Oleh Miftaf Pradika Putra
Ketua DEMA FSHEI INISNU Temanggung
Pada dasarnya negara memiliki kewajiban untuk memberikan identitas kepada seluruh penduduk di Indonesia yang berupa KTP. Tidak hanya WNI saja, bahkan WNA yang memiliki KITAP atau kartu izin tinggal tetap juga harus diberikan identitas. Jika disini WNA juga diberikan identitas, maka secara otomatis komunitas terpencil, kaum difabel bahkan kaum transgender pun juga harus diberikan identitas. Hak ini selain sebagai identitas kependudukan juga menghindari hal-hal yang bersifat diskriminatif.
Berbicara tentang diskriminatif di Indonesia, tidak jauh akan menemukan keberadaan kaum transgender yang masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Bahkan perdebatan tersebut tidak hanya terkait tentang diskriminasi saja, namun juga bereputasi kedalam masalah HAM. Ketika kelompok pro mengatakan bahwa transgender diperbolehkan dengan dasar Hak Asasi Manusia yang mempersilahkan berbuat apa saja sesuai keinginannya. Sedangkan kelompok kontra mengungkapkan dengan dasar bahwa transgender itu telah menentang kondrat dan bukan Hak Asasi Manusia, bahkan transgender itu penyakit.
- Iklan -
Hal tersebut akan tabu dan patut dipertanyakan jika dikaitkan dengan persoalan kepemimpinan, apakah diperbolehkan bagi seorang transgender untuk menjadi pemimpin? Dengan catatan ia memiliki loyalitas tinggi dan jiwa seorang leader yang mumpuni.
Transgender Dalam Kacamata Public
Transgender sering diartikan oleh masyarakat sebagai perilaku antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh manusia sendiri melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Secara kultural laki-laki dituntut untuk bersikap tegas, sedangkan perempuan dituntut untuk lemah lembut. Dengan proses transgender inilah yang mengakibatkan manusia mengganti jenis kelaminnya sepertihalnya seorang laki-laki mengubah kelaminnya menjadi perempuan dan sebaliknya.
Dalam pergeseran nilai dan pemahaman agama, transgender masih menjadi polemik dalam stigma masyarakat yang menganggap transgender sebagai pendosa yang menyalahi kodrat tuhan. Dengan mendikotomi antara laki-laki dan perempuan yang menjadi status quo dalam berbagai kepercayaan agama, menjadikan stigma tersebut dapat mempengaruhi dogma yang ada saat ini.
Begitupun juga dalam kacamata hukum positif, transgender di Indonesia juga masih menjadi perdebatan sampai saat ini. dimana ada sutau kelompok ada yang pro dengan mengatakan transgender sama halnya dengan warga negara lainnya yang musti diperlakukan secara adil dan bukanlah sebuah penyakit. Dan kelompok yang kontra dalam memandang keberadaan transgender mengatakan bahwa hal tersebut sebagai sebuah kelainan dan bahkan dianggap sebagai insan yang tidak normal.
Dengan menggunakan landasan kemaslahatan, Hukum Islam memandang trasgender layaknya masyarakat biasa dan tidak untuk ditakuti dan bahkan dianggap tidak normal, karena transgender ini tetap mendapatkan karomah insaniyah meski dengan batas-batas tertentu. Sehingga ketika transgender dalam kacamata public dianalisis secara mendalam terkait HAM, maka tidak menjadikannya sebagai suatu masalah. Namun dalam realitas di antara kedua pihak itu seringkali tidak sejalan dalam kenyataannya.
Kepemimpinan Transgender
Tanpa memandang ras, suku, budaya, dan jenis kelamin, di ranah kepemimpinan semua orang memiliki hak yang sama. Kepemimpinan merupakan bentuk dominasi kemampuan pribadi yang mampu mendorong orang lain untuk berbuat suatu hal dengan didasari oleh penerimaan kelompoknya.
Konsep HAM yang universal menjadikan siapapun berhak menjadi pemimpin asalkan memiliki kompetensi dan keahlian khusus dalam hal tersebut. Sepertihalnya yang terjadi di India pada tahun 2015 silam. Dimana Madhu Bai Kinnar seorang transgender menduduki jabatannya sebagai Walikota Raigarh Chhattisgarh dengan memenangkan pemilihan umum Walikota di daerah tersebut. Hal ini sangat jelas apabila dikatakan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin itu tidak memandang ras, suku, budaya, dan jenis kelamin.
Namun hal berbeda ditemukan dalam Agama Islam, dimana seorang pemimpin haruslah seorang laki-laki, dan kaum transgender disisni tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin. Lalu bagaimana mungkin seorang transgender yang melanggar aturan agama menjadi seorang pemimpin, sedangkan seorang pemimpin adalah panutan bagi rakyatnya. Disisi lain, Hukum Islam juga hanya mengakui laki-laki dan perempuan saja dalam hal jeis kelamin, dan tidak mengakui transgender sebagai suatu jenis kelamin.
Meski pada dasarnya seorang transgender mempunyai alat kelamin, akan tetapi ia bukan merupakan seorang yang mempunyai sifat sesuai kodratnya, melainkan seseorang yang bersifat dan bertingkah laku tidak sesuai kodratnya. Dengan melihat sisi sejarah, dalam kekhalifahan umat Islam juga tidak ada satu pun khalifah yang merupakan seorang transgender.
Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa menurut HAM, seorang transgender dapat menjadi pemimpin. Sedangkan dalam Islam seorang transgender tidak dapat menjadi pemimpin. Kemudian jika ditinjau dari persamaan antara HAM dan Hukum Islam, kaduanya sama-sama mengakui bahwa jenis kelamin itu hanya laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, kepemimpinan merupakan suatu hal yang harus selalu dibentuk, dan dijaga dengan baik. Karena dengan motif membangun dan menjaga inilah akan dapat menciptakan pemimpin yang loyal, kompeten dan berintegritas tinggi. Akan mengerikan apabila persepsi kita dalam kepemimpinan adalah sesuatu yang harus dikejar. Karena hal tersebut akan menimbulkan perilaku yang menghalalkan segala cara.
Dalam psikologi politik juga dikatakan bahwa orang yang sulit untuk melepaskan jabatan kepemimpinannya itu berarti orang yang berambisi terhadap kepemimpinan. Sehingga hal tersebut merupakan embrio dari lahirnya motif pemimpin otoriter.
Terakhir, landasan seorang muslim dalam kepemimpinan adalah na’buda ilallah wa la nusyrika bihi syaian “beribadah kepada Allah, dan tidak menyekutukan sesuatu yang lain selain Allah”.