Oleh: M. Rifdal Ais Annafis
“…// Mengalirlah jihadmu dalam hati kami// Tumbuhkanlah akhlaqmu dalam hidup kami//…”
Ungkap Taufiq Ismail, dalam penggalan sajaknya.
Betapa seorang Taufiq Ismail merangkap persoalan paling mendasar dari identitas murni manusia; sebuah harapan autentik atas usaha membangun hubungan personal kepada puncak dari sebuah cermin hidup. Ada sesuatu yang tampak sebagai “aku” yang lain, yang kalau boleh disebut, mendiskripsikan sikap hina dalam posisinya sebagai umat yang di sisi lain ingin mencapai kredibelitas kehidupan dan sesungguhnya, amat tidak sederhana. Saya dengan setengah cemas mengingat sajak Jose Luis Borges, seumpama mempertanyakan sebuah hakikat dari hidup. “…// kenapa akhirnya kutambah satu angka lagi// setelah deret yang tak tepermanai?//…” jangan-jangan saya mulai kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Dan saya seperti Taufiq Ismail, terkenang-kenang jiwa Muhammad. Seorang Rasul terakhir sekaligus “ayah” spiritual kita tentang keterkaitannya terhadap hubungan vertikal, hubungan dengan Tuhan. Atas dasar pernyataan Hegel, bahwa ide-ide dianggap sebagai sebab-sebab yang utama bagi timbulnya proses sejarah, setidaknya sejarah dalam memosisikan diri pada hidup maka saya mulai mencari ide-ide tersebut dengan tekun.
Toh meski saya tak hendak membayangkan sebagai Leon Wieseltier yang berlayar dekat pulau Shelter, mengambang antara selat Alaska. Dalam penjelasan Goenawan kira-kira begini,
“Tiba-tiba perahunya diguncang angin keras, begitu keras. Ia ketakutan. Ia sendirian. Badai dan gelombang menodongkan ajal ke hadapannya.” Yang dalam tafsir sederhana saya, Wieseltier seakan-akan memungkiri sebuah kuasa Tuhan, sebuah kasih sayang dalam bentuk lain yang sebetulnya tak semena-mena. Kemudian saya demikian tertarik menelaah bagaimana Muhammad kala itu, jika saya dalam posisinya, amat sangat menyedihkan dengan perantara ketidak berpihakan nasib, berusaha menaklukan sekaligus memimpin diri sendiri untuk mencapai apa yang kita sebut sebagai puncak dari ketulusan. Di dalam (QS al-Ahzab [33]: 21) menyebutkan, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Maka atas dasar apa Tuhan menyebut Rasulullah sebagai suri tauladan yang baik? Atas dasar apa keutuhan tersebut tercipta sebagai sesuatu yang tampak? Dan saya kira, apapun yang mejadi dasarnya benar-benar tak hendak dipaksakan; semacam keikhlasan penerimaan suatu persoalan. Kemudian saya mengingat betul pengakuan George Bernard Shaw, seorang Filosof Inggris dan penulis alur cerita film di Inggris yang terkenal, lahir di Irlandia, meraih Nobel di bidang sastra tahun 1920 M. Dia berkata, ”Aku telah membaca kehidupan Rasul Islam dengan baik, berkali-kali dan berkali-kali, dan aku tidak menemukan kecuali akhlak-akhlak luhur yang semestinya, dan aku sangat berharap Islam menjadi jalan bagi dunia.” Dan ketika mengingat ungkapan Shaw, saya juga mengingat pernyataan leluhur, hikayat yang terus diceritakan turun-temurun bahwa, “…Muhammad diutus ke dunia adalah untuk menyempurnakan akhlak.” Sederhananya, ia yang sejatinya tercipta dari nur dan menjadi cikal-bakal terciptanya kehidupan ini mengemban tugas paling pokok sekaligus mulya, mengubah cara pandang masyarakat mengenai suatu hal. Menanamkan sifat-sifat humanism serta penghargaan. Sedikit reflektif, bangsa ini saya rasa lahir dari perjuangan tersebut. Sikap gotong-royong yang menjadi awal kemerdekaan adalah salah satu dampak dari bentuk akhlak mulya, sikap yang diperjuangkan Muhammad.
- Iklan -
Blaise Pascal pernah mengungkapkan, “hati memiliki alasan-alasan yang tak dimengerti akal. Orang mengalami ini dalam banyak perkara.” Tentu saja saya menyadari, dalam proses pembentukan sejarah dalam terminologi Hegel, seorang Muhammad menempatkan “hati” sebagai upaya paling sederhana untuk membangun kredibilitas karakter yang nantinya berperan penting dalam kaitannya dengan sosialisasi penghargaan terhadap ciptaan-Nya. Kemudian terciptalah apa yang kita sebut sebagai kepribadian paripurna. Maka saya kira, dalam konsep kepemimpinan Rasulullah, hal paling mendasar yang mestinya kita pahami betul adalah sikap tanggap sosial serta sikap penghargaan yang kita sebut sebagai Ahlakul karimah. Dalam terminologinya Marx, kutipan William Ebensten, ia berujar begini, “Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan adanya mereka, akan tetapi sebaliknya. Adanya mereka dalam penghidupan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.” Dengan kata lain, proses kredibelitas diri bisa dicapai dengan memandang titik tekan dari bagaimana masyarakat memandangnya serta ia betul-betul beradaptasi dengan segenap persoalan yang akan timbul. Saya senang menyebutnya dengan istilah, pengokohan hasrat murni.
Ya Rasulullah, ya Habibullah. Saya kutip lagi penggalan sajak Taifiq Ismail, “…// Mengalirlah jihadmu dalam hati kami// Tumbuhkanlah akhlaqmu dalam hidup kami//…” Rasulullah adalah keutuhan rasa tulus sebuah pemimpin. Dan saya merasakan betul atas dasar fakta lapangan, konsep pemimpin semacam ini yang hampir tidak menyisa sama sekali. Saya mengindikasikan bahwa masyarakat akhir-akhir ini lebih mempercayai proses pragmatik dalam suatu kepemimpinan. Dalam lingkaran kekuasaan, dalam sudut pandang Marx misalnya, mereka yang paling banyak menguasai komoditas ekonomi, akan juga menjadi pemimpin-pemimpin politik yang membuat dan menafsir undang-undang. Begitu telaah Ebenstein. Alasannya sungguh cukup sederhana, kita menempatkan kekuatan ekonomi sebagai tonggak berkehidupan. Padahal hidup tidak sesederhana itu, kredibelitas suatu pemimpin akan nampak ketika ia memiliki penghargaan kepada seluruh masyarakat yang dipimpinnya. Lantas apakah hal semacam ini akan terus mengalami pembengkakan dengan sebutan degradasi murni manusia atau dapat teratasi dengan pengubahan jati diri bangsa? Tentu pendidikan kepada generasi penerus estafet kepemimpinan bangsa yang akan menentukan. Saya kira tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak ada, selama mata dan jiwa kita terus menyebut juga mencintainya sehingga menjadi pendorong batiniyah untuk kita selalu berusaha lebih baik. Dari waktu ke waktu. Dari waktu ke waktu. Wallahu a’lam.
Madrasa Muamalat, 2021
M. Rifdal Ais Annafis, Lahir di Sumenep. Bergiat di Prosa Pend. Bahasa & Sastra Indonesia Universitas PGRI Yogyakarta. Buku kumpulan puisinya, Artefak Kota-kota di Kepala (2021). Ketua Umum UKM Kompekalis (2021-2022) dulunya aktif di Ponpes Annuqayah.