Oleh Hamidulloh Ibda
Jika kita bertanya kepada mbah-mbah kita, peradaban literasi mereka dikonstruksi lebih banyak dari luar bangku sekolah/madrasah. Meski sudah banyak pula yang menempuh pendidikan melalui bangku pendidikan formal seperti sekolah rakyat.
- Iklan -
Dari sudut pandang historis, sekolah rakyat atau SR ini merupakan sekolah dasar pada masa penjajahan Jepang. SR ini berlangsung sekira tahun 1942–1945 saat Jepang berkuasa di Nusantara.
Namun ketika kemarin berbincang dengan mbah saya, beliau mengatakan bahwa zaman dulu sekolah itu diajarkan baca-tulis huruf gedrik dan latin dengan menggunakan sabak (kotak kecil). Sedangkan baca-tulis huruf Arab diajarkan di pesantren khususnya Arab pegon. Untuk aksara Jawa sendiri, memang masih minim diajarkan di sekolah formal zaman Jepang maupun era Belanda.
Sekolah Zaman Belanda
Kita perlu mengingat kembali. Beberapa sekolah formal zaman penjajahan Belanda sangat mendominasi pendidikan formal kala itu. Meski pesantren sudah bejibun dan madrasah juga tak mau kalah.
Sekolah-sekolah Belanda kala itu ada sekitar delapan. Mulai dari Eurospeesch Lagere School (ELS), Hollandsch Chineesche School (HCS), Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middelbare School (AMS), Hoogere Burgerschool (HBS), Schakel School dan School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen (STOVIA).
Setelah sekolah-sekolah ini tentu dilanjutkan dengan SR dan kemudian berkembang sekolah formal di Indonesia mulai dari jenjang SD, SMP dan SMA sampai perguruan tinggi. Begitu pula dengan madrasah mulai dari MI, MTs dan MA. Kini berkembang pula Ma’had Aly dan bejibun sekolah Islam terpadu, bahkan ada rumah tahfiz dan kuttab.
Saya tidak menyoal apa dan jenis nomenklatur sekolah di atas. Yang perlu saya soal adalah peradaban teks yang kini bergeser cepat bahkan menghilangkan tradisi teks mbah-mbah saya bahkan mbahmu juga.
Dominan Mana?
Saat saya sekolah era 1990-an sampai 2000an, pergeseran saya alami. Saya asli lulusan madrasah sejak MI sampai MA dan pernah mondok di pesantren meski boyongnya terlalu cepat karena saya menolak kemauan almarhum ayah saya untuk mondok di Ponpes Al-anwar Sarang, Rembang.
Analisis saya yang dominan hari ini pertama gedrik. Huruf ini adalah huruf alfabet yang terdiri atas kapital dan nonkapital. Namun penggunaan bahkan jenis gedrik tak banyak yang tahu. Kebanyakan adalah orang-orang tua yang sudah mengalami banyak perubahan zaman.
Jika Aran pegon, kebanyakan yang tahu juga hanya para alumni pesantren. Kebanyakan ya itu. Bahkan mereka menulis nama di buku, papan, atau di almari menggunakan Arab pegon.
Praktis hari ini yang paling banyak adalah latin. Jenis ini bisa diterapkan dan dipakai semua jenis golongan yang tidak pandang buku. Dari anak KB sampai pendidikan tinggi sudah akrab dengan latin.
Yang paling tidak dimiliki oleh kebanyakan orang adalah aksara Jawa. Saya pribadi juga buta aksara Jawa. Paling mentok ya menulis nama pribadi. Hampir semua kaum milenial Jawa saya yakin jika disensus hampir 90 persen buta literasi aksara Jawa.
Masalahnya, mengapa yang dinilai dalam PISA, atau NGO yang lain hanya memandang dan mengasesmen kemampuan literasi hanya dari segi satu bahasa dan satu jenis aksara?
Apakah ini kesengajaan, penjajahan atau bagaimana?
-Penulis adalah dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung