Oleh: Slamet Makhsun*
Akhir-akhir ini, hiruk pikuk ujaran kebencian kian parah. Beda agama menjadi alasan kuat bagi sekelompok orang dengan mengatasnamakan Tuhan, untuk membenci kelompok lain yang beda iman. Mereka yang seperti itu, cenderung merasa benar sendiri seakan-akan Tuhan memihak dan mendukung mereka. Bahwa mereka memperjuangkan kebenaran yang diklaim sesuai dengan perkataan Tuhan, untuk melawan kelompok lain yang dianggap kafir— yang sering dimaknai sebagai orang yang boleh dibunuh, di rampas, halal darahnya, calon penghuni neraka.
Kebencian atas dasar agama seperti itu memang sulit untuk diobati. Mereka akan tetap ngeyel walau sudah berkali-kali diberi argumentasi yang shohih dan shorih. Jatuhnya ialah mencelakai agama itu sendiri. Lihat saja, saat ini banyak umat Islam yang sering membuat onar, seperti perusakan gereja, sweeping mal-mal yang terdapat pernak-pernik perayaan Natal, penyegelan tempat sakral umat kepercayaan lain, penuduhan atas penistaan agama, pembuangan sesaji di beberapa tempat keramat, dan lainnya.
Agama Islam oleh beberapa orang, lalu dianggap sebagai agama yang mengajarkan kekerasan dan anti kedamaian. Barangkali, inilah yang membuat semakin merebaknya islamophobia. Seperti candaannya Ulil Abshar Abdalla, bahwa dulu kumandang takbir menggetarkan hati dan mengharukan, saat ini teriakan takbir justru mengundang hawa ketakutan. Sebabnya, lafal takbir sering dibarengi dengan penggerebekan dan aksi massa oleh kaum-kaum Islam radikalis, sembari membawa pentungan, untuk melawan pihak-pihak yang tidak setuju dengan mereka.
- Iklan -
Kaum Islam radikalis, disinyalir memiliki cara pandang yang kaku dalam segala hal. Intinya, jika segala sesuatu—entah budaya, ekonomi, politik, dll—tidak sesuai dengan apa yang mereka pahami, akan dicap sebagai kafir-dosa yang pada hilirnya, mereka membolehkan bahkan mewajibkannya untuk menumpas hal-hal tersebut dengan segala cara, walau dengan kekerasan sekalipun. Dan buruknya lagi, perbuatan seperti itu dianggap sebagai bagian dari jihad yang akan mendapat balasan surganya Tuhan.
Berbeda hal, Islam yang diwarisi oleh Nahdlatul Ulama (NU), ialah Islam yang moderat, baik dari segi politik, sosial, maupun budaya. Apa yang NU bawa, merupakan khazanah lawas yang telah diajarkan oleh para ulama yang sanadnya muttashil sampai Nabi Muhammad SAW.
Dari track historisnya, Islam yang NU anut adalah Islam yang sudah membentuk peradaban dan menetap lama di Nusantara. Dalam kali pertama perjumpaannya pun disebarkan melalui jalan damai, yakni tasawuf. Tasawuf sendiri ialah seperangkat ilmu yang mengajarkan bagaimana mengenal Tuhan dengan menerapkannya dalam laku keseharian. Oleh karena berfokus pada akhlak dan prinsip-prinsip pokok Islam, maka para pendakwah Islam awal di Nusantara menggunakan budaya sebagai media dakwahnya. Masyarakat secara perlahan-lahan dapat mengenal Islam melalui budaya-budaya yang mereka senangi, sehingga secara pelan-pelan Islam dapat terinfiltrasi dan menjadi kesatuan dengan masyarakat (terakulturasi).
Sekira budaya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan, budaya-budaya yang tidak bertentangan tetap dilestarikan, alhasil, datangnya Islam di Nusantara tidak merubah dan merampas jati diri bangsa, malahan semakin memperkayanya. Prinsip-prinsip seperti itu yang sampai saat ini NU pegang. Tercermin pula dalam kaidah fiqh yang menjadi pedoman kyai-kyai NU, “Al-Mukhafadzu ‘ala Qadim as-Sholih, wal Akhdu ‘ala Jadid al-Ashlah,” yang artinya tetap menjaga budaya lama yang baik serta menerima dan membuka terhadap budaya baru yang baik pula.
Output yang dikeluarkan jelas! Yaitu menjadi Muslim yang memiliki keteguhan iman dan dapat menghormati sesama. Tidak pernah sekalipun terdengar kyai-kyai NU mencela pemeluk agama lain hanya gara-gara beda agama. Bahkan, NU juga berperan aktif dalam menjaga kedamaian antar umat beragama. Tidak hanya melalui seremonial dialog saja, melainkan terjun langsung ke lapangan. Misalnya ketika ada perayaan hari raya agama lain, NU dengan Banser-nya turut mengamankan agar acara tersebut berjalan lancar dan aman.
Memberikan kelonggaran beribadah kepada umat agama lain adalah suatu hal yang mutlak. Analoginya, jika umat Islam tidak ingin diganggu ibadahnya oleh umat agama lain, maka jangan sekali-kali menggagu umat agama lain dalam beribadah. Jika tidak ingin dicaci, maka jangan mencaci. Apalagi, Islam membawa misi rahmatal lil ‘alamin. Yang memberikan kasih sayang dan rahmat bagi seluruh alam semesta. Nah, membangun kerukunan beragama termasuk salah satu dari sisi-sisi rahmatnya Islam. Iman-iman seperti ini yang akan terus NU pegang, bahwa menjaga perdamaian dan kerukunan umat beragama, sama wajibnya dengan menjalankan syariat-syariat pokok Islam lainnya.
Pun demikian dengan Pancasila yang menjadi dasar dari titik temunya semua pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia, akan terus dirawat dan dipertahankan. Jika Pancasila menjadi kunci dalam perdamaian dan kerukunan umat beragama, maka menjadi haram untuk dirusak ataupun diganti dengan ideologi lain. Dengan menghilangkan Pancasila, maka sama halnya dengan mengundang kebencian dan peperangan antar pemeluk agama, sedangkan peperangan dan permusuhan sendiri sangatlah dibenci Islam.
*) Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Turut pula bergabung dengan PMII Rayon Pembebasan dan anggota IPNU PAC Mlati, Sleman. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.