Peresensi: M. Najibur Rohman*
Judul Buku : Sekolah Tak Berdinding (Kritik Distansiasi Nalar Pendidikan)
Penulis : Elina Lestariyanti
Penerbit : Lawwana, Semarang
Cetakan : Pertama, September 2021
Tebal : xxvi + 166 halaman
ISBN : 978-623-97025-9-5
Pasase “sekolah tak berdinding”, -sebagaimana judul buku ini-, meneguhkan sebuah visi tentang pendidikan yang merdeka, tidak mengungkung, dan tidak memenjarakan. Sifat dasar sekolah merdeka adalah mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai makhluk pembelajar dan punya keingintahuan terhadap dunia sekelilingnya.
Merdeka berarti tidak dibatasi, bebas, menyenangkan, membahagiakan, dan yang paling pokok adalah memanusiakan. Meminjam pemikiran Paulo Freire, visi pendidikan yang demikian sama halnya dengan menjaga kesadaran kritis manusia sehingga tidak jatuh pada fabrikasi dan mekanisasi pendidikan.
- Iklan -
Diakui atau tidak, formula atau model yang tepat dalam menerjemahkan visi pendidikan ideal merupakan problem dinamis. Itu artinya belum ada model pendidikan ataupun bentuk sekolah yang paripurna. Sampai hari ini kita masih mencari bentuk terbaik. Sebab itu antara satu model dengan model lainnya perlu saling belajar dan mengakui kekurangan. Kesadaran ini dibarengi dengan menerima kenyataan bahwa terdapat model pendidikan alternatif, dan umumnya di luar model pendidikan pemerintah, yang ternyata mampu mewujudkan tujuan pendidikan.
Buku ini mengajak kita untuk ngangsu kaweruh dari Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, sekolah alternatif di Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Apa yang menarik dari sekolah ini adalah model pendidikannya yang berbasis masyarakat. Model ini menitikberatkan pada kebutuhan peserta didik dan melibatkan secara aktif masyarakat dalam prosesnya. Selain itu model ini juga mendekatkan peserta didik kepada alam.
Qaryah Thayyibah memberikan ruang pilihan yang beragam sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan masing-masing peserta. Dengan kata lain, sekolah alternatif yang dimotori oleh sosok Pak Bahruddin ini menyediakan sarana untuk mengejawantahkan hak belajar atau hak pendidikan yang dimiliki semua orang. Karena itu melalui model ini seluruh elemen didorong untuk terlibat aktif.
Kolaborasi berbagai elemen menjadikan Qaryah Thayyibah memiliki sistem yang egaliter dan bisa diakses oleh siapa saja. Semua pihak yang terlibat memiliki kontribusi. Hubungan antara guru dan murid menjadi tidak kaku. Hal ini tampak dari penyebutan “pendamping belajar” dan “warga belajar”. Tidak ada paksaan warga belajar untuk mempelajari sesuatu yang bukan menjadi minat mereka. Perancangan atau perumusan, pelaksanaan hingga evaluasi hasil belajar didesain dan diputuskan bersama-sama sesuai dengan minat dan kebutuhan. Sehingga, meskipun kebebasan memilih dijunjung tinggi, baik terhadap pemilihan materi, media maupun metode, tidak serta merta belajar dilakukan tanpa target dan serampangan.
Dalam konteks individual, model pendidikan Qaryah Thayyibah memacu peserta didik untuk lebih mandiri dan bertanggungjawab. Selain itu kreativitas juga berkembang karena warga belajar selalu berdialog dengan lingkungan sekitar mengenai apa yang menjadi tantangan, peluang maupun kebutuhan. Cara ini membuat pendidikan terhubung dengan masyarakat dan menjadi modal dasar bagi peserta didik dalam kehidupan sosial mereka, baik dalam aspek batiniyah maupun dzahiriyah.
Segala proses itu ditempuh untuk menjelmakan apa yang disebut sebagai manusia seutuhnya (insan kamil). Mengutip Ki Hadjar Dewantara, penulis menyampaikan bahwa tipe manusia ini, atau dalam istilah lainnya disebut manusia paripurna, adalah tipikal manusia yang “memiliki budi pekerti, pikiran serta jasmani yang selaras dengan alam dan masyarakat” (hal. 117-118).
Karena itu frase “tak berdinding” mengandung dua maksud, yaitu maksud secara fisik dan non fisik. Secara fisik, sekolah tidak harus dibatasi dinding, yang bisa diartikan ruang atau gedung. Tempat belajar bisa di mana saja selama esensi belajar dapat direngkuh. Secara non fisik, tak berdinding bisa diartikan sebagai nalar, paradigma, kondisi mental, atau pemikiran yang terbuka dengan pendidikan yang membebaskan, merdeka, dan selaras dengan kebutuhan.
Sebagai komunitas yang memberikan inspirasi, -terutama dalam menyediakan alternatif model pendidikan- penelitian atau informasi mengenai Qaryah Thayyibah tentu telah banyak ditulis peneliti atau penulis lain. Tetapi buku ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Diolah dari hasil riset, penulis memilih menggunakan gaya bercerita sehingga membaca buku ini akan terasa kreatif dan rekreatif.
Pembaca akan diajak bertamasya melalui apa yang diamati dan dirasakan oleh penulis. Tentu ada hal yang sedikit mengganggu seperti kesalahan ketik pada sub judul bagian 4 di halaman 101. Tetapi secara keseluruhan buku ini dapat mendampingi pembaca untuk menilik konsep dan praktik pendidikan yang merdeka dan memanusiakan. Selamat membaca.
*M. Najibur Rohman, tenaga kependidikan di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.