*)Oleh: Tjahjono Widarmanto
Perempuan mewakili separuh dari penggerak dinamika kemajuan dan peradaban. Oleh karena itu isu tentang kesetaraan gender (gender equality) selalu menjadi perbincangan utama di pelbagai negara. Apalagi sejak 2015, PBB mencanangkan kampanye global bertajuk He for She yang merupakan bentuk komitmen para pemimpin negara untuk mewujudkan representasi perempuan dalam konstelasi pembangunan dan pemajuan peradaban manusia. Kampanye global ini bertujuan melibatkan seluruh orang dewasa dan remaja untuk menghapus sekat-sekat sosial dan kultural yang berpotensi menghambat pengembangan diri dan peran perempuan. Kampanye ini pun menjadi sebuah upaya strategis untuk membangun persepsi positif terhadap program-program kesetaraan gender sehingga dapat terlibat secara aktif dalam penyuksesan program-program pembangunan.
Setiap pemangku pemerintahan di seluruh belahan dunia, pun dengan Indonesia, turut berperan aktif dalam mengampanyekan kesetaraan gender dalam berbagai sektor pembangunan. Setiap negara berupaya keras membangun komunikasi, informasi, advokasi, akomodasi, dan edukasi untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan komitmen dalam memberikan rasa aman dan pelibatan aktif kaum perempuan. Dengan upaya tersebut diharapkan setiap perempuan akan memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat seluruh bidang pembangunan.
- Iklan -
Melanjutkan kampanye global tersebut, PBB kemudian mencanangkan Tujuan Pembangunan Millenium atau Millennium Devolepment Goal/MDGs yang menitikberatkan pada pencapaian pendidikan dasar dan kesetaraan gender. Berangkat dari inilah, Indonesia juga mempunayai target untuk mendongkrak Indeks Perkembangan Pendidikan untuk Semua (Education for All Development Index (EDI) dan Indeks Kesenjangan Gender (Gender Gap Index (GGI).
UNESCO dan World Economic Forum melaporkan bahwa untuk Indeks Perkembangan Pendidikan untuk Semua (Education for All Development Index (EDI), Indonesia berada pada peringkat ke-57 dari 115 negara. Adapun Indeks Kesenjangan Gender (Gender Gap Index (GGI) di Indonesia menempati urutan ke-88 dari 142 negara dengan indeks 0.682. Kedua dokumen tersebut menunjukkan pada kedua nilai indeks tersebut masih jauh di bawah beberapa negara ASEAN lain. Hal itu berarti, kesenjangan gender dalam berbagai sektor di Indonesia masih belum mencapai yang diharapkan.
Agar kaum perempuan dapat memperoleh akses, partisipasi, kontrol, kompetensi dan manfaat dari seluruh pembangunan maka perlu digagas dan diimplementasikan pendidikan berbasis pengarusutamaan gender. Pendidikan berbasis pengarusutamaan gender bisa menjadi pintu gerbang bahkan jalan tol tercapainya kesetaraan gender. Melalui pendidikanlah nilai-nilai kesetaraan gender bisa disosialisasikan melalui integralisasi dengan mata pelajaran-mata pelajaran di berbagai tingkat pendidikan, mulai SD hingga perguruan tinggi.
Pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) adalah pendidikan yang berbasis strategi kebijakan pembangunan untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan gender bagi perempuan dan laki-laki dengan memperhatikan kebutuhan, pengalaman, dan apresiasi masing-masing. Pendidikan berbasis pengarusutamaan gender bisa menjadi strategi eliminasi bentuk diskriminasi dalam pendidikan.
Dalam realitanya, praktik diskriminasi pendidkan tak hanya disebabkan faktor kemiskinan. Masalah bias gender ternyata juga menjadi salah satu faktor penyebab diskriminasi dalam pendidikan. Bias gender merupakan kebijakan, program, keadaan atau kondisi yang merugikan salah satu pihak karena jenis kelaminnya, ketidakadilan baik dalam akses, partisipasi, kontrol dan manfaat.
Pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) akan menanamkan segala nilai yang berkaitan dengan inklusif gender (gender inclusive) yaitu segala hal yang berkaitan dengan kebijakan, program atau kondisi yang berkaitan dengan isu gender. Tak hanya itu, Pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) pun diharapkan mampu mengurangi adanya kesenjangan gender atau perlakuan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dengan melakukan analisis berbagai faktor penyebab kesenjangan gender. Melalui Pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) pula diharapkan dapat dicegah praktik kekerasan dalam gender (violence), baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan simbolik, kekerasan seksual maupun kekerasan ekonomi.
Melalui Pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) diharapkan pula terbentuk adanya pendidikan adil gender. Pendidikan adil gender adalah sebuah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan maupun laki-laki untuk mengembangkan potensi, skill, talenta dan intelektualnya. Pada gilirannya nanti, pendidikan adil gender yang merupakan buah dari pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) akan menciptakan kemampuan responsif gender yaitu berkemampuan untuk memperlakukan sensitivitas gender dalam menyusun langkah-langkah yang bermuara pada terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender.
Agar membuahkan hasil yang optimal maka pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) harus diiplementasikan pada kebijakan, program dan kegiatan yang berkesinambungan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Pelaksanaan pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) tidak harus memiliki kurikulum baru dan khusus, namun bisa integral dan menjiwai kurikulum yang ada. Penyadaran guru tentang inklusif gender perlu dilakukan. Tak hanya guru BK, namun semua guru bidang studi perlu diberi wawasan tentang kesetaraan gender. Pendidikan kesetaraan gender bisa berintegral pada semua mata pelajaran lain, sehingga tak perlu ada penambahan mata pelajaran khusus berkait kesetaraan gender.
Yang utama adalah perlunya disusun buku pelajaran yang inklusif gender sebagai sarana penting keberhasilan dan pencapaian pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Setidaknya ada tiga pelaku utama dalam penyusunan buku-buku pelajaran yang inklusif gender. Tiga pelaku utama itu adalah penulis, editor dan ilustrator. Ketiga pelaku utama tersebut harus memiliki perspektif gender. Mereka harus mempunyai pemahaman tentang konsep kesetaraan gender dan keadilan gender.
Dengan dimilikinya perspektif gender maka prinsip-prisip pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) dapat dimunculkan. Prinsip-prinsip tersebut adalah kategori inklusivitas gender, data informasi terpilah gender, bentuk-bentuk ketidakadilan gender, prinsip akses, partisipasi, kontrol dan manfaat.
Di samping tiga pelaku utama tersebut diperlukan pihak lain. Pihak lain itu adalah penerbit dan pemerintah. Penerbit menjadi komponen terpenting karena berkait dengan penyediaan dan distribusi buku kepada anak didik dan masyarakat. Diperlukan komitmen penerbit untuk menerbitkan buku-buku inklusif gender sehingga berperan aktif dalam mensosialisasikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender. Pihak lain adalah pemerintah sebagai regulator yang berperan menentukan untuk mewujudkan buku-buku inklusif gender yang akan menjadi ujung tombak pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Pihak pemerintah dalam hal ini yang paling berposisi strategis adalah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak serta Kementrian Agama.
Melaksanakan pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) memang bukan pekerjaan ringan. Diperlukan keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat luas. Dengan keterlibatan semua pihak itu dengan berbagai strategi, pendidikan berbasis pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) dapat mewujudkan pendidikan yang nondiskriminatif sehingga memperteguh dan mengokohkan kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
*) Penulis. Tinggal di Ngawi. Menulis dalam genre puisi, esai, artikel, kolom dan cerpen. Tulisan-tulisannya di publikasikan di Jawa Pos, Solo Pos, Basis,Horison, Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, SoloPos, Duta, Surabaya Post, Pikiran Rakyat, Kurung Buka.com, Cendana News, dsb. Bukunya yang telah terbit Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019, delima, sby) menjadi salah satu buku puisi terpuji HPI 2019, Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018, Basabasi:Yogyakarta) merupakan salah satubuku puisi terpuji versi HPI 2018, dan Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak ( salah satu buku puisi terbaik versi HPI 2016).