luhur tersebut.
Keterpautan religi dengan kesusastraan jauh-jauh hari pun sudah ditunjukkan oleh TS.Elliot. TS.Elliot mengungkapkan adanya tiga wujud keterpautan sastra dengan religi yaitu pertama,sastra religi yang dianalogikan pada sumber kitab suci tertentu. Kedua, sastra religi yang lahir dari kesadaran ‘berTuhan”, yang tidak mengacu pada satu ajaran agama yang lebih bersifat universal. Yang ketiga, sastra religi yang ditulis untuk kepentingan penyebaran agama tertentu.
Di Eropa, pertumbuhan kesusastraannya pun tak luput dari perjumpaannya dengan agama. Sentuhan agama Nasrani sangat mempengaruhi corak dan warna kesusastraan Eropa, mulai zaman Reinaisance hingga paling mutakhir. Bahkan secara nyata, reformasi gereja oleh Marthin Luther mengilhami terciptanya teks-teks sastra yang merupakan penggalian, penafsiran, dan perwujudan baru dari narasi-narasi Bibel.
Di Hindia, ajaran agama Hindu menjadi magnet kuat yang mengilhami dan mengobsesi para sastrawan mulai dari zaman klasik para Empu hingga para sastrawan modernnya. Keberadaan epos Ramayana, karya Walmiki dan epos Mahabarata, karya Wiyasa di era klasik sastra Hindia jelas-jelas terpengaruhi ajaran Hindu tentang dharma, cinta, dan pengorbanan. Di era modern sastra Hindia, seperti karya-karya Rabindanarth Tagore, Khrisnamurti, Mahatma Gandhi hingga Arundhati Roy merupakan karya sastra yang terinspirasi oleh adanya agama Hindu.
Islam pun sangat mewarnai kesusastraan dunia, utamanya ketika munculnya tiga dorongan atau motivasi yang memunculkan sastra Islam sebagai genre yang spesifik. Tiga motivasi tersebut ialah, yang pertama ada gairah syiar atau dakwah Islam melalui kesusastraan. Motivasi ini melahirkan sastra dakwah yang memang lebih mementingkan isi dan misi penyebarluasan agama sehingga mengabaikan estetika. Kedua, munculnya motivasi atau semangat untuk menyebarkan nilai-nilai Islam walau tidak terjebak dalam bingkai sastra dakwah. Ini berarti nilai-nilai Islam disampaikan secara implisit atau tersamar dengan membungkusnya dengan balutan estetika. Yang ketiga, munculnya motivasi atau dorongan personal untuk menuliskan pengalaman ketuhanan (dalam bingkai Islam) atau rasa rindu pada Allah melalui karya sastra.
Motivasi ketiga inilah yang bisa kita lihat pada fenomena kemunculan sastra sufistik. Sastra sufistik bahkan pada perkembangannya menjadi referensi dunia. Sastra sufistik dianggap sebagai sastra dunia sekaligus mewarnai dan menginspirasi karya-karya sastra di berbagai negara itu, misalnya, karya-karya Rabiah Al Adawiah, Jalaluddin Rummi, Fariid Attar, Omar Khayam, Faiddudin Assa, dan sebagainya.
Sastra sufi pertama kali ditulis oleh para penyair sufistik yang menempuh jalan tasawuf. Pada awal perkembangannya, sastra sufi ditulis dalam genre puisi karena terilhami Al Quran yang diturunkan dengan bahasa yang indah, kaya akan simbol dan penuh pandangan yang menakjubkan.
Ada empat pandangan dalam tasawuf yang mempengaruhi para penyair sufistik. Yang pertama,adalah konsep “ma arafa nafsahu fagad, arra a rabbahu” yang bermakna “jika manusia mengenal dirinya, maka ia dapat mengenal Tuhannya.Pandangan ini bisa diamati pada baris-baris puisi Rummi:…//Oh, Yang Maha Agung/dariMu air surut ini berasal/..dari sumber yang sama..//.
Pandangan kedua, adanya keterkaitan antara manusia dan alam semesta; “al-kaunu insanun kabirun, wal insani kaunu shogirun” yang artinya alam semesta adalah manusia besar dan manusia adalah alam semesta kecil. Bagi kaum sufi, manusia dan alam semesta adalah perwujudan kuasa Allah dengan segala sifatNya. Ketiga, pandangan bahwa Allah dekat sekali dengan manusia, Allah berada diurat nadinya yang dideskripsikan sebagai “dzat yang tak bisa dibayangkan, dekat tanpa bersentuhan”. Pandangan ini jelas sekali tergambar dalam baris-baris puisi Rummi:…//dari tubuh Kau jauh/tapi dalam hatiku/ada jendela menghadapmu/lewat rahasia jendela itu/…kukirim pesan kepadaMu/.
Pandangan keempat, memiliki tujuan dan fokus pada menggapai kecintaan dan kerinduannya (mahaban, isyiq). Yang terakhir, kaum sufi mempunyai konsep bahwa kematian bukan sesuatu yang indah, namun sesuatu yang indah, agung, sakral, jembatan penghubung untuk bertemu dengan Allah yang dirindukannya: mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil/kehidupan, kematian menjadi sangat manis./selama aku bersamaMu, kematian bahkan lebih manis/dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri…//
Kehadiran sastra sufi dalam konstelasi sastra dunia menambah bukti bahwa terdapat perjumpaan bahkan persentuhan yang mesra antara sastra dan religuisitas. Tentunya menarik untuk mengamati bagaimana wujud dan bentuk pertemuan susastra dan religi di masa depan. Apalagi dalam abad digital ini ada kecenderungan manusia makin abai dengan perasaan religiusitasnya, sedang di sisi yang lain sastra sebagai seni sekaligus sistem nilai selalu mencoba tampil dengan cara dan cirinya sendiri.
*) Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi. Buku puisinya di antaranya adalah: Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018), dan Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019).