Judul : Wali Berandal Tanah Jawa
Penulis : George Quinn
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tebal Buku : 552 halaman
Cetakan : Februari 2021
ISBN : 978-602-481-522-6
Gila. Demikian kesan pertama saya tatkala membaca buku Wali Berandal Tanah Jawa (2021) pada bagian pertama. Andai saja buku itu diibaratkan sebagai seorang wanita, sudah barang tentu saya akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tanpa menunggu waktu lama alias membacanya sampai tuntas, saya berkali-kali menghela nafas, berhenti sejenak, untuk kemudian geleng-geleng. Ini buku daging semua, pikir saya.
Buku setebal 552 halaman ini mengisahkan sekaligus mengungkap sejarah para leluhur tanah Jawa dengan apik. Uniknya, buku yang pernah menyabet pemenang lomba karya non fiksi terbaik 2020 di ajang Act Writers Center, Canbera, Australia ini ditulis oleh turis berkebangsaan New Zeland, dosen senior di Australian National University (ANU), yaitu George Quinn.
Tentu saja hal ini sebuah tamparan keras bagi kita, orang Indonesia. Di saat ilmuwan bangsa ini abai, tak ada yang memperhatikan atau melirik topik buku ini, George Quinn dengan pekanya menggarap buku ini dengan begitu menawan. Padahal, ia sama sekali tak memiliki hubungan darah, emosional, atau bahkan spiritual dengan para leluhur tanah Jawa.
- Iklan -
Ziarah
Bagi masyarakat Indonesia, ziarah merupakan tradisi yang sudah mengakar sejak ratusan tahun silam. Bahkan, jauh sebelum Islam datang, orang Indonesia sudah mengenal dan menjalankan praktik ziarah. Tak hanya orang Indonesia saja yang menjalankan praktik ziarah, bahkan sebagian besar masyarakat di belahan dunia, tak terkecuali bangsa Arab dipercaya juga melakukannya. Konon, mereka meyakini bahwa arwah leluhur yang sudah tiada mempunyai kekuatan dan kendali untuk mewujudkan segala impiannya.
Oleh sebab itu, pada masa awal munculnya Islam, Rasulullah SAW sempat melarang ziarah sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga keimanan umat Islam. Namun, seiring pesatnya dakwah Islam di penjuru dunia, dan semakin kuatnya aqidah umat Islam, Nabi memperbolehkan ziarah.
Menurut Rasul, dengan berziarah seseorang dapat mengingat kematian, juga dapat melembutkan hati. Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari banyak sumber:”Dulu, aku melarang kalian untuk ziarah kubur. Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, dan mengingatkan pada kehidupan akhirat. Jangan mengucapkan perkataan yang batil ketika ziarah kubur.”
Perkembangan Ziarah di Indonesia
Dewasa ini, praktik ziarah di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat drastis. Hal demikian tentu cukup mengherankan di tengah terpaan modernitas dan kemajuan teknologi yang begitu pesat. Bagi sebagian orang, ziarah dianggap haram, usang, dan tentu saja ketinggalan zaman. Namun, faktanya para peziarah atau yang biasanya disapa sarkub (sarjana kuburan) dari tahun ke tahun semakin membludak jumlahnya.
David Armstrong, seorang mahasiswa Australia, pada tahun 2006 pernah melacak jumlah pengunjung di beberapa makam yang dikeramatkan oleh orang Jawa. Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, misalnya, pengunjungnya meningkat hingga 10 kali lipat. Yang semula 128.905 pengunjung pada tahun 1988 menjadi 1.556.651 pengunjung pada tahun 2005.
Makam Sunan Bonang di Tuban pun demikian, dari 618.047 menjadi 618.047. Bahkan, pengunjung makam Ibrahim Asmorokondi di Tuban meningkat tajam hingga 40 kali lipat. Dari 11.886 menjadi 467.896. Belum lagi makam Gus Dur, dalam sehari makam mantan presiden keempat ini mencapai 10.000 peziarah menjelang bulan puasa Ramadhan. (hlm 471-73). Tentu saja fenomana ini sangat menarik untuk ditelisik.
George Quinn dalam buku ini menyebut bahwa budaya ziarah Jawa, dengan keragaman dan kontradiksinya, merupakan gugatan terhadap ragam baku agama Islam yang semakin menguat di lanskap keagamaan Indonesia sejak tahun 1980-an. Ia juga melihat bahwa ziarah lokal sangat islami, tetapi memadukan Islam dengan sejarah lokal, semangat kuno yang melekat di tempat lokal, dan gado-gado praktik ibadah yang akarnya tertanam jauh pada masa pra-Islam (hlm 8).
Dalam perjalanannya menyusuri makam leluhur tanah Jawa, George mendapati banyak kisah unik yang belum banyak diketahui oleh masyarakat umum. Rupanya motif peziarah saat berkunjung ke makam keramat sangat beragam. Misalnya, ada yang tulus beribadah tanpa embel-embel. Ada juga yang menginginkan jodoh, jabatan, dimudahkan rizki hingga urusan kerja. Singkatnya, lelaki yang fasih berbahasa Indonesia ini bertemu banyak orang untuk kemudian dijadikan sebagai narasumber.
Yang tak kalah menarik adalah bagaimana upaya George mengungkap cerita masa hidup para leluhur Jawa dalam banyak versi. Tak jarang ia bertemu narasumber yang mengisahkan cerita yang berbeda dengan narasumber yang lain.
Dalam buku ini, George merekam kunjungannya ke beberapa makam leluhur tanah Jawa yang dikeramatkan, dan diyakini sebagai wali oleh banyak orang. Tercatat ia berziarah ke puncak Gunung Lawu, Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Bonang Tuban, Syekh Wasil Kediri, Ki Ageng Balak Solo, Sunan Panggung Tegal, Mbah Priok Jakarta, Mbah Maridjan, hingga merengsek ke Asta Tinggi Sumenep Madura.
Membaca buku ini kita akan melihat betapa uletnya George dalam menghimpun data. Ia berhasil mengawinkan data-data di lapangan maupun data yang bersumber dari buku-buku kuno Jawa seperti Suluk Malang Sumirang, Babad Tanah Jawi, Babad Madura, Cirebon, dan banyak yang lain. Tidak hanya itu, ia juga memiliki pemahaman sejarah tentang Indonesia dengan sangat detail. Akibatnya, buku ini sangat kaya akan data sejarah yang melimpah nan mendalam.
Sejatinya, buku ini adalah hasil riset perjalanan panjang George bertahun-tahun di makam para wali tanah Jawa dengan judul aslinya, Bandits Saint of Java:How Java’s Eccentric are Chellenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia. Maka itu, bahasa yang ditulis dalam buku ini bukan bahasa ilmiah yang membosankan, melainkan bahasa yang lugas, renyah dan enak dibaca. Bagi saya, buku ini bukan hanya sekadar riset perjalanan panjang, tetapi buku ini juga dapat dijadikan sebagai buku panduan dan referensi untuk berziarah.