Oleh Dini Salamah
“Mencerdaskan kehidupan bangsa” begitulah bunyi dari slogan tujuan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 alenia ke IV. Namun apa kabar dengan nasib pendidikan di Indonesia saat ini?
Angka pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan data Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia mencapai 272,23 juta jiwa pada juni 2021. Berdasarkan jenjang pendidikannya, angka tamat Sekolah Dasar (SD) berjumlah 64,84 juta jiwa atau sekitar (23,82%). Belum tamat SD berjumlah 31 juta jiwa atau sekitar (11,39%). Sedangkan yang belum/ tidak sekolah sebanyak 63,49 juta jiwa atau sekitar (23,32% ) (databoks.katadata.co.id, 30/06/2022).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia? dan nampaknya kebijakan pemerintah tidak berjalan dengan mulus. Selain di sebabkan karena faktor ekonomi, faktor utama penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah Model dari Pendidikan/ pembelajaran di Indonesia itu sendiri. Pendidikan di Indonesia terkesan kaku, monoton, serta membosankan. Hal ini diperparah dengan menjadikan nilai sebagai tolak ukur kecerdasan siswa. Jika hal ini terus terjadi dan tanpa adanya perubahan, maka sistem pendidikan di Indonesia akan selalu rendah, terbelakang dan yang pasti tertinggal.
- Iklan -
Dilansir dari Kompas.com, Hasil skor kemampuan baca siswa Indonesia dalam Programme For International Student Assessment (PISA) 2018 yang diumumkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan bahwa Indonesia berada di nomor urut 72 dari 78 negara dengan perolehan skor 371. Hal ini tentu menjadi suatu kondisi yang memprihatinkan. Ironis memang, kita hidup dinegara yang kaya akan sumber daya alamnya, namun masih terbelakang khususnya dalam bidang pendidikan.
Dalam mengatasi problem di atas, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengeluarkan sebuah kebijakan baru yang dicanangkan untuk merubah Sistem Pendidikan di Indonesia yang telah terbelenggu. Kebijakan baru yang dicanangkan oleh Nadiem ini dikenal dengan istilah Merdeka Belajar.
Nadiem Makarim mengartikan Merdeka Belajar ialah sekolah, murid, maupun guru memiliki kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri dan kreatif. Kebijakan merdeka mengajar ini memberikan pelayanan kemerdekaan bagi setiap unit pendidikan maupun satuan pendidikan untuk berinovasi, mandiri serta lebih kreatif yang disesuaikan dengan kearifan budaya, lokal, sosio-ekonomi, maupun infrastruktur masing-masing lembaga.
Merdeka Belajar bukan berarti kita bebas untuk mau belajar atau tidak belajar. Merdeka Belajar disini bermakna kemerekaan dalam berpikir. Sementara itu, esensi kemerdekaan berfikir ini terutama harus ada pada guru. Ibaratnya, jika para guru belum memiliki kemerdekaan dalam berfikir, lalu bagaimana peserta didik bisa merdeka berfikir? Dan tanpa adanya merdeka berfikir maka tidak akan tercipta pula konsep Merdeka Belajar.
Konsep Merdeka Belajar sendiri sangatlah berbeda dengan kurikulum yang digunakan oleh pendidikan formal di Indonesia sebelumnya. Konsep merdeka belajar cenderung memiliki kurikulum yang fleksible serta mudah dipahami. Lalu, bagaimana peran maupun implikasi guru, orangtua, maupun pelaku pendidikan dalam mewujudkan merdeka belajar? Mereka berperan sebagai fasilitator. Caranya? Dengan metode-metode, pendekatan serta menggunakan media pembelajaran yang terbukti efektif dan menyenangkan bagi anak.
Merdeka Belajar memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sebebas-bebasnya dan senyaman-nyamannya yang disesuaikan dengan minat dan bakat individual sang anak tanpa adanya beban, stres, maupun tekanan dari pihak manapun. Seperti anak di berikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang mereka sukai.
Contoh lain misalnya seorang anak memiliki kelebihan dalam bidang Non akademik dan kurang pandai di bidang Akademik. Dalam menyikapi hal ini, Merdeka Belajar berfungsi untuk memberikan kebebasan pada sang anak untuk memfocuskan dirinya sesuai bakat yang dimiliki sang anak, yaitu bakat di bidang non akademik. Disini anak tidak boleh dipaksa untuk mempelajari lebih mendalam khususnya bidang akademik, yang sudah terbukti kontra akan minat, bakat, serta hobi yang ia miliki.
Pada hakikatnya, anak adalah seorang pribadi yang unik. Setiap anak memiliki keistimewaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, seorang guru harus mampu menjadi teman belajar yang menyenangkan bagi anak didik. Agar proses belajar anak benar-benar atas kesadarannya dan merdeka atas pilihannya sendiri. Karena jika anak yang belajar mengenai hal yang ia gemari, maka anak akan merasa senang. Dengan begitu, dalam kondisi yang menyenangkan ini diyakini memberikan dampak positif pada anak dalam membangun kecintaan pada belajar, mewujudkan ketahanan belajar serta akan terwujud Merdeka Belajar.
Dengan hadirnya slogan Merdeka Belajar menjadi sebuah kunci untuk memerdekakan, memajukan serta membebaskan generasi masa depan, generasi penerus bangsa dari lembah kebodohan. “Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada Anda (guru). Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia” ujar Nadiem.
Merdeka Belajar bisa dijadikan solusi untuk memperbaiki serta menata ulang kembali sistem pendidikan yag ada di Indonesia, sebab dalam merdeka belajar kebijakan dirancang berdasarkan keinginan dan memprioritaskan kebutuhan siswa. Sebagai cara mengimplementasikan hal ini, Nadiem Makarim meminta para guru di sekolah untuk merancang metode pembelajaran berbasis proyek yang bertujuan untuk memacu kreativitas para siswa. Sementara itu Program Merdeka Belajar juga menjadi kunci untuk memajukan serta membebaskan generasi masa depan, generasi penerus bangsa dari lembah kebodohan.
-Mahasiswi Prodi Pendidikan Islam Anak Usia Dini Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung