Oleh: Ashimuddin Musa
Disadari atau tidak, dan diakui atau tidak, bahwa kita telah hidup di era kemajuan. Orang-orang menamainya dengan istilah milenial. Pada era ini segala sesuatu mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan itu direspon sedemikian rupa oleh setiap individu ataupun oleh institusi, sehingga dari respon tersebut melahirkan liberalisasi informasi.
Tulisan KH. Professor Abdul A’la, pengasuh pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur, dalam sebuah karyanya tersebut, Ijtihad Islam Nusantara, sedikit mengkhawatirkan kondisi kehidupan bangsa, apalagi yang menyebut dirinya milenial, apabila globalitas yang didukung oleh teknologi informasi yang dibingkai dengan neoliberalisme kapitalistik akan menimbulkan persoalan semakin runyam dengan melahirkan liberalisasi informasi. Oleh karena itu, diperlukannya respon dari para guru, ulama maupun praktisi dan para ahli.
Memang sebelumnya, Alvin Toffler sudah pernah mencoba menghadirkan beberapa pandangannya seputar persoalan ini. Dalam artikelnya ia menganalisis dan membagi era kemanusiaan atas tiga masa: era masyarakat agraris, era masyarakat industri, dan terakhir adalah era masyarakat informasi. Terlepas benar tidaknya validitas penelitian itu, tampaknya fenomena kehidupan kita membenarkan pandangan tersebut.
- Iklan -
Kalau boleh dikata, era teknologi informasi saat ini–terlepas teman-teman pembaca setuju atau tidak–disamping memiliki potensi positif ia juga menjadi tantangan. Prof Anthon F. Susanto (2019: 36) menyebutnya sebagai berkah, di sisi lain juga kutukan.
Prof Azyumardi Azra mengutarakan, timbulnya kekacaubalauan (disruption), ketidakjelasan tempat berpijak (dislocation) dan ketidakjelasan arah yang ditujukan (disorientation) muncul sejak era teknologi informasi digital. Para pakar dan ahli menyebutkan, inilah yang disebut dengan era revolusi keempat tersebut, atau bahasa kontemporernya adalah revolusi industri 0.4. Prof Azyumardi Azra menyebutnya menjadi tantangan besar karena teknologi informasi digital ini mengandung perubahan yang cukup cepat dan sulit diperkirakan.
Demikian juga turut memberikan komentar mengenai lompatan perubahan yang cukup dahsyat ini, yakni Prof Abuddin Nata. Sebenarnya, Prof Abuddin Nata hanya menjelaskan ulang pandangan Prof Azyumardi Azra tentang ketiga faktor yang menjadi tantangan bagi masyarakat milenial yang meliputi disruption, dislocation dan disorientation tersebut.
Seperti dijelaskan beliau bahwa masyarakat suatu waktu akan menghadapi tantangan berupa hilangnya peran dan kedudukan seseorang pada situasi posisi, atau suatu keadaan di mana manusia merasa kesulitan untuk menempatkan peran, fungsi dan kedudukannya di masyarakat.
Dan, ini sudah benar-benar terjadi di masyarakat, di mana salah satu tokoh satu dengan yang lain diadudomba sehingga banyak daripada tokoh tersebut kehilangan perannya di tengah-tengah masyarakat tersebut. Guru kita–semoga ini merupakan ujian terakhir yang akan menimpa guru kita, dan tidak akan terulang kembali–Abuya Dr. Arrazy Hasyim, misalnya, yang diuji dengan berbagai macam tuduhan yang dibuat-buat oleh seseorang atau kelompok tertentu yang tidak suka dengan gerakan dakwah beliau, yang kebenarannya masih perlu dipertanyakan lagi.
Lucunya lagi orang-orang awam yang tidak tahu apa-apa juga ikut-ikutan menggunakan jarinya men-share, like and comment. Mereka secara tidak langsung telah menjadi korban penelanjangan dari media yang seharusnya dibungkus dengan kode etik dan kejujuran saat bermedia sosial. Kejadian yang demikian sebenarnya telah diprediksikan oleh Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Organisasi Terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama. Hadratus Syekh selalu mengingatkan agar bergabung dengan menjadi satu rumah yang baik, yaitu NU. Berikut ini pesan-pesan beliau yang disampaikan ulang oleh salah satu murid pertama Hadratus Syekh, yaitu KH. Hasyim Latif:
“Kiai Hasyim selalu mengingatkan kita agar bersatu dalam rumah yang baik ini, yaitu NU. Kita harus bertanya kepada guru-guru yang sedari dulu mengajari kita apa itu ilmu dan pentingnya ilmu. Bukan malah berguru kepada orang baru yang sedikit-sedikit berbicara kembali pada Al-Quran dan hadis. Padahal, perbuatan mereka belum tentu mencerminkan apa yang disampaikan. Dengan demikian, bertambah besarlah bayangan-bayangan sehingga orang-orang yang tidak menerima taufik dan hidayah Allah akan tertarik oleh gerakan mereka”, dalam buku karya KH Hasyim Latif (2019: 20).
Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu Allah SWT lindungi dari segala bentuk kejahatan tindakan, pemikiran, baik disengaja maupun tidak. Semoga Allah senantiasa menjaga guru-guru kita, ulama-ulama kita dari fitnah. Selamatkan mereka dari kejahatan adudomba oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sempit. Jadikanlah negara kita negara yang diridhai. Amin.
-Santri Motivator Qur’an Bogor, Pernah belajar di UIN Jakarta