Oleh Wahid Kurniawan
Siapa yang tak pernah membaca karya terjemahan? Saya berani bertaruh, sebagian besar dari kita pernah mengkonsumsi karya terjemahan di berbagai bidang keilmuan yang menjadi latar belakang kita. Bahkan, kita mengenal beberapa karya terjemahan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Sekian buku pelajaran dan cerita yang terhampar di rak perpustakaan banyak yang asalnya dari negeri-negeri jauh. Kita membaca buku-buku itu, kendati dengan jumlah dan minat yang beragam antara satu orang dengan orang lainnya.
- Iklan -
Di antara buku-buku itulah, buku sastra mempunyai tempat yang khusus di benak pembaca. Adapun di bidang kesusastraan, karya terjemahan pun menjadi bagian yang sama pentingnya dengan buku-buku yang lahir dari penulis berbahasa Indonesia. Selama bertahun-tahun, keberadaan karya terjemahan seperti tak menunjukkan penyurutan atas peminatnya. Kita sekarang bahkan bisa melihat, keberagaman karya yang tersebar di pasaran pun semakin bervariasi. Kalau dahulu kita melulu disuguhkan karya dari penulis-penulis Western, atau karya yang di taraf internasional telah memiliki nama besar, kini kita bisa mendapati karya dari penulis-penulis yang datangnya dari berbagai negara dan latar belakang. Kekayaan itulah yang makin memberi warna terhadap persebaran karya di sekitar kita.
Namun, sebagaimana produk budaya yang beredar di tengah-tengah masyarakat, kita tetap bisa menemukan pola persebaran karya-karya dengan topik, tema, dan latar belakang tertentu ini. Dengan sedikit repot, kita bisa memperhatikan, dalam kurun waktu dua atau tiga tahun ini terdapat kecenderungan khusus yang diambil pihak penerbit atau pelaku perbukuan di tanah air dalam menghadirkan karya-karya terjemahan yang hendak mereka terbitkan. Kita dapat melihatnya di katalog-katalog penerbit besar yang menyuplai produk mereka tidak saja di toko buku konvensional, tetapi juga di dunia maya yang kian populer sekarang ini.
Di dalam katalog-katalog tersebut, ada dua kecenderungan khusus yang tidak bisa ditampik, yakni keberadaan karya dari penulis-penulis Asia. Kendati Asia yang saya maksud bukanlah keseluruhan negara-negara Asia, melainkan hanya dua negara yang populer (Korea Selatan dan Jepang), pembahasan ini tetap menarik untuk dikaji. Sebab, semua ini menjadi bagian dari fenomena perkembangan karya sastra di tanah air.
Kalau kita cermati lebih saksama lagi, kita dapat melihat latar belakang dari pola atas fenomena ini. Satu hal yang paling kentara, menurut hemat saya, bahwa pertimbangan para pelaku perbukuan dalam menghadirkan karya-karya tersebut berhubungan dengan makin maraknya penggemar produk budaya dari dua negara itu. Karya-karya dari penulis Korea Selatan, misalnya, mereka kian digemari seiring para publik figur, aktris, aktor, dan anggota boyband serta girlband Korea yang kedapatan membaca sebuah buku tertentu.
Melihat itu, pihak penerbit melihat adanya peluang baik yang bisa diambil. Atensi masyarakat yang besar terhadap tokoh-tokoh tadi bisa menjadi pertimbangan dalam menghadirkan karya tersebut. Asumsi mereka kira-kira bisa kita simpulkan begini, “Ini buku yang dibaca artis A, loh. Bakalan menarik, nih!” Akhirnya, buku-buku tersebut pun diterbitkan dan, benar saja, kebanyakan masyarakat kita dapati menyerapnya dengan baik.
Hal serupa juga terjadi pada karya dengan tema-tema tertentu. Penerbit yang melihat peluang lain dari situasi terkini, menemukan celah yang bisa dimanfaatkan. Pandemi yang menghadirkan sekian perubahan di tengah-tengah masyarakat turut memengaruhi kondisi mental sebagian orang. Dari situ, pertimbangan dalam menyuguhkan buku-buku bertema kesehatan mental pun menjadi pilihan yang berpeluang baik.
Mereka lantas menghujani pasaran dengan buku-buku dengan topik yang berkaitan dengan tema kesehatan mental tadi. Di antara buku-buku inilah, penulis-penulis dari dua negara itu masih menunjukkan eksistensinya. Kita bisa menyebut beberapa judul yang ada, dari mulai “Aku Ingin Pulang Meski Sudah di Rumah” karya Kwon Kabin yang diterbitkan Penerbit Haru sampai “Terima Kasih Sudah Mengatakannya” karya Kim Yu-jin yang diterbitkan Shiramedia.
Satu hal lagi yang menarik, perkembangan itu pun tidak saja datang dari penerbit atau pelaku perbukuan besar. Sebab kita bisa melihat terdapat beberapa penerbit indie yang secara khusus berfokus pada penerbitan karya-karya terjemahan dengan karakternya masing-masing. Kalau di kalangan penerbit besar kita melihat Penerbit Haru yang sukses membawa karya penulis Jepang Kontemporer ke khalayak pembaca Indonesia dengan terbitan seperti novel-novel Minato Kanae (Confessions, Penance, dan Ferris Wheel at Night) dan Akiyoshi Rikako (Girls in The Dark, Schedule Suicide Day, sampai Absolute Justice), Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang hampir komplit menghadirkan karya-karya Haruki Murakami, atau Gramedia Pustaka Utama setahun ini merilis dua novel yang sedang naik daun (Convenience Store Woman karya Sayaka Murata dan Before the Coffee Gets Cold karya Toshikazu Kawaguchi); para penerbit indie atau independen menawarkan karya dengan kekhasan yang tak kalah beragamnya.
Nama-nama seperti Mori Ogai dengan karyanya “Angsa Liar” dan Kawakami Mieko dengan novel fenomenalnya “Susu dan Telur”, menjadi dua karya andalan yang dirilis Moooi Pustaka. Penerbit indie yang diperkasai penulis Eka Kurniawan ini punya misi yang menjanjikan: Menghadirkan sastra dunia ke rak bukumu. Dan, dari sekian rilisan yang sudah mereka terbitkan, dua karya dari dua penulis Jepang itu juga mendapat sambutan yang baik di pasaran.
Sementara penerbit lain, kita bisa menyebut satu penerbit dengan nama yang hampir mirip, yakni penerbit Mai. Kendati baru berdiri setahun terakhir, penerbit Mai justru menunjukkan bahwa mereka termasuk penerbit serius dengan rilisan yang patut dipertimbangkan. Fokus utama dari penerbit ini adalah karya-karya dari penulis Jepang periode awal (baca: lama), atau karya yang telah menjadi public domain. Dan di antara sekian nama ada di daftar itu, mereka telah mengenalkan beberapa seperti Dazai Osamu dengan “Manusia Menjadi Gagal”-nya, kumpulan cerita pendek berjudul “Sengkarut” dari lima penulis berbeda, dan cerita-cerita Akutagawa Ryunosuke dalam buku berjudul “Kaki Kuda dan Cerita Lain”.
Dua penerbit tadi hanya contoh saja, sebab sebenarnya, ada beberapa penerbit lain dengan corak rilisan yang hampir sama. Namun, saya perlu sekali menyebut dua nama itu sebab mereka memiliki sekian hal yang tidak dimiliki para penerbit lain yang sama-sama termasuk ke dalam penerbit independen. Lantaran diperkasai oleh orang-orang yang telah lama berkecimpung di dunia perbukuan bertahun-tahun lamanya, dua penerbit ini tahu jelas mengenai etika penerbitan yang mereka lakukan. Penerbit Moooi menjadi salah satu penerbit yang konsisten menulis nama penerjemahnya dari buku-buku yang mereka terbitkan. Selain itu, mereka secara jelas mengurus hak penerbitan atas buku-buku yang belum termasuk ke dalam kategori public domain.
Adapun penerbit Mai yang memiliki fokus pada karya-karya public domain sehingga tidak perlu dipusingkan dengan pembelian hak penerjemahan dan penerbitan, mengarahkan perhatian mereka ke penerjemah-penerjemah yang mereka ajak bekerja sama. Satu hal yang utama, semua penerjemah yang mereka ambil adalah penerjemah muda. Mereka pun secara terang-terangan pernah menyebut bahwa penerbit Mai sebagai proyek hasil belajar menerjemahkan (Dengan keseriusan).
Dengan beberapa keunikan tadi, maka mereka seperti menawarkan sesuatu yang lain ke khalayak pembaca Indonesia. Media sosial pun menjadi medium yang menjembatani interaksi mereka dengan para pembacanya. Hal ini pula yang membuat masyarakat bisa secara mudah mengakses karya-karya yang mereka tawarkan secara baik. Dan tentu, semua ini adalah angin segar bagi perkembangan persebaran karya sastra di tanah air. Sebab, kita tidak lagi disuguhkan dengan karya dari penulis yang sudah umum, atau dari penulis yang terkesan “itu-itu saja”. Oleh sebab itu, apa yang bergerak di pasaran semakin tampak lebih beragam. Sekian judul, tema, dan penulis yang tadinya hanya dapat kita angankan, sekarang telah hadir di hadapan kita, dan menanti dijemput untuk dibawa pulang.
-Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.