Oleh Idammatussilmi
Menjadi seorang guru harus menyiapkan mental, skills baik jasmani maupun rohani. Guru menjadi seorang panutan dan teladan bagi peserta didiknya dalam menjalankan aspek kehidupan. Guru merupakan seseorang yang bertugas memanusiakan manusia dengan memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan karakter. Dalam proses pembelajaranpun guru harus mampu memotivasi, mengispirasi, mengembangkan kapasitas dan memberikan kapabilitas utuk membentuk manusia yang bermoral dan berpendidikan dalam menghadapi dinamika sosial dan kemanjuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, guru harus menjadi pengajar yang bermutu dengan menciptakan budaya belajar yang sehat, kreatif, inovatif, dan bermakna.
Memasuki era disrupsi guru disuguhkan dengan gebrakan teknologi yang sangat mengejutkan. Guru dituntut untuk dapat mengkuti dan menggunakan teknologi digitalisasi sebagaimana tuntutan dari pemeritah dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Beberapa genjotan dalam mendorong kemajuan pendidikan terus dilakukukan salah satunya adalah peningkatan literasi. Tindakan dalam mengajarpun harus dilakukan oleh guru yang hebat dan bermutu.
Literasi menjadi sebuah akses kemajuan sebuah bangsa. Sehingga, program literasi menjadi PR terbesar bangsa khusunya bagi guru dalam mendidik anak didik bangsa. Gembar-gembor akan literasi terus digalakkan dalam ranah pendidikan seluruh penjuru bangsa. Maka di sini munculah Gerakan Literasi Sekolah atau GLS dan muncul lagi Gerakan Literasi Madrasah (GLM).
- Iklan -
Menggapi hal tersebut guru harus mampu menjadi public figure yang baik bagi peserta didik khususya dalam meningkatkan literasi pada peserta didiknya. Literasi di sini bukan hanya sekadar memebaca dan menulis, namun literasi mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber pengetahuan baik dalam bentuk cetak, visual, digital dan auditori (Kemdikbud 2017:1). Kebanyakan pemahaman guru akan literasi yaitu mebaca atau fokus pada pelajaran bahasa Indonesaia saja. Namun pada kenyataanya, literasi bukan hanya merujuk pada bahasa Indonesia yang meliputi literasi memebaca, namun literasi juga meliputi; literasi sains, literasi sastra, literasi numerasi, literasi sosial budaya.
Menuju gebarakan literasi tersebut guru harus menjadi pionir peserta didik dalam memahami akan pentingnya literasi. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi lebih jelas bagi peserta didiknya dan berusaha untuk memecahkan masalah (Mulyasa 2017:39). Ugkapan tersebut menjadi pendorong bagi guru untuk menunjukan diri dengan hasil karya dari sebuah literasi. Untuk itu, selain mengajar guru juga harus membuktikan hasil kinerjanya kepada peserta didik. Sehingga, di sini anak didik kita dapat memahami dan mampu mencontoh tindakan yang dilakukan oleh guru. Dengan tindakan tersebut sosok seorang guru di mata masyarakat sekarang bukan hanya dengan sesenaknya menyuruh siswa namun juga harus aksi degan nyata. Seperti halnya tema yang di angkat pada peringatan HGS tahun ini yaitu pada tanggal 5 Oktober 2021 yaitu ”Teacher at the heart of education recovery” atau “ Guru jantung pemulihan pendidikan”. Dari tema tersebut, kita dapat menyaring bahwa guru harus mampu menjadi resolusi jihad pendidikan yang mampu mengembangkan pendidikan dengan menggali potensi-potensi anak didik bangsa.
Guru melek literasi
Menulis menjadi sebuah keterampilan yang membutuhkan perenungan dengan usaha melatih agar lebih baik. Menulis adalah investasi di masa depan di mana menulis dapat brmanfaat dalama jangka panjang dan jangka pendek. Fungsi jangka pendek yaitu kita kan mendapatakn honor, memburu angka kredit dan lain-lain. Sedangkan fungsi jangka panjang yaitu kita memiliki invstasi ide dan nama (Ibda 2017:3). Untuk menjadi seorang penulis guru harus banyak membuat karya tulis guna meningkatakan kemampuan menulisnya. Guru dapat membuat beberapa karya misalnya artikel, esai, opini, artikel ilmiah di jurnal, berita, cerita fiksi maupun nonfiksi. Beberapa karya tersebut dapat dikirimkan melalaui media masa cetak maupun online untuk diterbitkan. Semua output yang dihasilkan oleh guru bukanlah suatu bentuk paksaan namun, sudah dengan zeitgeist (spirit zaman). Ya…, sudah saatnya guru bangkit, begitulah!
Setelah guru menjadi penulis dengan berhasil mempublikasikanya, maka langkah selanjutnya guru mampu mengenalkan kepada peserta didik melalui program literasi sekolah. Melalui hasil penulisan guru yang telah diterbitkan guru mampu memberikan sebuah pembelajaran yang efektif bagi peserta didik salah satunya dengan menghasilkan karya. Dari beberapa karya yang telah di publikasikan, maka peserta didik dengan mudah mengaksesnya sehingga akan mulai membaca dan mulai memahaminya. Dari sinilah budaya membaca akan terbentuk selain itu juga peserta didik mampu membuat karya yang dimilikinya untuk dipublikasikan.
Promosi ini akan dapat dilakukan guru secara terus-menerus, maka lambat laun peserta didik akan mencontoh apa yang dilakukan oleh gurunya. Bukan suatu hal yang tidak mungkin jika peserta didik mampu mecontoh apa yang diajarkan oleh gurunya. Bahkan di sini peserta didik mampu mengembangakan bakat minat menulis lainya seperti halnya membuat cerpen, komik, cergam, pantun, puisi, dll. Alangkah baiknya jika sekolah mengadakan pemeran karya sehingga peserta didik lebih semangat untuk mengembangkan bakat minat. Selain itu, dapat menggugah peserta didik lain yang belum berminat akan menulis.
Dari guru menulis inilah siswa dapat mengenal dan membiasakan untuk berliterasi. Selain itu, bukan hanya kegiatan yang berhubungan dengan menulis saja namun, dari banyak-banyak membaca berbagai karya siswa mamapu mengembangakan pengetahuan baik dalam bidang numerasi, sains dan sosial budaya yang dapat di akses dari media maya.
Untuk itu, semangat literasi peserta didik akan tumbuh dari semangat seorang guru. Jika guru hanya sebagai perantara tanpa aksi dan bukti nyata kapan anak didik kita akan berpikir maju!. Dalam memilih pemimpin saja kita mencari yang aksi nyata bukan hanya janji yang menjadikan PHP rakyatnya.
– Guru MI Najmul Huda Kemloko Temanggung