Oleh Dimas Indiana Senja
Adalah sebuah kekeliruan, ketika definisi ibadah hanya dibatasi pada hal-hal yang ditentukan tata caranya oleh Syariat, padahal, kita semua tahu bahwa selain ibadah maghdah, ada juga ibadah ghairu maghdhah, seperti belajar, dzikir, dakwah, tolong-menolong dan lain sebagainya. Dimensi ibadah yang mencakup luas inilah yang semestinya dimengerti oleh semua. Bahwa konsep pahala tidak melulu persoalan ibadah-ibadah ritual.
Salah satu kegiatan yang bisa mengakomodir dari beberapa yang telah disebutkan adalah menulis. Bukankah dari menulis, ada unsur belajar, dakwah, dan juga tolong-menolong? Dimensi “kemanfaatan” sebagai satu poin ibadah maghdah ini yang tidak bisa didustakan. Pertama, menulis adalah sarana belajar. Saat seseorang menulis ia sedang belajar mengulang segala yan g pernah ia pelajari, segala yang pernah ia baca, sebab konon kata Freud, saat seseorang membaca, kata-kata masuk berjejalan ke alam bawah sadar, dan ketika seseorang itu menulis, kata-kata dan ingatan berloncatan keluar dan mengubah wujud menjadi sebentuk tulisan.
Dalam menulis, seseorang sedang mutholaah, mempelajari ulang segala yang pernah ia pelajari di waktu lampau. Bahkan, semisal yang dikerjakan adalah tulisan ilmiah, yang notabene membutuhkan referensi bacaan, maka seseorang diharuskan membuka buku sebagai penguat argumentasinya. Jadi, ketika menulis justru di sisi lain seseorang juga dituntut membaca. Maka tidak heran, saat seseorang menulis, ia juga sedang membuka banyak buku di depannya, yang secara tidak sadar dia sedang membaca: belajar.
- Iklan -
Benar apa yang disampaikan oleh Pramoedya, bahwa seorang yang kadar kecerdasannya setinggi langit pun, ia akan hilang dari peradaban dan dari masyarakat oleh sebab ia tidak menulis. Dalam pada ini mengandung makna bahwa seseorang yang menulis, ia sedang mengabadikan dirinya, mengabadikan namanya, mengabadikan keilmuannya. Menulis adalah bentuk lain dari sebuah kontribusi. Dalam segi pembelajaran, misalnya, tulisan—baik berupa buku, artikel atau apapun—adalah media belajar yang sangat representatif. Tulisan adalah bentuk transfer of knowlegde dan transfer of value. Seseorang yang membaca sedang mentransfer ilmunya, memberikan kepada orang lain sesuatu yang ia ketahui. Jika meminjam istilah Seno Gumira Adjidarma, menulis adalah cara untuk berbicara kepada orang lain yang berada atau berjarak jauh. Maka, tulisan adalah sarana atau washilah silaturahmi. Silaturahmi antara penulis dengan pembaca, sekalipun keduanya terpisah ruang dan waktu.
Menulis adalah kerja intelektual. Seseorang bisa dinilai pemahaman tentang suatu disiplin keilmuan ketika ia mampu menghasilkan sebuah karya intelektual berupa tulisan. Dengan tulisan inilah kristalisasi pemikirannya teruji. Akan sangat naif jika seorang dengan keilmuannya yang tinggi namun tidak memiliki tulisan. Maka ia akan terjebak pada euforia pemahaman secara oral, bukan pada kemampuan menyederhanakan pemahaman melalui kata-kata terpilih. Sehingga Einstein pernah berceletuk bahwa seseorang yang menguasai sebuah teori akan bisa menjelaskan dengan kata-kata yang sederhana. Dalam ini, menulis sebagai sebuah pembuktian seseorang sudah benar-benar menguasai suatu disiplin ilmu atau belum.
Dari segi dakwah, menulis adalah cara lain kita mengajak seseorang untuk mengerti atau melakukan sesuatu. Pun dalam dakwah keilmuan atau keagamaan, misalnya. Sampai saat ini, di pesantren-pesantren dipelajari banyak kitab kuning karangan para ulama, seperti Haldratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari yang medengan kitabnya Adabul Alim Wal muta’alim dan Syeh Zarnuzi dengan kitab kitab Ta’limul Mutta’alim, untuk menyebut beberapa mushonif kitab dan kitab karangannya. Kitab-kitab itu adalah sarana dakwah yang abadi. Sekalipun penulisnya sudah tidak ada berpuluh-puluh tahun, ilmunya masih abadi, masih menjadi rujukan keilmuan sampai saat ini.
Tidak pun hanya persoalan keagamaan semata, ilmu-ilmu umum sekalipun, tentu didapat dari bacaan. Para penulis seperti Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetiknya, Koentjaraningrat dengan disiplin kebudayaannya, Gus Dur dan Franz Magnis Suseno dengan humanisme dan pluralismenya, adalah ajakan-ajakan intelektual yang diperoleh dari media tulisan. Mereka, secara lahir, terpisah jauh dari pembaca, namun dekat secara spiritual, lantaran dakwah dengan tulisannya mereka senantiasa “ada” di dekat pembaca.
Dakwah dengan menulis adalah sebuah alternatif lain, karena dakwah bil lisan dan dakwah bil hal belum bisa maksimal oleh karena pendekatannya materialistik. Sementara dakwah dengan tulisan adalah sebentuk dakwah bil hikmah, dengan saripati yang bisa diperoleh pembaca lewat kata-kata. Secara psikologi, aktivitas membaca ini memiliki kekuatan yang lebih kuat, lantaran masuk ke alam bawah sadar, dan mampu memberikan stimulan kepada pembaca untuk memahami atau melakukan suatu hal. Pun, taraf kebertahanan pemahaman melalui bacaan lebih lama ketimbang hanya mendengar atau melihat perilaku saja.
Dan yang terakhir muatan tolong-menolong atau ta’awwanun. Menulis adalah sarana menolong oranglain. Membagi pengalaman melalui tulisan, misalnya, adalah sebuah kerja membantu atau memberi pertolongan. Tidak jarang, orang merasa yakin untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu lantaran dirinya telah membaca sebuah literatuir yang di dalamnya berisi sharing pengalaman atau pengetahuan tentang baik buruk sesuatu.
Maka, ibadah tidak melulu ritual, menulis adalah salah satu alternatif yang baik untuk dipilih. Ibadah menulis bukanlah pekerjaan yang susah untuk dilakukan, dan tidak menghabiskan banyak tenaga, justru menulis adalah ibadah yang mampu memanfaatkan waktu luang di sela-sela berpuasa, sehingga waktu tidak berlalu begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu, bukankah ini wujud dari rasa syukur kepada Tuhan? Dengan menulis seseorang bisa belajar dan mengajar, berdakwah atau amar ma’ruf nahi munkar, juga menolong sesama dengan membagi pengalaman atau pengetahuan agar seseorang bisa terhindar dari kebingungan memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Selamat menunaikan ibadah menulis!
-Dimas Indiana Senja, penulis, dosen, dan peneliti. Pembina Rumah Literasi Waskita Brebes, dan Ketua LESBUMI PCNU Brebes.