Oleh Akhmad Idris
Menengok Dua Sisi Nikah Siri
Nikah siri memang bukan masalah baru di bumi pertiwi. Baru-baru ini juga sempat beredar kabar-kabar burung yang menggemparkan tentang nikah siri sepasang artis yang sedang naik daun.
Sejak dulu fenomena nikah secara sembunyi-sembunyi ini telah dilakukan dengan dalih berbagai alasan. Mulai dari alasan ekonomi yang pas-pasan hingga menghindari perzinaan.
- Iklan -
Agaknya sejak dulu manusia memang terlalu pandai mencari alasan hingga batas antara aspek kemanfaatan dan kezaliman benar-benar semakin tidak kelihatan. Di Indonesia sendiri, pandangan tentang hukum nikah siri tidak menganut satu hukum yang pasti.
Satu sisi menganggap sah-sah saja asalkan syarat dan rukun nikah terpenuhi. Sementara di sisi yang lain, nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi menyalahi ajaran Sang Nabi karena Nabi Muhammad memerintahkan untuk meramaikan pernikahan.
Lalu, bagaimana pandangan Imam Mazhab mengenai nikah siri? Atau sebelum mengetahui pandangan Imam Mazhab, sebenarnya bagaimanakah potret sejarah nikah siri pada masa Sahabat?
Sejarah dan Makna Nikah Siri
Menurut Imam Malik dalam karya fenomenalnya al-Muwatho’, disebutkan bahwa istilah siri diperoleh dari ungkapan Khalifah Umar bin Khattab ketika menanggapi peristiwa perkawinan yang hanya dihadiri oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Menyikapi masalah ini, Khalifah Umar bin Khattab seketika berkata, “Ini namanya nikah siri dan aku tidak memperbolehkannya. Seandainya saja aku datang/hadir di sana, maka aku akan merajam para pelakunya.”
Berdasarkan kasus di atas, istilah nikah siri bagi Khalifah Umar bin Khattab adalah pernikahan yang aspek masalah saksi belum terpenuhi. Oleh sebab itu, nikah siri dilarang keras oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Lalu, seiring dengan perkembangan masyarakat Islam, nikah siri tak lagi nikah yang kekurangan saksi maupun wali, tetapi pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan tidak melibatkan pihak luar sedikit pun kecuali keluarga kedua mempelai yang bersangkutan. Pernikahan ini sekaligus tidak didaftarkan secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, sehingga pernikahan ini tidak memiliki legalitas formal dalam hukum positif di negara ini.
Pengertian nikah siri seperti inilah yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Mengenai nikah siri versi Khalifah Umar bin Khattab, Imam Abu Hanifah; Imam Malik; dan Imam Syafi’i sepakat bahwa pernikahan semacam ini tidak sah karena belum memenuhi syarat sah pernikahan.
Sementara untuk pengertian nikah siri yang berkembang dalam masyarakat Islam seperti saat ini, Imam Mazhab memiliki perbedaan pendapat terkait masalah perintah Nabi Muhammad untuk mengumumkan sebuah pepelakunya
Meramaikan Pernikahan
Di dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i nomor 3316, disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda: “Pemisah antara halal dan haram adalah (tabuhan) rebana dan suara (tidak sembunyi-sembunyi) dalam pernikahan.” Menilik ungkapan Nabi Muhammad saw. di atas, ditunjukkan bahwa pernikahan memang sudah seyogianya disebarluaskan atau diumumkan lewat tabuhan rebana dan berita sebagai pembeda antara (nikah) yang halal dan yang haram.
Penyebarluasan berita pernikahan juga didukung oleh hadis sahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: “Rayakanlah (pernikahanmu) dengan walimah walau hanya dengan seekor kambing!”
Dua hadis dengan derajat sahih di atas kian menegaskan urgensi dari mengumumkan atau meramaikan pernikahan yang pada dasarnya bertolak belakang dengan makna dari nikah siri.
Nabi Muhammad memerintahkan untuk meramaikan sebuah pernikahan, sedangkan nikah siri memang secara sengaja ingin merahasiakan sebuah pernikahan.
Akhirnya, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i memberikan batasan hukum yang cukup jelas mengenai fenomena nikah siri.
Secara umum, Imam Malik memandang nikah siri sebagai pernikahan yang tidak sah karena syarat mutlak sebuah pernikahan adalah pengumuman (i’lan) dan itu tidak terpenuhi dalam nikah ssiri
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Imam Malik, bahwa nikah siri itu tetap sah karena unsur pengumuman (i’lan) sudah terkandung di dalam saksi.
Bagi Imam Malik, di dalam nikah siri, keberadaan saksi hanya sekadar pelengkap untuk ‘mengakali’ syarat sah pernikahan. Sementara pernikahan yang dihadiri saksi tetapi saksi diminta untuk merahasiakannya oleh sang wali adalah pernikahan yang tidak memenuhi syarat.
Hal ini sama saja menyalahi perintah dari Nabi Muhammad saw. Berbeda dengan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, nikah siri bagi Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tidak bisa dikatakan nikah yang ‘sembunyi-sembunyi’. Hal ini disebabkan oleh asumsi dasar bahwa fungsi saksi itu sendiri sudah termasuk sebagai bentuk pengumuman (i’lan).
Oleh sebab itu, jika telah disaksikan oleh dua saksi laki-laki yang adil, tidak membutuhkan lagi ada pengumuman secara khusus karena hal yang telah diketahui oleh beberapa orang (wali, saksi, calon pengantin, dan beberapa orang dari pihak keluarga) tak bisa lagi disebut sebagai rahasia atau siri.
Berdasarkan dua sudut pandang di atas (antara yang mengesahkan nikah siri dan membatalkan nikah siri), ditunjukkan bahwa sejatinya nikah siri lebih berkaitan dengan fungsi saksi di dalam pernikahan.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa saksi memiliki fungsi i’lan dan syuhr (memberikan pengumuman) kepada masyarakat bahwa memang telah benar-benar dilakukan pernikahan. Jika dipandang secara hukum Islam, nikah siri dapat dianggap sah (ketika menganut mazhab Imam Syafi’i dan Imam Hanafi) dan fasakh (ketika menganut mazhab Imam Maliki).
Pertanyaan selanjutnya: jika nikah siri itu sah, mengapa nikah siri tidak dilindungi oleh undang-undang? Bahkan kebijakan pemerintah mengharuskan setiap warga negaranya untuk melangsungkan pernikahan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
***
Nikah Siri Memang Sah, tapi Berdosa
Setelah membaca judul, mungkin sebagian pembaca akan bertanya-tanya: Kok bisa sesuatu yang sah bisa dianggap berdosa? Sebenarnya hal ini sederhana saja, sama halnya dengan seseorang yang sedang salat.
Ia menggunakan pakaian yang suci sekaligus wangi; menutup aurat; menghadap kiblat; semua rukun dilakukan dengan sempurna, namun sayangnya pakaian yang ia kenakan adalah baju hasil curian.
Bagaimanakah salat orang tersebut? Tentu saja salatnya sah karena telah memenuhi syarat dan rukun, namun ia tetap menanggung dosa dalam salatnya karena mengenakan baju curian.
Senada dengan seseorang yang melakukan nikah siri. Sebagaimana yang disampaikan oleh mufasir kenamaan Indonesia, Pror. Dr. Quraish Shihab, Lc., M.A. di dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat bahwa nikah di bawah tangan/nikah yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama/nikah siri memang dinilai sah oleh hukum agama, namun pernikahan jenis ini dapat memicu dosa bagi pelakunya. Dosa yang dimaksud adalah cara pelaku melanggar kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah selaku ulil amri (pemimpin).
Mencegah Korban dari Nikah Siri Lebih Diutamakan daripada Mencari Manfaat dari Nikah Siri
Selain faktor ketidakpatuhan rakyat terhadap kebijakan pemerintah, nikah siri perlu dihindari karena akan menimbulkan pelbagai dampak negatif.
Pernyataan ini mengamini bunyi kaidah fikih yang dijelaskan oleh Syekh Jalaluddin as-Suyuthi di dalam al-Asybah wa an-Nadhair fi Qawaid wa Furu’i Fiqh asy-Syafi’iyyah, bahwa menghindari bahaya lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan. Diperkuat dengan kaidah yang lain bahwa kebijakan pemerintah pada dasarnya ingin menjamin kemaslahatan rakyatnya. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah dalam menetapkan agar setiap pernikahan dilaporkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) adalah untuk menjamin hak-hak yang dimiliki oleh rakyatnya.
Jika direnungi lebih dalam, nikah siri sejatinya lebih menjanjikan banyak masalah yang akan bermunculan kemudian daripada kemaslahatan yang diidam-idamkan. Dalih menghindari zina pada akhirnya hanya akan menjelma bayangan semu, sedang segala kerugian yang datang secara perlahan adalah realitas yang tak bisa dibantah.
Dampak negatif dari nikah siri cenderung lebih dirasakan pihak perempuan sebagai seorang istri yang harus ‘terus-terusan bersembunyi’ dan pihak sang anak kelak yang juga akan mengalami tekanan secara psikologis serta sosial.
Sebagian besar pasangan yang memutuskan untuk melakukan nikah siri adalah laki-laki yang ingin melakukan poligami, tetapi tidak mendapatkan izin dari istri. Karena menikah secara resmi (terdaftar di Kantor Urusan Agama) memerlukan izin dari istri, maka nikah sirilah yang menjadi solusi.
Ketika nikah siri telah terjadi, maka sang istri siri akan menjadi istri dengan predikat ‘jarang’. Maksudnya, akan menjadi istri yang jarang diajak menemani suami ke suatu acara; menjadi istri yang jarang mendapatkan waktu bersama suami karena takut dicurigai oleh istri pertama; hingga menjadi istri yang jarang mendapatkan pelukan dan perhatian.
Tak hanya itu, secara psikologis istri siri akan hidup dengan dinaungi kekhawatiran dan kecemasan. Rasa khawatir terhadap setiap hal yang disembunyikan rapat-rapat akan tercium baunya dan rasa cemas terhadap kemungkinan terburuk jika sang suami tiba-tiba meninggalkannya begitu saja. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka tak akan ada yang bisa dilakukan oleh istri siri, sebab pernikahan secara siri tidak mendapatkan jaminan perlindungan oleh undang-undang.
Sebutan ‘pelakor’ oleh para tetangga juga akan menghantui setiap mimpi istri siri karena anggapan merebut suami orang, meskipun fakta yang sebenarnya terjadi tidak selalu seperti itu. Namun sebagian besar manusia memang cenderung malas mencari sisi baik, sebab mengorek-ngorek sisi buruk lebih menyenangkan.
Anggapan sebagai istri simpanan akan membuat istri siri kehilangan interaksi sosial. Kesehariannya lebih banyak dihabiskan di dalam rumah menunggu kunjungan suami yang tak pernah menentu, bahkan terkadang urusan belanja harus dilakukan di tempat yang jauh dari pemukiman agar terhindar dari nyinyiran para tetangga.
Jika sudah seperti ini, maka harapan dengan nikah siri akan memberikan jalan yang terang benderang justru berbalik menikam dengan jurang-jurang kegelapan yang menanti di setiap langkah kaki.
Sementara dari sisi anak hasil pernikahan secara siri akan kesulitan mendapat akta kelahiran, sebab pembuatan akta kelahiran membutuhkan akta nikah. Di sisi lain, nikah siri memang tidak mendapatkan bukti pernikahan dari negara. Nasi telah menjadi bubur. Anak sudah telanjur lahir dan segala urusan penduduk selaku warga negara tidak bisa lepas dari persyaratan administratif seperti akta kelahiran, akta nikah, hingga kartu keluarga.
Tak cukup masalah administratif, sang anak juga harus siap menghadapi tekanan secara psikologis karena kekurangan kasih sayang dari sosok ayah sekaligus tekanan secara sosial karena kesulitan berbaur dengan teman sebayanya yang selalu didampingi ayah dan ibunya.
Pertanyaan polos khas anak-anak seperti “Ayahmu ke mana? Aku tak pernah melihatnya bersamamu?” akan membuatnya minder dan terganggu secara mental.
Belum lagi jika di rumah sang ibu jarang mendapatkan uang belanja atau jika sang ayah berkunjung (dengan waktu yang sangat singkat) malah menimbulkan pertengkaran dengan ibunya, maka korban utama dari pernikahan secara siri ini adalah sang anak yang tidak tahu apa-apa sebelumnya.
Mirisnya lagi, sang suami dapat dengan bebas meninggalkan istri siri karena pernikahan yang tetap dipandang tidak sah oleh hukum negara. Suami juga tak perlu dipusingkan dengan pembagian warisan, karena secara hukum istri siri dan anaknya tidak berhak mendapatkan bagian warisan. Akhir kata, dengan pelbagai dampak yang telah disebutkan, salahkah pernyataan dalam judul bahwa “Nikah siri memang sah, tapi berdosa?”
***
AKHMAD IDRIS, Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya sekaligus penulis buku Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia.