Oleh: Sam Edy Yuswanto*
Menulis termasuk aktivitas yang kurang diminati, bahkan cenderung dihindari oleh kebanyakan orang. Termasuk mereka yang berkecimpung dalam bidang pendidikan seperti para guru dan dosen. Padahal menulis merupakan aktivitas yang mestinya terus dilestarikan dan tak boleh punah digerus kemajuan zaman. Sayangnya, realitas selama ini memaparkan bahwa menulis, selain dihindari juga dianggap pekerjaan remeh oleh banyak orang.
Menulis yang saya maksudkan di sini ialah menjadi seorang penulis. Atau ada juga yang menyebutnya pengarang. Penulis di sini tentu memiliki corak yang beragam, ada penulis buku, penulis kolom (rubrik) di berbagai media massa, dan lain sebagainya. Berdasarkan pengamatan saya, ada beberapa alasan mengapa orang enggan untuk menekuni profesi sebagai penulis. Misalnya, karena tak memiliki gaji tetap sebagaimana pegawai negeri. Alasan lainnya, karena menulis itu adalah pekerjaan yang sulit dan membosankan.
Sungguh aneh dan lucu bila ada orang, terlebih dia yang memiliki gelar pendidikan tinggi, mengatakan bahwa menulis adalah pekerjaan yang sulit. Mengapa saya katakan aneh dan lucu? Ya, karena sejak kecil kita semua sudah diajari untuk bisa menulis bahkan mengarang. Bukankah aktivitas menulis sudah diajarkan oleh para guru sejak kita duduk di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi? Lantas, mengapa kita beralasan menulis adalah hal sulit dan membosankan?
- Iklan -
Saya jadi teringat, ketika ada teman seorang guru yang tiba-tiba menghubungi saya untuk meminta tolong membuatkan karya tulis untuknya. Jadi, dia meminta saya membuat tulisan, lalu tulisan tersebut akan diklaim sebagai karyanya. Tentu saja saya tidak mau karena hal itu bertentangan dengan hati nurani. Meski tak menutup mata, ada sebagian penulis yang membuka jasa penulisan (istilahnya ghost writer atau penulis bayangan) untuk orang-orang yang ingin memiliki karya tulis tapi enggan menulis secara langsung. Namun, saya tak pernah merasa tertarik untuk ikut-ikutan menekuni profesi sebagai ghost writer. Bagi saya, mengakui hasil karya orang dengan mengatasnamakan diri sendiri adalah sebuah bentuk penipuan.
Di lain hari, teman saya yang seorang guru tersebut kembali menghubungi saya via WhatsApp. Kali ini dia ingin mencoba berkirim artikel (ke media massa) dan menanyakan berapa (harga atau honor) per judulnya. Mungkin diam-diam selama ini dia tertarik dan ingin (menjadi penulis lepas) seperti saya yang tulisannya kerap menghiasi berbagai media massa. Sayangnya, mungkin dia hanya melihat sisi enaknya saja, sekadar melihat keberhasilan saya dalam menembus berbagai media massa, tanpa sedikit pun merasa ingin tahu bahwa menembus media massa itu tidak semudah menyeduh secangkir kopi, hehehe. Artinya, butuh perjuangan, banyak saingannya, dan kerap mengalami penolakan.
Akhirnya saya pun mengirimi link salah satu tulisan saya yang pernah dimuat di media massa online kepada teman saya. Tulisan tersebut berisi tentang konsistensi yang dibutuhkan oleh seorang penulis sekaligus kiat-kiat cara menembus media massa dan penerbit. Saya yakin jika teman saya membaca tulisan saya tersebut secara tuntas, dia akan mengerti betapa menulis itu memerlukan perjuangan yang tidak sebentar dan membutuhkan konsistensi atau rajin praktik menulis.
Namun saya tiba-tiba merasa ragu, apakah teman saya itu telah membaca tulisan yang saya kirimkan link-nya tersebut ataukah tidak? Sebab tak sampai dua minggu kemudian dia menghubungi saya lagi. Kali ini dia meminta kepada saya, apakah bersedia membantu memuat artikel karyanya ke media massa atau tidak? Saya lantas mencoba menjelaskan secara singkat. Intinya, untuk pemuatan artikel di media massa itu pihak redaksi yang menentukan dengan cara menyeleksi naskah-naskah yang masuk. Saya tentu tidak bisa membantu, karena tulisan saya juga diseleksi. Artinya, tidak semua tulisan yang saya kirim ke media massa itu dimuat. Perihal pemuatan naskah, layak atau tidaknya, hanya pihak redaksi media massa bersangkutan yang bisa memutuskan, tanpa campur tangan orang lain di luar redaksi. Hingga saat ini pun tulisan saya masih sering mengalami penolakan di meja redaksi. Entah, apakah teman saya yang seorang guru itu bisa memahami penjelasan saya ataukah tidak, karena dia tak pernah (atau mungkin belum) menghubungi saya lagi.
Guru (tak) Bisa Menulis?
Tentu fakta yang membuat saya miris ketika menyaksikan orang-orang yang kesehariannya berkecimpung di dunia pendidikan seperti para guru, tapi mereka mengaku tak bisa menulis dan tak memiliki keinginan untuk belajar menulis. Terlebih bagi para guru yang mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia. Jujur saya merasa sangat penarasan, bagaimana mereka bisa mengajari para peserta didiknya cara menulis dengan baik dan benar sesuai PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Atau jangan-jangan mereka hanya sekadar menyampaikan materi dan menyuruh murid-muridnya mengerjakan tugas. Tugas yang ironisnya tak bisa dikerjakan oleh gurunya. Aneh, bukan?
Misalnya begini, guru memberikan tugas kepada murid-muridnya agar membuat karya berupa cerita pendek (cerpen) atau puisi. Padahal gurunya sendiri tak bisa (tak mau belajar lebih tepatnya) menuliskan apa yang ditugaskan kepada mereka. Lalu, bagaimana cara guru menilai tugas murid-muridnya tersebut? Bagaimana kalau banyak muridnya yang berlaku curang? Misalnya melakukan plagiasi atau menjiplak karya orang lain?
Karenanya, sangat penting bagi para guru untuk belajar menulis. Terlebih bagi guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Jangan sampai seorang guru hanya pandai memaparkan teori-teori menulis sementara dia tidak bisa mempraktikkannya. Tak hanya belajar tentang kepenulisan, seorang guru juga dituntut banyak membaca beragam buku agar wawasan keilmuannya kian bertambah luas sehingga dapat menjadi bekal dalam mengajar. Jangan sampai ketika sudah menjadi guru lantas merasa sudah tahu banyak hal dan tak lagi mau belajar. Bukankah mencari ilmu pengetahuan itu menjadi tugas setiap orang yang masih bernyawa?
***
Sam Edy Yuswanto*
*Lahir dan berdomisili di kota Kebumen Jawa Tengah. Penulis lepas di berbagai media. Ratusan tulisannya (cerpen, opini, resensi buku, dll) tersiar di berbagai media massa seperti: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Banyumas, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit antara lain: Percakapan Kunang-Kunang, Kiai Amplop, Impian Maya, Kaya dan Miskin, dan Filosofi Rindu.