Oleh: Rio F. Rachman
Judul : Melindungi Keluarga Dari Ancaman Terorisme
Penulis : Arini Indah Nihayaty
Penerbit : Media Karya Surabaya (CV. Murta Media Karya)
Tebal : 140 halaman
ISBN : 978-623-97270-9-3
Cetakan : Pertama, September 2021
Tindakan terorisme atas nama agama adalah bahaya laten yang ada di Indonesia. Sejak zaman Darul Islam atau Negara Islam Indonesia, yang dipelopori Kartosoewirjo, aksi kekerasan dengan membawa panji agama senyampang bilang demi menegakkan syariat Islam, sudah tercetus. Letupan-letupan teror secara simultan terjadi, bahkan hingga saat ini (hlm 10).
Para pemuka agama sepakat, tindakan kekerasan semacam itu tidak dibenarkan oleh Tuhan. Oleh sebab itu, segala macam paham yang mengarah ke sana harus diperangi. Yang patut dipahami pula, agama yang dijadikan alasan tidak hanya Islam. Banyak pula agama-agama lain yang memiliki penganut dengan paham radikal atau fundamentalis (hlm 6).
- Iklan -
Berkaca pada fakta-fakta tersebut, perang terhadap terorisme dan gerakan deradikalisasi sudah sewajarnya menjadi tanggung jawab semua pihak. Mulai unit terkecil dalam masyarakat: keluarga. Hingga regulator dalam sebuah negara: pemerintah. Baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Tidak ketinggalan, eksponen masyarakat, seperti organisasi masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang peduli pada keberagaman serta kemajemukan bangsa, juga punya peran sentral.
Peran keluarga
Jika dilihat dari bagaimana seseorang terseret ke lembah terorisme, -dari perspektif keluarga, ada dua kemungkinan. Pertama, dia terjerat oleh ajakan anggota keluarga dekat. Kedua, dia terjerat oleh lingkungan eksternal keluarga.
Mereka yang terjerat karena ajakan keluarga ini, misalnya, terjadi di tahun 2018. Di mana pada saat itu, ada satu keluarga yang melakukan teror di Surabaya (hlm 1). Tak jarang pula, ada teroris yang mengaku kecemplung dalam paham tersebut karena ikut-ikutan saudara yang dikaguminya (hlm 30).
Problematika seperti ini memiliki kompleksitas yang luar biasa. Pemerintah punya peran penting untuk memberangus paham radikal secara terstruktur, melalui pembinaan masyarakat secara keseluruhan.
Bisa pula dijalankan dengan memasukkan nilai-nilai antiradikalisme di pelajaran sekolah atau kampus. Termasuk, mengajak tokoh agama berpartisipasi memberikan pemahaman di masyarakat. Tujuannya, agar tiap anggota keluarga di Indonesia punya kesadaran tentang urgensi menghindari paham berbahaya ini.
Sementara itu, bagi mereka yang terjebak pemikiran radikal karena faktor-faktor eksternal, keluarga menjadi domain utama sebaya upaya deradikalisasi. Maksudnya, pendidikan pokok dari keluarga adalah variabel paling kuat.
Sejak dini, anak-anak harus diberi pengertian tentang kebinekaan di Indonesia. Sehingga, anak-anak tidak mudah heran dengan perbedaan. Biasanya, pangkal dari tindakan teror di Indonesia berasal dari keengganan berbaur dengan masyarakat.
Faktor eksternal yang bisa menjadi sumber referensi seseorang biasanya media massa dan karib kerabat. Media massa di era kekinian, termasuk di dalamnya adalah media sosial. Sedangkan karib kerabat, tak lain adalah kawan-kawan bercengkerama.
Keluarga, dalam hal ini orang tua, harus bisa mengarahkan dan mengawasi anak-anaknya. Tidak terkecuali, memberi pemahaman tentang urgensi kewaspadaan terhadap konten di media massa. Tak hanya soal pornografi dan kekerasan. Namun juga, tentang ajaran-ajaran agama yang punya kecenderungan pada terorisme (hlm 52).
Orang tua juga mesti memantau siapa kawan dan bagaimana lingkungan anak. Dengan demikian, alarm akan lekas berbunyi tatkala anak memiliki hubungan atau relasi dengan mereka yang sudah lebih dulu masuk ke kelompok-kelompok fundamentalis.
Dalam konteks yang lebih luas, tiap anggota keluarga mesti saling menjaga. Orang tua menjaga anak-anaknya. Sementara anak juga ikut memperhatikan kondisi mereka yang lebih tua. Kenyataannya, tidak sedikit orang dewasa yang baru mulai tergiur “surga” versi teroris di kala usia mereka tidak muda lagi.
Peran eksponen masyarakat
Peran pemerintah tidak hanya soal memberikan pemahaman pada masyarakat secara berkelanjutan. Seyogyanya, pemerintah juga memberi penjelasan pada masyarakat, dengan mekanisme informasi apa pun jua, sehubungan dengan kemungkinan adanya aliran paham radikalis dari gerakan-gerakan transnasional (hlm 29).
Tentu, tidak semua gerakan transnasional berujung pada aksi teror. Ada banyak pula gerakan transnasional yang punya nilai positif. Mengingat, era globalisasi yang menjadi muara dari perkembangan informasi dan teknologi, telah membuka ruang bagi hubungan internasional antar negara.
Di sisi lain, eksponen masyarakat, baik segenap warga secara umum maupun ormas dan LSM, mesti turut serta melakukan perang terhadap terorisme maupun upaya deradikalisasi. Mesti dipahami, deradikalisasi adalah salah satu tahap dari gerakan perang pada terorisme.
Deradikalisasi biasanya dilakukan pada mereka yang pernah terjerat kasus terorisme. Sebagai contoh, para narapidana maupun mantan narapidana kasus terorisme beserta keluarga. Orang-orang ini mesti diberi intervensi dan pendampingan.
Tidak hanya berupa ceramah. Lebih dari itu, mereka butuh untuk diterima kembali di masyarakat. Mereka juga butuh penopang finansial untuk mencukupi kebutuhan. Tidak perlu mewah. Namun, ada dukungan ekonomi yang memadai. Dengan cara ini, para narapidana maupun mantan narapidana beserta keluarga, merasa dapat dekat dengan masyarakat.
Kalau mereka terus dijauhi, bukan tidak mungkin mereka yang diharapkan bertobat setelah dihukum, malah balik pada pangkungan kelompok teroris. Sebab, di sana mereka disambut secara sosial maupun ekonomi (hlm 32). Toh, kalau mereka balik kanan pada kelompok peneror, yang repot masyarakat juga.
*Rio F. Rachman, dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang