Oleh: Saiful Bari
Beberapa hari yang lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU memutuskan Muktamar NU Ke-34 akan digelar pada tanggal 23-25 Desember mendatang. Keputusan ini merupakan kabar gembira bagi warga Nahdliyyin.
Meski demikian, dalam forum itu, Rais Aam KH Miftachul Akhyar memohon maaf kepada seluruh pengurus dan warga NU atas keterlambatan Muktamar NU karena akibat covid-19. Di samping itu, Kiai Miftah mengajak seluruh peserta untuk meniatkan keikutsertaan dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2021 ini sebagai bentuk khidmat dalam menjalankan amanah dengan baik (nu.or.id, 25/9/2021).
- Iklan -
Sekalipun warga NU mendapati berbagai persoalan dan tantangan sekaligus dalam menjalankan roda organisasinya namun, mereka tetap dalam porosnya yakni, menjadikan NU sebagai pilar moderatisme di Indonesia. Maka tak ayal, Greg Barton (2019), menyebut NU adalah lokomotif Islam Indonesia wasathiyah.
Perbedaan NU dan Organisasi Ekstrimis
Di sinilah letak perbedaan NU dengan organisasi kemasyarakatan lainnya, terutama organisasi ekstrimis misalnya. Dalam konteks berorganisasi, semakin kita cinta kepada NU maka kita akan semakin mencintai negara. Sedang dalam organisasi ekstrimis, semakin cinta kepada organisasi tersebut maka kita akan mencoba merongrong dan/atau menghancurkan kedaulatan negara. Benarkah demikian? Wallahu’alam.
Namun yang pasti, dalam kamus NU, semua warga NU baik yang berada di lingkungan struktural dari pusat hingga ranting maupun barisan kultural selalu dan akan terus memainkan peran penting dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Peran positif ini terutama terlihat dalam upaya NU membangun perdamaian positif dari berbagai pintu pengabdian di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, filantropi, dan dakwah sosial kemasyarakatan.
Dalam praktiknya, kiprah NU sangat dirasakan terutama kontribusi kulturalnya dalam mengkampanyekan dan mengarusutamakan ajaran Islam yang penuh dengan kedamaian, toleransi. Tak kalah pentingnya, dalam upayanya membendung arus ekstrimisme dan intoleransi keagamaan yang belakangan ini marak terjadi.
Berbeda jika kita lihat organisasi ekstrimis, misalnya HTI dan FPI yang telah dicap sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Ini hanya contoh kecil yang terbaru di Indonesia. Sedang di kancah internasional seperti Wahabi dan Taliban merupakan organisasi yang patut kita waspadai gerakannya.
Dari nama-nama organisasi yang disebut di atas, jika kita telusuri lebih jauh lagi terutama gagasan dan gerakannya nyaris memiliki persamaan. HTI dan FPI misalnya, organisasi ini menjadi organisasi terlarang karena mereka ingin mengubah dan/atau mengganti dasar negara Republik Indonesia.
Oleh karena sejak dalam konsepsinya ingin mengganti ideologi Pancasila maka, dalam tataran praktisnya, mereka cenderung melakukan tindakan yang tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walaupun begitu, terdapat perbedaan yang diametral antara gerakan HTI dan FPI. Gerakan HTI cenderung lebih lunak dan fokus mereka di bidang dakwah dari kampus ke kampus dan dari masjid satu ke masjid lainnya. Misi gerakan ini adalah mengeksplorasi gagasan HT dan berupaya mendirikan Khilafah di atas bumi Indonesia.
Sementara itu, di kancah internasional seperti Wahabi dan Taliban juga amat berbeda dengan NU. Jamak diketahui, Wahabi merupakan organisasi yang ingin memurnikan ajaran Islam yang langsung berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak mengakui sumber Islam lainnya, sebagaimana yang ada di NU. Dalam praktiknya, Wahabi dengan wahabisme-nya berhasil mempengaruhi masyarakat sekitar dan pada gilirannya, ia menjadi ideologi negara di Arab Saudi.
Pun sama, Taliban yang belakangan ini menjadi sorotan masyarakat dunia. Taliban dengan Talibanisme-nya merupakan organisasi yang lahir, hidup dan berkembang di Afghanistan. Sebagai perkumpulan kemasyarakatan seharusnya ia menjadi aset negara namun, mereka justru melakukan kudeta terhadap pemimpin yang sah.
NU Antitesa Ormas Ekstrimis
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa NU merupakan antitesa dari ormas ekstrimis di Indonesia dan bahkan di dunia terutama dalam konteks kecintaan terhadap negara.
Lahirnya NU sendiri merupakan respon terhadap perkembangan dunia Islam internasional, kala itu Arab Saudi di bawah kepemimpinan Ibnu Sa’ud mengusung ideologi keagamaan Wahabi yang anti pada segala bentuk pemikiran dan kegiatan yang dianggap takhayul, bid’ah dan churafat (TBC). Begitu juga dengan kelompok Taliban yang mengkudeta pemimpin yang sah di Afghanistan maka, kehadiran NU merupakan antitesa Taliban yang barbar itu.
Sementara di Indonesia, seseorang yang fanatik kepada FPI maka mereka akan berusaha mewujudkan NKRI bersyariah (negara Islam). Begitu pula dengan aktivis khilafah, semakin mereka mencintai HTI maka semakin yakin mereka mengganti Pancasila.
Sebaliknya, warga NU yang tersebar di belahan penjuru dunia, mereka tak sekadar mencintai NU dan Indonesia namun mereka juga akan mencintai lingkungan (negara) yang mereka tinggali. Inilah perbedaan ber-NU dan berorganisasi ekstrim.
– Saiful Bari lahir di Banyuwangi, 23 November 1996. Saat ini ia tercatat sebagai alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini, aktif sebagai pengurus GP Ansor Ranting Tulungrejo (Banyuwangi)