Oleh Suci Ayu Latifah
Falsafah Jawa, sabar iku lire momot kuwat nandhang sakehing pacoban lan pandadaraning urip, mengingatkan kita pada definisi sabar. Tuturan leluhur tanah Jawa yang dibawa oleh para Raja tersebut memiliki arti relevan. Kesabaran tidak lain adalah kemampuan untuk menahan segala macam cobaan benturan kerasnya hidup.
Memahami ajaran leluhur di atas mengantarkan pada salah satu tantangan kehidupan manusia sehari-hari. Manusia dianjurkan untuk bersabar dalam berbagai hal. Karakter lari dari masalah bukan dari sikap bertanggung jawab. Yen kepergok ing pacoban aja lumaris (apabila menghadapi cobaan, jangan mengelak atau berlari). Tantangan hidup baiknya dihadapi, ditaklukkan.
Perspektif Islam memandang kesabaran sebagai sebuah tindakan keteladanan. Al-Qur’an menerangkan dalam Surah Al-’Ashr ayat 3 bilamana orang-orang akan berada dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang mau melakukan tindakan-tindakan baik, serta saling menasihati sesamanya untuk kebenaran, sekaligus menasihati untuk kesabaran. Secara langsung, ayat menjelaskan ada sesuatu yang mahadahsyat ketika seseorang mampu menempatkan diri sebaik-baiknya. Dan, penting dimengerti Allah tidak ingkar karenanya mahamemberi.
- Iklan -
Karenanya, proses tingkah laku manusia senantiasa mengendalikan diri untuk tidak berbuat keji dan dosa. Dalam buku Tallal Alie Turfe Mukjizat Sabar, secara gamblang sabar dikatakan: (i) ketika seseorang mampu menaati semua perintah Allah; (ii) ketika mampu memegang teguh akidah Islam, dan (iii) ketika mampu tabah serta tidak mengeluh atas musibah dan keburukan apa pun yang menimpa diri.
Ketiga kriteria di atas dirasa sangat sulit bagi manusia. Hal itu didasari atas tingkah laku manusia pada kenyataan sosial melanggar ketiga kriteria di atas. Tidak dimungkiri banyaknya dari kita sadar tetapi tidak mau mengubah diri. Maksudnya, memahami bilamana yang kita perbuat melanggar perintah Allah, misalnya salat lima waktu.
Di sini manusia sadar akan kesalahannya, akan tetapi tidak jarang kesadaran itu diikuti oleh tingkah laku lebih baik, perubahan secara lahiriah. Padahal, sadar kemudian mengikuti irama hidup akan menjadikan manusia dengan hasil sempurna. Ajaran ini telah ditulis dalam naskah Niratha Praketha karya MPu Prapanca. Naskah berisikan falsafah hidup menjernihkan batin dengan kesabaran. Dalam Pupuh III, Mpu Prapanca juga tak luput menitipkan ajaran berbuat baik. Tindakan ceroboh, jahat, bebal, dan lain sebagainya menjadikan manusia miskin kemanusiaan. Hidup dipenuhi oleh rasa iri, marah, dan curang. Kehidupan bersosial dipenuhi rasa dendam.
Tidak jarang dari kita malah-malah menganggap remeh atau enteng. Lebih mementingkan hal lain, semisal sekadar menikmati dunia maya berjam-jam dibandingkan merefleksikan diri. Fenomena ini sering menghias di kehidupan manusia. Teknologi semakin canggih membuat pengguna semakin terlena untuk bermain-main (homo ludens). Tanpa disadari banyak dari pengguna kita melakukan penyimpangan-penyimpangan. Baik secara internal (terhadap diri sendiri) maupun eksternal (terhadap orang lain). Tanpa disadari pula, kehidupan media sosial menyumbang rasa ketidaksabaran. Karenanya, banyak menyuguhkan hal-hal yang instan, mudah didapat dan praktis.
Ujian Kesabaran
Berbicara persoalan sabar dengan segala tingkah laku yang mengiringi, ada kalanya keteguhan, ketabahan, keuletan, ketahanan diri, dan ketegaran jiwa manusia naik-turun. Lebih-lebih di musim pandemi ini, seolah-olah kesabaran manusia diuji berlipat-lipat. Kerasnya kehidupan kala pandemi semakin membatu bahkan membekukan kehidupan. Namun, keyakinan akan cinta dan kasih Allah atas kesabaran dipastikan berbuah. Ingat janji Allah setelah kesulitan akan tiba kemudahan.
Ujian kesabaran dapat diteladani dari kehidupan para Nabi. Para Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi menandakan telah lulus pada ujian kesabaran. Merekalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Selain kelima Nabi tersebut, tidak menutup kemungkinan nabi-nabi lain tidak memiliki jiwa sadar. Tengoklah, Nabi Idris melalui kesabaran dan ketabahannya mampu menundukkan orang-orang yang mengingkari kebenaran.
Nabi Dzulkifli rela disiksa dan dibelenggu dalam penjara saat menentang kekuasaan Bani Israil yang palsu dan senantiasa mengeksploitasi manusia untuk mencapai kepentingan personal. Nabi Ayyub bersabar melalui pengendalian emosi, kekecewaan, dan kemarahan. Ujian hidup yang dijalani teramat keras; kehilangan harta benda, ditinggal anak-anak dan pekerjaannya, ditambah terkena penyakit kulit. Dari kesabaran proses melewati kerasnya hidup, Nabi dikatakan sebagai sosok yang meraih derajat tertinggi buah dari keikhlasan. Cobaan dan derita hidupnya tidak membuatnya berontak ketidakadilan Tuhan. Justru, Nabi semakin menguatkan keimanan dan keyakinan terhadap Tuhan dengan tidak pernah berhenti ibadah (doa dan zikir).
Dari kisah para Nabi, hal yang dapat diteladani adalah keikhlasan dalam menerima cobaan hidup. Apabila manusia menerima dipastikan dimudahkan. Sebaliknya, apabila manusia menolak bahkan menentang semakin memperburuk dan memperumit penyelesaian. Oleh karena itu, ikhlas adalah kunci dari bentuk penyucian diri.
Dengan begitu, sabar mengendalikan segala hasrat merupakan jembatan terindah dalam proses menerima nasib. Keyakinan atas persoalan hidup sejatinya tes kedewasaan, ketakwaan manusia. Di satu sisi, manusia diuji untuk dilihat seberapa derajat keyakinan atas zat Allah. Dan, pada sisi lain cara mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Baiknya, Allah menjanjikan supaya manusia untuk memohon dan meminta maka akan diberi pada waktu yang tepat. Terpenting, sabar dan ikhlas harus dipegang untuk menyederhanakan persoalan di kehidupan sehari-hari, sekaligus tumbuh mengalir pada kepribadian kita. ***
SUCI AYU LATIFAH, penulis asal Ponorogo dan bergiat di Komunitas Sutejo Spectrum Center. Suka menulis dan termuat di berbagai media cetak, online, maupun lokal. Saat ini menempuh program magister di Surabaya.